Ritual Karbala: Tradisi Kaum Syiah saat Hari Asyura, Penyesalan Diri Para Pengkhianat
Tradisi kaum Syiah saat Hari Asyura yang biasa dinamakan ritual Karbala merupakan hari yang menandai peristiwa syahidnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib dan para sahabatnya dalam perang Karbala. Asyura adalah hari ke-10 Muharram. Ini merupakan peringatan yang penting bagi umat Syiah.
Pengikut Syiah di seluruh dunia mengadakan upacara berkabung untuk Imam Husein, yang biasanya berlanjut hingga tanggal 11 atau 12 Muharram, di beberapa daerah, hingga akhir bulan Safar (bulan berikutnya).
Buku "Sunni dan Syiah, Mustahil Bersatu" karya Kholili Hasib memaparkan bahwa dalam catatan sejarah, ekspresi dan tindakan menyiksa diri tersebut, pada awalnya, berasal dari ritual orang-orang Kufah, Irak. Mereka menyesali diri karena telah berkhianat kepada Hussein ibn Ali sehingga mengakibatkan syahidnya beliau. Maka, untuk menebus kesalahan, dan sebagai bentuk penyesalan itu, mereka mau melukai tubuhnya sendiri.
Ketika Yazid ibn Muawiyah menjadi Khalifah dan mengangkat Ubaidillah bin Ziyad menjadi Gubernur Kufah, orang-orang Kufah menginginkan agar Husein ibn Ali ra datang ke Kufah untuk dibaiat menjadi pemimpin mereka.
Mereka ini, yaitu penduduk Kufah, mengaku 'Syiah-nya Ahlul Bait. Namun, Abdullah bin Abbas ra mengingatkan agar Husein ibn Ali tidak memenuhi undangan orang-orang Kufah tersebut.
Alasannya, Abdullah bin Abbas ra mencium “sesuatu yang tidak beres” di balik undangan itu. Ternyata, peringatan Abdullah bin Abbas ra benar adanya. Begitu Husein ibn Ali sampai di Kufah, orang-orang Kufah segera saja berpaling dari Husein ibn Ali. Alasannya, mereka merasa takut kepada Ubaidillah bin Ziyad yang memang dikenal sangat bengis, kejam, dan pandai mempengaruhi orang lain.
Ketika pasukan Ubaidillah bin Ziyad menyerbu rombongan Husein ibn Ali, orang-orang Kufah itu tidak ada satu pun yang berusaha membantu Husein ibn Ali ra. Bahkan, lebih tragisnya, di antara mereka ada yang justru ikut terjun di dalam peperangan itu di belakang pasukan Ubaidillah ibn Ziyad.
Ubaidillah ibn Ziyad memperlakukan mereka secara keji termasuk terhadap jasad Sayyidina Husein ibn Ali ra, bahkan dengan tindakan yang sulit dicerna dengan akal sehat. Karena tindakan yang keji itu, sampai-sampai Yazid bin Mu'awiyah sendiri merasa muak, bahkan sangat menyesal dengan perbuatan yang dilakukan oleh Ubaidillah ibn Ziyad.
Orang-orang Kufah yang pernah mengaku bahwa dirinya “Syiahtu Ahlil Bait" pun ikut-ikutan merasa menyesal atas perbuatan yang mereka lakukan. Lalu, di antara mereka yang pernah berada di barisan dan sempat memihak tentara Ubaidillah ibn Ziyad, suatu saat, mendatangi Ali Zainal Abidin ibn Husein ra. Kedatangan itu dipicu oleh rasa penyesalan yang sangat mendalam atas perilaku mereka sebelumnya.
Sejarawan Syiah yang bernama Yaqubi pernah menceritakan masalah ini dengan mengatakan: “Ketika Sayyidina Ali Zainal Abidin ra memasuki kota Kufah, beliau melihat orang-orang yang mengaku sebagai Syiahnya Husein (ayah Ali Zainal Abidin) menangis.
Atas apa yang dilihatnya itu, lalu Ali Zainal Abidin ibn Husein berkata: “Kalian telah membunuhnya secara keji, tapi kalian menangisinya. Siapa lagi yang membunuh mereka jika bukan kalian. Jadi, kalianlah yang telah membunuh mereka".
Orang-orang Kufah ini akhirnya menyesali atas perbuatan mereka yang keliru itu. Lalu, di bawah pimpinan Sulaiman bin Sord, mereka segera membentuk sebuah komunitas atau kelompok sebagai wadah untuk mengespresikan penyesalan diri mereka: atau penebusan dosa.
Komunitas itu dinamakan at tawwabun (orang-orang yang bertaubat). Wadah ini menjadi tempat untuk menampung orang-orang Syiah yang pernah berkhianat kepada Sayyidina Husein ibn Ali ra.
Bentuk ritual dan seremonial itu, pada awalnya, biasa-biasa saja. Tidak ada yang aneh dalam cara mereka mengekspresikan rasa penyesalan dirinya. Tidak ada tindakan atau perilaku memukulkan pedang atau benda tajam lainnya ke tubuh mereka sendiri.
Unsur Asing
Ritual itu hanya berupa tangisan-tangisan sambil berteriak-teriak—semacam niyahah. Ritual ghuluw ini dilakukan dengan cara memukulkan pedang atau benda tajam lainnya ke tubuh mereka tersebut muncul pada saat Dinasti Shafawiyah menguasai Iran pada abad ke-17.
Dapat diduga, unsur-unsur Persia dan kepercayaan asing lainnya banyak menginfiltrasi dan mengintervensi ajaran Syiah ketika masa kejayaan dinasti yang beraliran Syiah itu. Termasuk di dalamnya ritual Karbala dengan cara mengalirkan darah mereka sendiri ketika Hari Asyura.
Vali Nasr, salah seorang ilmuan keturunan Iran berpendapat bahwa ritual Asyura itu merupakan kesempatan yang sangat mereka nantikan untuk melakukan pertobatan kolektif atas dosa-dosa mereka melalui ratapan dan penyiksaan diri sendiri. Ratapan ini digambarkan oleh Vali Nasr mirip dengan ritual Catholic Lenten.
Dalam buku Shia Revivals itu, ia menulis:
“Kekuatan Asyura bertumpu pada duka-cita (Azadari). Upacara-upacara peringatan atau ritual lainnya hampir sama dengan upacara Catholic Lenten (empat puluh hari sebelum paskah). Biasanya, orang-orang Kristiani melakukannya seperti hari Minggu Suci (Holy Week) dan peringatan Jumat Agung (Good Friday), serta prosesi jalan Salib (Way of the Cross).
Vali Nasr, yang kini tinggal di Amerika Serikat, juga mengaku bahwa ia sering melihat ritual orang Kristiani itu memiliki kemiripan dengan ritual Karbala yang dilakukan kaum Syiah.
Menurutnya, praktik yang sangat ekstrim dengan cara menumpahkan darah sendiri melalui sayatan di kulit kepala itu sangat menyerupai atau tidak jauh berbeda dengan ritual penyesalan Penitentes.
Padahal, masih menurut Vali Nasr, Penitentes biasa itu dilakukan di beberapa lingkungan Khatolik yang aslinya tumbuh dan berkembang di Semenanjung Iberia.
Dulu, konon, otoritas Syiah pernah melarang ritual tersebut. Bahkan, para pembesar di antara mereka tidak ingin membiarkan praktik dan ritual yang ekstrim seperti itu. Tapi, kenyataan yang terjadi, ritual itu justru menjadi acara utama pada setiap prosesi peringatan Asyura hingga kini.
Hari Libur
Hari Asyura telah dijadikan hari libur resmi di Iran, Irak, Afghanistan, Pakistan, dan India. Di setiap acara peringatannya, pengkhutbah akan menceritakan kehidupan Imam Hussein dan sejarah pertempuran, dan membacakan puisi memperingati Imam Hussein dan kebajikannya.
Dari malam pertama Muharram, umat Syiah mulai berkabung dan berlanjut selama sepuluh malam, mencapai puncaknya pada Hari Asyura. Pengikut Syiah di Iran, misalnya, biasanya menjalankan beberapa ritual selama Muharram termasuk, berkumpul di jalan-jalan dan berbaris dalam prosesi panjang dan memukuli dada mereka, menyiapkan makanan untuk orang miskin, serta menghadiri Ta'ziyeh yang merupakan semacam teater jalanan dengan kostum yang terinspirasi oleh peristiwa sejarah yang terjadi dalam pertempuran Karbala.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment