Pasukan Bhayangkara yang Meruntuhkan Kerajaan Majapahit
Abu Bakar Bamuzaham, Network Associate Global Future Institute (GFI)
Majapahit, Sumpah Palapa dan Pasukan Bhayangkara, adalah satu kesatuan yang tak bisa di pisahkan dari Kerajaan Majapahit. Sebuah kerajaan yang berpusat di daerah Jawa Timur yang memiliki cita-cita besar untuk menyatukan Nusantara dibawah kekuasaan Majapahit.
Setelah Mahapatih Gajahmada berikrar melalui ikrar Sumpah Palapa, selanjutnya Mahapatih Gajahmada membentuk kesatuan pasukan khusus yang diberi nama Pasukan Bhayangkara. Pasukan ini diambil dari nama kesatuan pasukan yang sebelumnya pernah ada dimasa kerajaan Singasari. Pasukan ini untuk dikirim ke wilayah-wilayah di sekeliling kerajaan Majapahit yang dianggap berpotensi bisa bergabung dengan kerajaan Majapahit.
Berdasarkan fakta ini banyak analis sejarah yang menganggap bahwa apa yang telah dilakukan kerajaan Majapahit untuk menguasai Nusantara ini melalui pendekatan “militer”, yaitu dengan jalan invasi militer dan menjadikan semua daerah yang diinvasi itu sebagai wilayah dibawah kekuasaan Majapahit.
Bila analisa itu benar, maka itu artinya belum bisa dikatakan sebagai tonggak persatuan, karena upaya itu tak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh Belanda di Nusantara.
Apapun itu, namun akhirnya kita menemukan dalam catatan sejarah bahwa upaya Gajahmada melalui pendekatan “militer” bersama Pasukan Bhayangkara-nya ini akhirnya menuai banyak konflik kekecewaan dan kemarahan masyarakat dan berujung perang saudara yang tak berkesudahan.
Akibat perang saudara tersebut, secara praktis beberapa wilayah kekuasaan Majapahit mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.
Blunder perang saudara yang tak berkesudahan itu antara lain adalah kisah tentang perang Bubat, yakni perang saudara antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit akibat dari kebijakan Maha Patih Gajahmada yang dianggap blunder penghinaan bagi Kerajaan Sunda.
Sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini, yang antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama “Gajah Mada” atau “Majapahit”. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.
Hal lain yang menarik adalah Bali yang sering kali dianggap sebagai pewaris kebudayaan Majapahit, ternyata justru masyarakat Bali sepertinya cenderung berpihak kepada kerajaan Sunda, hal ini dapat dibuktikan adanya Kidung Sunda di Bali. Sebuah kidung penghormatan dan kekaguman pihak Bali atas tindakan keluarga Putri Kerajaan Sunda yang dengan gagah berani menghadapi kematian (bunuh diri) daripada dipersunting menjadi istri di Kerajaan Majapahit.
Belum lagi kisah tentang perang Paregreg dan bahkan misteri kematian Maha Patih Gajahmada yang diyakini oleh masyarakat Aceh bahwa Mahapatih Gajahmada tewas di dusun Tamiang Aceh dalam ekspedisi Pamalayu, ketika hendak menyerang Kesultanan Islam Samudra Pasai di Sumatra, yang wilayahnya tak kalah luas dengan kerajaan Majapahit.
Majapahit dan Kesatuan Bhayangkara-nya itupun akhirnya meredup seiring dengan blunder yang dilakukan Pasukan Bhayangkara dan akhirnya justru menyebabkan runtuhnya Majapahit itu sendiri.
Catatan sejarah ini perlu dibuka kembali sebagai refleksi kita hari ini. Karena bangsa ini harus bisa jujur pada sejarahnya sendiri bila ingin berkembang menjadi negara besar. Kita tidak mungkin bisa menjadi negara yang besar bila melalaikan akar sejarah perjuangan bangsanya sendiri.
Bila kita mau jujur, akar persatuan Nusantara justru baru menemui titik terangnya dimasa Kesultanan Islam Demak bersinar terang pasca keruntuhan Kerajaan Majapahit.
Walaupun tidak berumur panjang tetapi Kesultanan Islam Demak adalah tonggak pemersatu aliansi tiga wilayah besar di Nusantara.
Berbeda dengan pendahulunya Majapahit yang masih terselubung misteri, apakah melalui pendekatan “invasi militer” dalam upayanya untuk menyatukan Nusantara atau tidak.
Namun Kesultanan Islam Demak telah mencatat kejelasan sejarah yang memiliki cara tersendiri dalam menyatukan Nusantara. Yakni melalui pendekatan “Para Wali” dengan petunjuknya Kitabullah dan Sunnatur Rasul dalam menyatukan Nusantara (Ulama).
Melalui Pendekatan Islam, Kesultanan Demak yang mulai berkuasa pada abad sekitar 15 M (pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit), Kerajaan Islam Demak berhasil menyatukan wilayah Nusantara melalui aliansi tiga pilar utama kerajaan Islam di Nusantara pada masa itu, yaitu Aceh di Barat, Demak di Tengah, dan Ternate di Timur yang pada masa ini ketiga Kesultanan Islam tersebut sedang mengalami masa kejayaan.
Kekuatan tiga aliansi ini sangat dahsyat dan mewakili setiap kekuatan Nusantara disetiap wilayahnya. Adapun Demak sendiri mampu menyatukan hampir seluruh wilayah Jawa yang sebelumnya tak pernah akur dimasa Kerajaan Majapahit.
Jawa, Banten, Ternate Tidore bahkan hingga Kesultanan Islam yang lebih senior dan memiliki julukan Serambi Mekah yang sebelumnya tak pernah akur dengan Majapahit, tetapi di masa Kesultanan Islam Demak, justru Kesultanan di Aceh turut bersatu karena spirit Islam sebagai poros utama persatuan wilayah Nusantara.
Terbukti setelah itu hampir seluruh Kesultanan yang ada di Nusantara bahu membahu bergabung dalam satu barisan dengan Kesultanan Islam Demak dalam melawan Imperialisme Portugis dan Belanda yang mulai hadir di abad ke 16 M.
Persatuan Ukhuwah Islamiyah yang dirintis oleh poros Kesultanan Islam Demak inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal Persatuan Nusantara dalam melawan kolonialisme Kerajaan Protestan Belanda sebagai penjajah Nusantara.
Dan akhirnya Kerajaan Protestan Belanda dibuat kalang kabut oleh Islam, hingga mereka harus belajar Islam hanya karena sebab agar mampu memecah belah Persatuan Kesultanan Islam yang telah ada di Nusantara.
Muncullah kemudian Snouck Hurgronje sebagai tenaga Ahli Belanda yang ditugaskan secara khusus oleh Belanda agar belajar Islam hingga ke Timur Tengah dengan tujuan agar mampu memecah belah akar persatuan Kesultanan Islam yang telah ada di Nusantara ini
Bila hari ini masih ada upaya untuk menyatukan Nusantara tanpa melibatkan Islam, bahkan cenderung mendeskreditkan atau meniadakan Islam dan hanya mengandalkan kekuatan militer, maka kiranya perlu belajar kembali pada catatan kisah perjalanan Kerajaan Majapahit. Karena Kerajaan Majapahit telah membuktikan hal itu dan justru berujung pada keruntuhan Kerajaan Majapahit itu sendiri.
Selebaliknya, Kesultanan Islam Demak telah membuktikan bahwa ketika Islam yang menjadi spirit untuk menyatukan Nusantara, ternyata wilayah Nusantara semakin tangguh dan mampu bertahan dalam menghadapi Imperialisme Barat selama 350 tahun.
Tanpa adanya spirit Islam, mungkin penduduk Pribumi Nusantara ini telah hilang seperti hilangnya kaum Pribumi Aborigin di Australia atau Suku Indian di Amerika Serikat akibat ganasnya Imperialisme yang mereka tancapkan di negeri jajahannya.
Salam.
No comments:
Post a Comment