Ambisi Orang Persia di Balik Lemahnya Dinasti Abbasiyah
Karena itu, untuk menggantikan ikatan etnis Arab yang melemah, Harun ar-Rasyid sang pemimpin memberi penekanan yang lebih besar pada identitas Islam. Ia melakukan upaya yang memaksakan kesatuan agama dan budaya yang sama pada kerajaannya yang luas dan beragam.
Lebih lagi, dengan mendasarkan klaim atas kekhalifahan pada silsilahnya dari paman Nabi. Ia tidak menganut prinsip "yang pertama di antara yang sepadan" yang dianut khalifah-khalifah awal.
Namun, ia mulai mengadopsi model Persia pra-Islam bagi pemerintahan dan istana. Seperti Kekaisaran Persia sebelumnya, Kerajaan Islam ditentukan oleh karakter seremonial dan teokratisnya yang kental untuk menyaingi kepura-puraan kekaisaran Romawi dan Byzantium dalam memperebutkan kendali atas Asia Tengah, Timur Dekat dan Timur Tengah.
Namun, salah satu konsekuensi yang ironis dari pengaturan kerajaan semacam ini adalah meningkatnya perpecahan Arab-Persia. Ketika pola dasar organisasi sosial Arab hancur, semangat baru Islam transnasional gagal memberi kompensasi atas rasa kehilangan yang dialami bangsa Arab.
Bahkan para khalifah, dalam urusan seperti memilih istri dan ibu bagi anak-anak mereka, tidak lagi memberikan nilai istimewa pada darah Arab. Para selir adalah istri-istri tidak resmi.
Karena tidak ada budak yang berasal dari bangsa Arab dan semua selir adalah budak, anak-anak khalifah memiliki ibu non-Arab yang kerap membesarkan mereka dengan rasa suka terhadap kelompok etnis atau bangsa asal usul mereka.
Para khalifah itu sendiri, yang dilahirkan dan dibesarkan dengan cara seperti ini menjadi semakin tidak berciri Arab dalam hal karakter, budaya, dan cita-cita. Di antara para penguasa Abbasiyah, hanya tiga khalifah yang merupakan putra dari ibu yang merdeka.
Mereka adalah Abu al-Abbas (Saffah), Mahdi dan putra Harun, Amin yang menikmati kehormatan khusus sebagai keturunan keluarga Nabi dari kedua belah pihak. Singkatnya, seiring tenggelamnya unsur-unsur Arab murni, orang-orang non-Arab, setengah Arab, dan putra perempuan-perempuan mantan budak kerap menggantikan kedudukan mereka.
Tak lama kemudian, aristokrasi Arab digantikan sebuah hierarki pejabat yang merepresentasikan berbagai kelompok etnis yang beragam. Keturunan yang paling kuat di antara mereka adalah keturunan Persia, seiring bangsa taklukan menjadi guru bagi penguasa mereka.
"Bangsa Persia berkuasa selama seribu tahun dan tidak memerlukan kita, bahkan untuk satu hari sekalipun. Kita baru berkuasa selama satu atau dua abad dan tidak bisa berjalan tanpa mereka selama satu jam," begitu ungkap seorang Arab.
Kakek Harun, Manshur, disokong pasukan Persia dan menasihati putranya untuk memberi kepercayaan kepada mereka tanpa ragu-ragu. Mahdi, pada gilirannya, disokong Khaizuran, istrinya yang berkebangsaan Persia dan cakap. Mereka mewariskan penerus yang sebagian besar diisi orang Persia.
Dengan hiasan Persianya, Harun melakukan apa pun yang dia bisa untuk memperkuat citra publiknya sebagai pemimpin spiritual Islam sekaligus penguasa duniawinya. Dalam peran spiritualnya, dia berusaha memastikan kepatuhan ortodoks dan menentang bidah dalam segala bentuk. Namun, dia bukan seorang fanatik seperti Hadi.
Dalam kebijakan awalnya terhadap kaum Syiah atau 'Alawi, misalnya, dia menganut cara perdamaian seperti ayahnya. Dia melepaskan sejumlah tokoh 'Alawi dari penjara, bahkan memberi mereka pembayaran rutin oleh negara.
No comments:
Post a Comment