Pusara Syaikh Abdul Qadir Kedua Terpenting Setelah Makam Nabi Muhammad SAW
Satu penelitian mendapati bahwa makam Syekh Abdul Qadir Al-Jilani adalah makam kedua yang terpenting, dilihat dari sudut jumlah peziarah, sesudah makam Nabi Muhammad SAW dan beberapa anggota keluarganya.
Penelitian ini dilakukan Filsuf dan islamologist Prancis, Eric Geoffroy. Menurut dia, kompleks makam Syekh Abdul Qadir Al-Jilani merupakan makam yang paling menarik dan yang paling banyak dikunjungi di seluruh daerah yang ia teliti di Timur Tengah.
Eric Geoffroy melakukan penelitian atas makam Abdul Qadir Al-Jilani pada saat dirinya masih sebagai pengajar bahasa dan kebudayaan Arab di Sekolah Tentara Inteligen dan Studi Linguistik di Strasbourg, Prancis.
Hasil penelitian itu dihimpun dan diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul "Le Culte Des Saints Dans Le Monde Musulman" (Bahasa Prancis) dan diterjemahkan oleh Jean Couteau dkk menjadi "Ziarah dan Wali di Dunia Islam" (2007).
"Najaf dan Karbala memang didatangi peziarah dalam jumlah yang sangat besar, tetapi sebagian besar pengunjung terdiri atas kaum Syiah, yang merupakan kelompok minoritas di Timur Tengah," tutur Geoffroy.
Selain itu, menurut dia, pola beragama dari orang-orang Irak lebih ekspansif daripada orang-orang Suriah. "Oleh karenanya andaikan kami pilih melukiskan ziarah kubur Syekh Arslan di Damaskus pasti akan tampak sangat sederhana, dan bagaimanapun juga wali ini hanya dikenal secara regional atau bahkan lokal," jelasnya.
Adapun tentang makam Ibn Arabi, katanya lagi, betapapun besarnya penghormatan umumnya peziarah kepada tokoh ini, peran yang dimilikinya terutama bersifat esoteris, yang terwujud melalui frekuensi penampakan dirinya, konon, pada sejumlah besar penduduk Damaskus.
Di samping itu, kompleks makamnya yang relatif kecil dan sempit, hanya terisi sebuah masjid, sedangkan kompleks makam al-Jilani amat luas sebagaimana layaknya sebuah kompleks monumental.
Di Pusat Kota Baghdad
Kompleks makam Syekh Abd al-Qadir al-Jilani (wafat 561 H/1166 M) terletak di pusat Kota Baghdad, tidak jauh dari jalan besar pusat perdagangan lama al-Rasyid.
Letaknya di pusat kota itu tentu saja sangat mendukung ziarah kubur pada wali ini. Ini jika dibandingkan dengan Ahmad al-Rifa'i, pendiri besar aliran sufi di Irak lainnya, yang jumlah pengunjungnya tidak sebanyak al-Jilani.
Kampung tempat al-Jilani dimakamkan dinamakan Bab al-Chaykh (pintu gerbang sang Syekh) sebagai penghormatan kepada wali ini, dan penduduk kampung itu, kaum Chayhiliyye, di mata masyarakat tampil sebagai penduduk asli Baghdad.
Orang Kurdi dari Irak Utara, yang menyebut wali ini sebagai Ghautsi Jailani (atau “penyelamat besar Jilani”) suka menggarisbawahi bahwa kampung itu juga dihuni oleh wakil etnis Kurdi.
Pada kenyataaannya, para Fuayliyah yang memang beretnis Kurdi itu merupakan golongan sosial yang miskin dan tidak lebih dari minoritas kecil di Bab al-Chaykh. Selain itu mereka beraliran Syiah dan oleh karena itu tidak begitu menyanjung-nyanjung sang syekh.
Kompleks makam terletak di lahan luas berbentuk segi empat yang dikelilingi oleh tembok berhiaskan lubang-lubang yang tingginya sekitar lima meter. Ada beberapa pintu masuk, salah satu di antaranya adalah gerbang utama.
Dua Mihrab
Ruangan makam Syekh Abdul Qadir berada di kiri gerbang utama dan di atasnya terdapat sebuah kubah dari tembikar berglasir warna biru. Ruangan itu berhubungan dengan sebuah zawiyah, tempat diadakan acara zikir oleh kelompok Qadiri dari berbagai daerah.
Sebuah masjid yang megah berdiri di sebelahnya. Masjid itu memiliki dua mihrab, karena ada dua imam, yang satu beraliran Hanafi, dan yang lain beraliran Syafii.
Menurut Geoffroy, imam-imam ini adalah pemuka agama di Kota Baghdad, dan para pengunjung dari luar sering berdesakan mendekati mereka sehabis salat untuk bersilaturahmi. Salah seorang dari kedua imam itu, Abd al-Karim al-Mudarris, adalah seorang ulama Kurdi yang pernah menjadi mufti besar Irak.
Di halaman makam terdapat sebuah menara jam dan sebuah kolam untuk berwudu, dua madrasah serta satu perpustakaan yang masih dikelola oleh pimpinan keluarga Jilani.
Beberapa gedung bertingkat ditata sebagai asrama, dan harus dicatat di sini besarnya kapasitas penginapan dan penyediaan makan bagi pengunjung.
Peziarah memang datang dari seluruh dunia Islam. Namun orang-orang Turki yang paling sering mengunjungi kompleks al-Jilani dalam perjalanan haji ke Mekkah, ketika pulang mereka lalu mengunjungi kompleks makam Ibn Arabi di Damaskus.
Selain itu, banyak pula peziarah yang datang dari India, dari Asia Tenggara, atau malah dari Maghribi dan Afrika Hitam. Maka jumlah orang Irak konon tidak lebih dari seperempat jumlah keseluruhan pengunjung kompleks yang datang untuk sholat Jumat.
Dengan demikian berbagai bangsa berbagi asrama: sejumlah penganut Qadiri ditanggung oleh wakaf setempat selama sebagian besar hidupnya. Ada pula yang tinggal di situ selama beberapa bulan atau hanya beberapa hari. Ribuan orang ditampung secara tetap di kompleks tersebut.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment