Satu Gentong Kotoran Sapi dari Abu Nawas untuk Menyuap Tuan Hakim
Korupsi, kolusi, dan nepotisme, juga suap punya tempat yang nyaman di tengah kekuasan. Tak terkecuali di Baghdad, saat Baginda Harun Ar-Rasyid berkuasa.
Siang itu, udara yang panas, membuat Abu Nawas tampak bermalas-malasan di rumah saja. Saat kantuk mulai menghayutkan, tiba-tiba terdengar suara salam. Ada tamu rupanya. "Waalaikum salam," jawab Abu Nawas.
Lelaki yang datang itu ternyata tetangga sebelah: Abu Mizan. "Ada apa nih, tumben siang-siang datang ke mari," tanya Abu Nawas, usai bersalaman dengan tamunya.
Abu Mizan pun bercerita panjang lebar tentang kasus yang dihadapinya. Intinya, ia minta tolong Abu Nawas untuk menyelesaikan masalah itu.
Begini ceritanya: Telah berulang kali Abu Mizan mendatangi seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian. Hakim di desanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangani perjanjian itu. Keadaan ini selalu berulang sehingga ia menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok alias suap.
Tapi Abu Mizan tahu bahwa menyogok itu diharamkan agama. Itu sebabnya, apa pun yang terjadi, Abu Mizan ogah menyogok hakim itu.
Hanya saja, bagaimana pun tingkah hakim tersebut membuat Abu Mizan dongkol. Itu sebabnya ia mengadukan masalahnya kepada Abu Nawas. "Tuan kan dekat dengan Baginda , tolong bantu saya," pinta Abu Mizan memelas.
"Ah, itu urusan kecil. Nggak perlu lapor Baginda segala," jawab Abu Nawas disambut wajah ceria Abu Mizan.
"Terus saya mesti berbuat apa?" tanya Abu Mizan harap-harap cemas. Selanjutnya Abu Nawas memberi tahu kiat menghadapi hakim mata duitan macam itu. Abu Mizan menyambut ide Abu Nawas dengan senang hati.
"Baiklah kalau begitu, saya akan lakukan seperti yang Tuan resepkan," ujar Abu Mizan mohon diri.
Seperti yang dinasehatkan Abu Nawas, Abu Mizan menyiapkan sebuah gentong. Gentong itu diisinya dengan tahi sapi hingga hampir penuh. Kemudian di atasnya, ia mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya.
Gentong itu dibawanya ke hadapan hakim. Saat itu juga hakim yang biasanya sok sibuk, langsung tidak sibuk, dan punya waktu untuk membubuhi tanda tangan pada perjanjian Abu Mizan.
Abu Mizan kemudian bertanya, "Tuan, apakah pantas Tuan Hakim mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan?"
Hakim tersenyum lebar. "Ah, kau jangan terlalu dalam memikirkannya."
Ia mencuil sedikit mentega dan mencicipinya. "Wah, enak benar mentega ini!"
"Yah," jawab Abu Mizan, "Sesuai ucapan Tuan sendiri, jangan terlalu dalam." Karena urusan sudah kelar maka Abu Mizan pun pamit pulang dengan perasaan girang.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment