Lembah Kematian: Kisah Orang Sudah Mati Bisa Bicara?
Miftah H. Yusufpati
Musyawarah Burung (1184-1187) karya Faridu'd-Din Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim atau Attar dalam gaya sajak alegoris ini, melambangkan kehidupan dan ajaran kaum sufi. Judul asli: Mantiqu't-Thair dan diterjemahan Hartojo Andangdjaja dari The Conference of the Birds (C. S. Nott).
Faridu'd-Din Attar Pencipta Musyawarah Burung)
===
Hudhud melanjutkan, "Terakhir dari semua itu menyusul Lembah Keterampasan dan Kematia, yang hampir tak mungkin diperikan. Hakikat Lembah ini ialah kelupaan, kebutaan, ketulian dan kebingungan; seratus bayang-bayang yang melingkungimu menghilang dalam sepancar sinar surya samawi.
Bila lautan kemaharayaan mulai bergelora, pola pada permukaannya pun kehilangan bentuknya; dan pola ini tak lain dari dunia kini dan dunia nanti. Siapa yang menyatakan bahwa dirinya tak ada mendapat keutamaan besar?
Titik air yang menjadi bagian dari lautan raya ini akan tetap tinggal di sana selamanya dan dalam kedamaian. Di laut yang tenang ini, kita pada mulanya hanya akan mengalami kehinaan dan keterbuangan; tetapi setelah terangkat dari keadaan ini, kita akan memahaminya sebagai penciptaan, dan banyak kerahasiaan akan tersingkap bagi kita.
Banyak makhluk telah salah mengambil langkah pertama dan karena itu, tak dapat mengambil langkah kedua --mereka hanya sebanding dengan barang-barang tambang.
Bila kayu cendana dan duri-duri menjadi abu, keduanya tampak sama --tetapi mutu keduanya berbeda. Barang najis yang dimasukkan ke dalam air-mawar akan tetap tinggal najis karena sifat-sifat dasarnya semula; tetapi barang suci yang dijatuhkan ke lautan akan kehilangan wujudnya yang tersendiri dan akan menyatukan diri dengan lautan itu dengan segala geraknya. Dengan berhenti ada secara terpisah ia akan mendapatkan keindahannya. Ia ada dan tidak ada. Bagaimana hal ini mungkin terjadi, pikiran tak dapat membayangkannya."
Fatwa Nassir Uddin
Yang terkasih dari Tus, lautan rahasia-rahasia rohani itu, berkata pada salah seorang muridnya, "Leburkan dirimu dalam api cinta hingga kau menjadi sekecil rambut, maka kau pun akan layak menduduki tempatmu di antara ikal rambut kekasihmu. Bila matamu kau arahkan ke Jalan itu dan bila kau awas, maka renungkanlah dan pikirkanlah, rambut demi rambut.
Ia yang membelakangi dunia ini untuk menempuh Jalan itu, akan mendapatkan kematian; ia yang mendapatkan kematian, akan mendapatkan kebakaan. O hatiku, bila kau telah herubah sepenuhnya, seberangilah jembatan Sirat dan api yang menyala; karena bila minyak dalam lampu itu terbakar, ia akan merupakan asap sehitam gagak tua, tetapi bila minyak itu diserap api, ia akan tak memiliki wujudnya yang kasar lagi.
Bila kau ingin sampai ke tempat yang luhur itu, lebih dulu bebaskan dirimu sendiri; kemudian keluarlah dari ketiadaan bagai Buraq kedua. Kenakan khirka kenihilan dan minumlah dari piala kemusnahan, kemudian kebatlah dadamu dengan ikat pinggang penafsiran dan kenakan di kepalamu kecemerlangan keadaan-tiada.
Tempatkan kakimu pada sanggurdi ketakterikatan, dan pacu kudamu yang tak berguna itu ke tempat di mana tak ada apa pun lagi. Tetapi jika dalam dirimu masih tinggal nafsu kepentingan diri biar sedikit, maka ketujuh laut akan penuh kesengsaraan bagimu."
Cerita tentang Kupu-kupu
Suatu malam, kawanan kupu-kupu berkumpul, disiksa hasrat hendak menyatukan diri dengan lilin. Kata mereka, "Kita harus mengutus salah satu dari kita yang akan membawa keterangan pada kita tentang sasaran cinta yang hendak kita cari itu."
Maka salah seekor di antaranya berangkat dan tiba di sebuah puri, dan di dalam puri itu ia melihat cahaya sebatang lilin. Ia pun kembali, dan sesuai dengan pengertian yang diperolehnya, ia menceritakan apa yang telah dilihatnya. Tetapi kupu-kupu arif yang mengetuai pertemuan itu menyatakan pendapatnya bahwa utusan itu tak mengerti apa-apa tentang lilin.
Maka kupu-kupu lain pun pergi ke sana pula. Ia menyentuh nyala lilin itu dengan ujung sayapnya, tetapi panas pun menghalaukannya. Oleh karena laporannya tak lebih memuaskan dari laporan yang pertama, maka kupu-kupu yang ketiga pun pergi pula.
Yang seekor ini, karena dimabuk cinta, melontarkan diri ke dalam nyala lilin itu; dengan kaki depannya ia berpaut pada nyala lilin itu dan menyatukan dirinya dengan senang pada lilin itu. Dipeluknya lilin itu sepenuhnya, dan badannya pun menjadi semerah api.
Kupu-kupu arif, yang mengawasi dari jauh, melihat bahwa nyala lilin dan kupu-kupu utusan itu tampak satu, dan katanya, "Ia telah dapat mengetahui apa yang ingin diketahuinya; tetapi hanya dia yang tahu, dan tak ada yang dapat menuturkannya."
Perlakuan Buruk
Seorang Sufi tengah berjalan-jalan dengan malas ketika ia dipukul dari belakang. Ia pun menoleh dan mengatakan pada bedebah yang telah memukulnya itu, "Orang yang kau pukul ini sudah mati lebih dari tiga puluh tahun."
Si bedebah menjawab, "Bagaimana dapat orang yang sudah mati bicara? Hendaklah malu, kau tak menunggal dengan Tuhan. Bila kau terpisah biar serambut saja pun dari dia, maka adalah itu seakan kau terpisah sejauh seratus dunia."
Bila kau menjadi abu, termasuk juga barang-barangmu, maka sedikit pun kau tak akan merasa ada; tetapi bila, seperti pada Isa, masih tinggal padamu biar hanya sebatang jarum yang sederhana saja, maka seratus pencuri akan menghadangmu di jalan. Walau Isa telah membuang barang-barang bawaannya, namun jarum itu masih dapat menggores-gores wajahnya.
Bila ada itu lenyap, tiada kekayaan maupun kerajaan, kehormatan maupun keagungan, akan berarti.
(mhy)
No comments:
Post a Comment