Kondisi Kehidupan Nusantara di Zaman Nabi Muhammad SAW Berdakwah
Kondisi kehidupan beragama di bumi Nusantara pada zaman Nabi Muhammad SAW berdakwah, adalah pemeluk Budha yang taat. Ini jika kita menilik sejarah masuknya Islam di Indonesia. Sejumlah pakar sejarah dan arkeolog membuktikan, Islam sudah masuk ke Nusantara sejak Rasulullah SAW masih hidup.
Dalam buku "Gerilya Salib di Serambi Makkah" karya Rizki Ridyasmara (Pustaka Alkautsar, 2006) disebutkan bahwa arkeolog dari Australia National University, Peter Bellwood, menemukan bukti-bukti yang menunjukkan telah terjadi kontak dagang antara para pedagang China, Indonesia, dan Arab sebelum abad kelima Masehi. Pada tahun ini, Rasulullah belum lahir.
Bellwood menyebutkan, beberapa jalur perdagangan utama sudah berkembang sehingga dapat menghubungkan Nusantara dengan China. Hal itu dibuktikan dengan adanya temuan tembikar China dan benda berbahan perunggu dari zaman Dinasti Han di Selatan Sumatra serta Jawa Timur.
Sejarawan GR Tibbetts turut mengakui keberadaan jalur perdagangan utama itu. Ia kemudian meneliti lebih dalam mengenai perdagangan yang terjadi antara pedagang asal Arab dengan pedagang dari kawasan Asia Tenggara sebelum Nabi Muhammad menyebarkan Islam.
Ia menemukan bukti-bukti adanya kontak perniagaan antara Jazirah Arab dan nusantara kala itu. Tibbets menulis, perdagangan terjadi karena kepulauan Indonesia menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke China sejak abad kelima Masehi. Maka, peta perdagangan utama di Selatan saat itu meliputi Arab-Nusantara-China.
Kemudian, sekitar 625 M atau 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama, di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ada perkampungan Arab Muslim. Waktu itu masih dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya.
Di perkampungan tersebut banyak orang Arab tinggal. Mereka menikahi perempuan-perempuan lokal dan beranak pinak di sana.
Tempat belajar Al-Quran dan Islam yang merupakan cikal bakal lahirnya madrasah dan pesantren pun didirikan di perkampungan itu. Tempat tersebut dianggap pula sebagai rumah ibadah atau masjid.
Profesor Hamka memperkuat temuan di atas dengan menyebut seorang pencatat sejarah asal China yang mengembara pada 674 M. Ia mengatakan, pengembara itu menemukan satu kelompok bangsa Arab yang mendirikan perkampungan sekaligus bermukim di pesisir barat Sumatera.
Dijelaskan, kampung bernama Barus itu terletak di antara Kota Singkil dan Sibolga atau sekitar 414 kilometer dari Medan. Pada masa Sriwijaya, Kota Barus masuk dalam wilayahnya.
Namun, setelah Sriwijaya mengalami kemunduran lalu digantikan oleh kerajaan Aceh Darussalam, Barus masuk ke wilayah Aceh. Kabarnya, para pedagang Arab hidup berkecukupan serta memiliki kedudukan baik di Barus.
Menurut Hamka, penemuan tersebut mengubah pandangan orang mengenai sejarah masuknya Islam ke Tanah Air. Penemuan ini, kata dia, sudah dipastikan pula kebenarannya oleh para sejarawan dunia Islam di Princetown University di Amerika Serikat.
Ratu Sima
Hamka dalam bukunya berjudul "Dari Perbendaharaan Lama" menulis di dalam catatan sejarah Tiongkok disebutkan, bahwa pada pertengahan kurun ke-7 terdapat sebuah kerajaan Holing, dalam sebuah negeri bernama Cho-p'o, yang dipimpin oleh seorang raja perempuan, Simo.
Penulis sejarah bangsa Tiongkok menceritakan, bagaimana aman dan makmurnya negeri di bawah perintah ratu perempuan itu. Tanahnya subur, padinya menjadi. Upacara-upacara kerajaan berjalan dengan lancar.
Ratu dijaga atau diiringkan oleh biti-biti prawara, kipas dari bulu merak bersabung kiri kanan, dan singgasana tempat baginda semayam bersalutkan emas. Keris dan pedang kerajaan pun bersalutkan emas dan bertatahkan ratna-mutu manikam.
Agama yang dipeluk ialah agama Buddha. Dengan kerja sama antara I Tsing pengembara Tiongkok dengan Jnabadhra, yang dalam bahasa Tiongkok ditulis Yoh na poh to lo disalinlah buku-buku agama Buddha ke dalam bahasa anak negeri.
Tentang keamanan dan kemakmuran negeri Holing itu, kata pencatat sejarah tersebut, sampai juga kabar beritanya ke Ta-Cheh sehingga tertariklah hati pengembara-pengembara bangsa Ta-Cheh itu hendak melawat ke negeri Holing, hendak berhubungan dengan raja perempuan Simo itu, supaya perniagaan di antara kedua negeri menjadi ramai.
Pada tahun 674 - 675 M sampailah satu utusan bangsa Ta-Cheh ke Holing. Kagumlah utusan Ta-Cheh itu melihat bagaimana amannya negeri Holing di bawah perintah Ratu Simo sehingga pada suatu ketika, Raja Ta-Cheh itu mencoba mencecerkan (sepura) emas di tengah jalan, namun tidak ada orang yang sudi mengambilnya.
Sampai tiga tahun pundi-pundi emas itu terletak saja di tengah jalan. Bila ada orang sampai ke tempat barang itu terletak, ia akan sengaja mengelak ke tepi.
Pada suatu hari setelah tiga tahun, lewatlah Putra Mahkota Kerajaan Holing di tempat itu. Beliau melihat pundi-pundi terletak di tengah jalan, disepakkannya barang itu dengan kakinya sehingga pecahlah pundi-pundi itu dan tersembullah emas dari dalamnya.
Perbuatan Putra Mahkota itu rupanya dipandang suatu kesalahan besar oleh Ratu Simo, ibunya. Baginda amat murka setelah mengetahui kesalahan anaknya. Memberi malu bagi kerajaan di hadapan bangsa asing yang datang hendak menyaksikan keamanan dan kemakmuran negeri.
Putra Mahkota dipandang telah melanggar keluhuran budi. Oleh sebab itu, Putra Mahkota dihukum, kaki yang menyepak pundi-pundi wajib dipotong. Bagaimanapun para menteri membujuk agar baginda ratu mengurungkan niatnya untuk melakukan hukuman, namun ratu tidaklah mau undur. Kaki putra Mahkota dipotong.
Hamka mengatakan demikianlah cerita yang terekam di dalam catatan sejarah Tiongkok, yang menjadi bahan penelitian dari masa ke masa oleh ahli sejarah hingga ke zaman sekarang ini.
"Hasil penelitian menyatakan bahwa Cho-p'o itu adalah tanah Jowo, pulau Jawa kita ini," katanya.
Kerajaan Holing ialah Kerajaan Kalingga, yang memang pernah berdiri di Jawa Tengah (kata sebagian peneliti) dan di Jawa Timur (kata sebagian pula). Pada pertengahan kurun (abad) ke-7 memang ada seorang ratu yang bernama Sima, atau Simo.
Raja Ta-Cheh yang menjatuhkan pundi-pundi emas di tengah jalan itu ialah Raja Arab. Sebab Ta-Cheh adalah nama yang diberikan oleh orang Tiongkok kepada bangsa Arab pada zaman-zaman itu.
Setelah disesuaikan dengan perhitungan tahun Hijrah, ujar Buya Hamka, jelas bahwa tahun 674 M adalah 42 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Beliau wafat pada tahun 632 M, tahun ke-11 dari hijrah beliau. Tahun 674 M, bertepatan dengan tahun 51 H. Khalifah yang memerintah pada masa itu ialah Yazid bin Mu'awiyyah, Khalifah ke-2 dari Bani Umayah.
Buya Hamka mengatakan peneliti-peneliti sejarah mengorek-ngorek sejarah tersebut, mencari kecocokan di sana sini, menyatakan tidak tahu siapakah yang disebut raja Arab, yang mencecerkan pundi-pundi di tengah jalan dalam negeri Holing itu. Namun, bagi kita yang menyelami pula sejarah dan ketentuan istiadat bangsa Arab, atau kaum Islam, tidaklah kita akan mengatakan tidak tahu siapa raja itu.
"Sebab Nabi Muhammad SAW sendiri telah menyunahkan, apabila orang mengembara, musafir jauh, hendaklah mereka merajakan seorang di antara mereka, yang lebih tua usianya, yang banyak pengalamannya, atau yang gagah berani walaupun usianya lebih muda, dan yang fasih lidahnya berkata-kata, terutama dapat menjadi imam dalam sholat," katanya.
Kepala rombongan itulah yang disebut dalam bahasa Arab Amir perjalanan, merangkap juga menjadi Imam dalam sholat. Amir dapat juga diartikan dengan Raja.
Seorang pencatat sejarah Tingkok yang lain, yang mengembara pada tahun itu (674 M) di Pesisir Barat pulau Sumatra, telah mendapati pula satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung di tepi pantai.
Catatan inilah yang mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam ke tanah air kita. Jika menurut biasanya, catatan masuknya Islam dimulai pada abad ke-11 M, sekarang telah dinaikkan empat abad lagi ke atas, yaitu abad ke-7 M.
Tidaklah dicatat di dalam sejarah-sejarah Islam yang besar, permulaan masuknya Islam ke Nusantara umumnya. Sebab pengembara Muslim yang datang ke Indonesia bukanlah ekspedisi resmi dari Khalifah (Raja) di Damaskus atau di Baghdad. Pengembaranya bukanlah orang yang membawa senjata, melainkan berniaga dan berdagang. Mereka datang ke tanah air kita dengan sukarela.
Kerajaan Hindu atau Buddha masih kuat dan teguh. Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, Kalingga di tanah Jawa, dan kerajaan Hindu di tempat lain masih dalam keadaan sangat kuat kuasanya.
Oleh karena itu, pengembara-pengembara yang pertama itu belumlah dapat dengan leluasa menyampaikan dakwahnya kepada penduduk. Bahkan, ketika mereka mencoba untuk mencecerkan pundi-pundi emas di tengah jalan raya, tidak ada orang yang berani mengambil karena takut kena murka sang Ratu. Ia tidaklah ragu menjatuhkan hukuman memotong kaki Putra Mahkotanya, ketika ia mencoba menyepakkan pundi-pundi emas milik orang Arab itu.
Menurut Buya Hamka, pelajaran ke bawah angin ini masih sukar dilakukan. Namun, orang Arab atau orang Islam, masih tetap meramaikan pelayaran dan perniagaan melalui Selat Malaka sehingga sampai ke Tiongkok.
Di Kanton pernah berdiri sebuah markas perdagangan orang Arab. Oleh sebab itu, tersebutlah nama pulau-pulau di negeri kita ini dalam catatan al-Idrisi dan al-Mas'udi, kemudian lebih jelas lagi pada tulisan Ibnu Bathuthah. "Bahkan menjadi cerita khayal yang indah dalam cerita Wag-Wag, yang sulit untuk memindahkan pulau Fakfak di daerah Irian Jaya," katanya.
Terlebih, belum akan begitu populer kedudukan pengembara-pengembara yang permulaan itu kepada anak negeri. Mereka dihormati, tetapi belum diikuti, dihormati karena kebersihannya, mencuci muka sekurangnya lima kali sehari dan mandi minimal dua kali sehari. Namun belum diikuti, sebab raja masih dipandang sebagai tuhan.
Buya Hamka mengatakan menilik kepada sejarah itu, dapat kita tentukan letak sejarah, bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertama. Pencatat sejarah dunia Islam dari Princeton University di Amerika sudah memegang teguh ketentuan ini dan menyatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7, tegasnya pada kurun pertama.
Era Utsman bin Affan
Namun, seorang ulama yang berminat besar kepada sejarah Islam di Tanah air kita, Indonesia dan Semenanjung Tanah Melayu, yaitu Mufti Kerajaan Johor, Sayyid Alwi bin Taher al-Hadad menganut pendapat bahwa Islam masuk Indonesia sejak dahulu, dari zaman Yazid bin Mu'awiyyah, zaman Khalifah Utsman bin Affan.
Beliau tunjukkan nomor-nomor sumber buku bacaannya dalam Museum Jakarta sehingga Za'ba, sarjana dan pandita (orang mumpuni) bahasa Melayu yang terkenal itu, telah dengan sengaja pada tahun 1456 M datang ke Jawa dan mencari buku tersebut di museum: sayang tidak beliau jumpai.
Menurut Buya Hamka, dalam buku-buku bahasa Arab sendiri berdasar tarikh-tarikh yang muktabar, belumlah bertemu isyarat ke jurusan itu. Yang tertulis di sana hanya masuknya ekspedisi Amr bin Ash ke Mesir, Okbah bin Nafi ke Afrika, Thariq bin Ziyad ke Andalusia, Mohammad bin Kasim ke Sindh (daerah Pakistan), sebab memang orang-orang itu adalah orang belaka. Catatan itu, ada pada pencatat Tiongkok.
Jika demikian, kata Buya Hamka, mungkinlah telah ada sahabat-sahabat Nabi SAW, walaupun bukan dari golongan Kubbarish Shahabah (sahabat-sahabat Nabi SAW yang besar) yang telah menginjak bumi tanah air kita, lebih mungkin lagi ada tabi'in, yaitu generasi umat Islam yang berjumpa dengan sahabat Nabi.
"Namun, ternyata tidak ada di antara mereka yang meninggal dunia di negeri kita, mereka hanya singgah dan kembali lagi. Karena jika ada, baik di Barus, Pariaman (di Sumatra), Kudus, Jepara, atau yang lain, niscaya telah menjadi pusat ziarah yang ramai," demikian Buya Hamka.
(mhy) Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment