Kisah Khalifah Al-Hadi, Ketika Madinah Dikuasai Pemberontak
Al-Hadi adalah khalifah keempat Dinasti Abbasiyah . Ia menggantikan ayahnya Al-Mahdi dan memerintah antara tahun 785 sampai kematiannya pada 786.
Pada era pemerintahan Al-Hadi kondisi hubungan antara Bani Abbas dengan anak keturunan Ali bin Abi Thalib kembali memburuk. Setelah sebelumnya selama era Khalifah Al-Mahdi hubungan antara dua kekuatan utama Bani Hasyim ini sempat diperbaiki.
kbar Shah Najeebabadi dalam bukunya berjudul "The History Of Islam" menyebutkan Khalifah Al-Mahdi belajar dari konflik antara Bani Abbas dengan anak keturunan Ali di masa Khalifah Al-Manshur. Dari sana dia menilai bahwa berurusan dengan darah keturunan Ali bin Abi Thalib, tidak akan baik bagi kelangsungan kekuasaannya. Itu sebabnya Al-Mahdi lebih memilih merangkul mereka dan memperlakukan mereka dengan baik.
Tapi pertimbangan sejenis ini, agaknya tidak ada dalam benak pelanjutnya, Khalifah Al-Hadi. Di era Al-Hadi, terjadi lagi pemberontakan yang dilakukan anak keturunan Ali bin Abi Thalib yang dipimpin Husein bin Ali bin Hasan bin Hasan bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Awal pemberontakan ini terjadi ketika Gubernur Madinah Umar bin Abdul Aziz, menangkap Abu Al-Zift Hasan bin Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan. Dia adalah anak Muhammad bin Abdullah yang pernah melakukan pemberontakan pada masa kekhalifahan Al-Manshur.
Abu Al-Zift Hasan bersama Muslim bin Jundub (seorang penyair), dan Umar bin Sallam, seorang maula keluarga Umar bin Khattab, ditangkap karena kedapatan sedang minum anggur (nabidb).
Ketiga orang ini kemudian dipukuli, lalu diikat lehernya oleh aparatur Al-Hadi, kemudian diarak keliling Kota Madinah. Melihat kejadian ini, Husein bin Ali mendatangi Umar bin Abdul Aziz mengajukan protes.
Dia mengatakan bahwa, “memukulnya saja, kalian tidak berhak setelah alim ulama Kufah tidak melarang meminum nabidb. Lalu mengapa kalian malah mengaraknya keliling kota?!”
Mendengar protes dari Husein bin Ali, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar menghentikan arakan para terdakwah tersebut. Tapi mereka kemudian dijebloskan ke dalam penjara.
Melihat hal tersebut, Husein bin Ali bersama beberapa kerabatnya kembali mendatangi Umar bin Abdul Aziz. Mereka mengajukan protes dan meminta agar saudara mereka dibebaskan. Untuk itu, Husein memberikan jaminan bahwa Hasan bin Muhammad akan bersikap baik dan akan mematuhi peraturan.
Mendapat jaminan dari Husein, Umar kemudian membebaskan Hasan. Tapi Hasan dikenai wajib lapor setiap hari kepada pemerintah. Maka merekapun sepakat.
Akan tetapi yang terjadi kemudian, Hasan malah menghilang, dan selama tiga hari berturut turut tidak melapor ataupun diketahui kabarnya. Umar bin Abdul Aziz memerintahkan aparaturnya agar segera mendatangi Husein bin Ali dan meminta pertanggungjawaban atas jaminannya.
Husein sebenarnya tidak memiliki jawaban atas masalah ini. Dia hanya menggatakan bahwa Hasan kemungkinan sedang sakit. Tapi alasan ini ditolak oleh Umar dengan kasar dan kata-kata penghinaan yang melampaui batas.
Mendengar ini, Yahya bin Abdullah bin Hasan (paman dari Hasan bin Muhammad bin Abdullah) langsung bereaksi. Dia bersumpah tidak akan tidur sebelum membawa Hasan bin Muhammad ke hadapan Umar secepatnya.
Mendengar sumpah dari Yahya, Umar pun pergi. Tapi setelah itu, Husein bin Ali protes. Bagaimana mungkin Yahya bersumpah untuk sesuatu yang dia tidak bisa penuhi? Karena mereka pun tidak mengetahui di mana sebenarnya Hasan bin Muhammad berada. Maka terjadilah perdebatan di antara mereka. Hingga akhirnya, mereka tidak melihat jalan lain, kecuali dua; mereka akan dihukum mati, atau melawan. Mereka memilih yang kedua.
Husein bin Ali dan Yahya bin Muhammad melihat bahwa tidak ada jalan lain bagi mereka selain melakukan perlawanan. Maka mereka pun mengumpulkan para pengikutnya, termasuk beberapa anak keturunan Ali bin Abi Thalib yang lain.
Mereka mendeklarasikan revolusi, dan membaiat Husein bin Ali sebagai pemimpin mereka. Kota Madinah menjadi gempar karena masalah ini. Kelompok Husein bin Ali kemudian menyerang kediaman Gubernur Madinah, Umar bin Abdul Aziz, tapi dia tidak ada di sana. Akhirnya mereka pun mengambil alih sepenuhnya Kota Madinah.
Hanya saja, sebagian sejarawan menilai agak janggal bila penyebab pemberontakan tersebut hanya dipicu masalah minuman (nabidb). Ada yang berpendapat motif utama revolusi tersebut disebabkan karena kekecewaan anak keturuan Ali pada kebijakan Al-Hadi yang mendepak sejumlah tokoh mereka dari dinas pemerintahan yang dulunya diangkat oleh Al-Mahdi.
Hanya saja, jarak antara pengangkatan Al-Hadi dengan meletusnya revolusi ini terlalu dekat, bahkan hampir bersamaan, yaitu sekitar akhir bulan Muharram 169 H.
Dengan demikian, bisa diduga bahwa di akhir masa pemerintahannya, Al-Mahdi telah mengubah sebagian kebijakannya, dan secara perlahan menyingkirkan anak keturunan Ali bin Abi Thalib dari posisinya. Inilah yang melahirkan benih-benih pemberontakan. Adapun peristiwa yang menimpa Hasan bin Muhammad bin Abdullah adalah faktor pemicu pecahnya pemberontakan tersebut.
Kembali pada pemberontakan Husein bin Ali. Setelah menguasai Kota Madinah, mereka segera menggalang dukungan di Mina dan Mekkah. Husein menyatakan dalam pidatonya, bahwa bagi para budak yang memutuskan bergabung dalam gerakannya, maka mereka akan diberi kemerdekaan. Tak ayal dukungan pun berdatangan dari berbagai lapisan masyarakat.
Para prajurit Abbasiyah mulai mengorganisasi diri menghadapi ancaman ini. Mereka kemudian menyerang Madinah, tapi kekuatan mereka bisa segera dipatahkan. Beberapa tokoh Bani Abbas tewas dalam serangan pertama ini. Hal ini memancing perhatian serius dari Al-Hadi.
Singkat cerita, pemberontakan ini berlangsung selama hampir setahun, dan sempat sangat merepotkan pemerintahan Abbasiyah. Hingga akhirnya, pada bulan Dzulhijjah 169 H, anggota keluarga Bani Abbas berdatangan untuk menuaikan ibadah haji.
Kala itu tanah suci sudah dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Husein bin Ali dan anak keturunan Ali bin Abi Thalib lainnya. Al-Hadi memerintahkan kepada pamannya yang bernama Muhammad bin Sulaiman (sepupu As-Saffah dan Al-Manshur) memimpin jamaah haji. Tapi sebelum itu, dia memerintakan agar terlebih dahulu memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh anak keturunan Ali. Maka mereka pun menyiapkan pasukan.
Pertempuran antara dua kekuatan ini berlangsung di tempat bernama Fakhkh, sebuah daerah di dekat Mekkah. Pertempuran ini terjadi di malam hari atau menjelang subuh. Dalam pertempuran tersebut, masing-masing pasukan tidak melihat jelas siapa musuhnya. Mereka mengorganisiasi diri dengan sistem formasi yang ketat.
Dalam perempuran ini, pasukan Abbasiyah diiming-imingi hadiah 500 dirham untuk setiap kepala pemberontak. Merekapun bersemangat. Hingga akhirnya mereka berhasil mengunci lawannya, dan membantai mereka semua.
Satu per satu kepala korban mereka di penggal, lalu dibawa ke hadapan Muhammad bin Sulaiman. Dan betapa kagetnya mereka, ternyata di antara kepala-kepala yang dipersembahkan itu ada kepala Husein bin Ali. Dengan demikian pemberontakan itupun selesai dengan sendirinya.
Setelah berhasil menghancurkan kekuatan inti pemberontak dan membunuh pimpinanannya, pasukan Abbasiyah memasuki kota Mekkah dan mengultimatum para pendukung Husein bin Ali agar menyerah. Tapi mereka menolak, lalu terjadilah pembantaian besar-besaran di tempat tersebut.
Pasukan Abbasiyah memburu anak keturunan Ali bin Thalib yang lainnya. Tidak hanya di Mekkah, ketika kisah kekalahan Husein bin Ali sampai ke Madinah, Umar bin Abdul Aziz segera memerintahkan anak buahnya menyerang semua anggota keluarga Ali bin Abi Thalib, dan merampas properti mereka, serta membakar kebun-kebun kurma milik mereka.
Merasa terancam, sebagian anak keturunan Ali bin Abi Thalib ini memilih melarikan diri. Salah satu dari mereka yang berhasil melarikan diri adalah Idris bin Abdullah bin Hasan bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dia adalah adik tiri dari Muhammad bin Abdullah bin Hasan yang melakukan pemberontakan pada era Al-Manshur.
Menurut Tabari, Idris bin Abdullah berhasil melarikan dari dari kejaran pasukan Al-Hadi. Dia kemudian pergi ke Mesir. Di sana dia mendapatkan bantuan dari tokoh setempat, dan kemudian melarikan diri lebih jauh ke daerah Maroko. Di sana kelak dia mendirikan sebuah identitas politik yang dikenal dengan Dinasti Idrisiyah.
Kaum Zindiq
Dalam buku The History of al-Tabari dikisahkan, Al-Hadi diwasiatkan ayahnya agar meneruskan upaya pemurnian agama, dan membasmi kaum zindiq. Dia pun mematuhi perintah ini. Tapi sayangnya, dia tidak melakukannya dengan cara yang cerdik seperti ayahnya.
Dia menjawab permintaan ini dengan cara yang sangat brutal. Selama masa pemerintahannya, kaum zindiq diburu lalu dieksekusi mati. Bahkan mereka yang terindikasi menyimpang dari agama pun dieksekusi mati olehnya.
Al-Tabari berkisah, suatu hari seorang bernama Yazdan bin Badhan, terdengar mencela orang-orang yang sedang tawaf mengelilingi Kakbah. Seseorang kemudian melaporkan hal ini kepada Al-Hadi. Yazdan pun langsung dihukum mati, demikian juga dengan beberapa orang yang bersama dan diindikasikan menyetujui ucapan Yazdan.
Imam As-Suyuthi dalam buku berjudul "Tarikh Khulafa’, Sejarah Para Khalifah" mengisahkan dengan riwayat dari Ash-Shuli:
"Suatu hari kami menemui Al-Hadi sebagai saksi untuk seorang lelaki yang mencela seorang Quraisy hingga dia menyebutkan Rasulullah. Lalu Al-Hadi menempatkan kami dalam suatu majelis yang dihadiri oleh para ahli fikih zaman itu."
"Dia menghadirkan orang tadi lalu memberi kesaksian. Kami melihat wajah Al-Hadi berubah. Dia menundukkan kepalanya lalu mengangkatnya kembali seraya berkata: ’Aku mendengar ayahku, Al-Mahdi, meriwayatkan hadist dari ayahnya Al-Manshur, dari ayahnya Muhammad, dari ayahnya Ali, dari ayahnya Abdullah bin Abbas, dia berkata: ’siapa yang merendahkan orang-orang Quraisy, dia akan merendahkan Allah.’ Adapun engkau, hai musuh Allah, engkau tidak rela pada orang-orang Quraisy saja hingga sampai menyebut nama Nabi. Penggal kepalanya!”
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment