Masjid Al-Aqsha: Kisah Penjajahan yang Didukung Barat
Penjajah ‘Israel’ berharap penggalian besar-besaran akan menyebabkan keruntuhan Masjid Al-Aqsha, kota suci ketiga umat Islam
SEJAK ‘Israel’ menduduki bagian timur kota Jerusalem [Baitul Maqdis] pada tahun 1967, mereka telah melakukan serangkaian tindakan berturut-turut yang terus meningkat untuk menguasai sepenuhnya Masjid Al-Aqsha. Mereka melakukan Judaisasi dan berupaya keras Masjidil Aqsha menjadi bangunan Talmud Zionis murni.
Mereka juga intervensi dalam hal pengelolaan Masjidil Aqsha dengan berafiliasi dengan pemerintah Yordania. Bahkan berupaya untuk mencampuri isi khutbah Jumat di Masjidil Aqsha dan seluruh masjid di Baitul Maqdis.
Aparat keamanan ‘Israel’ mulai memasuki Masjidil Aqsha segera setelah pendudukan, dan orang-orang Israil selalu berupaya menginjakkan kakinya di Masjidil Aqsha. Sejak awal mereka itu telah memegang lebih dari paspor.
Artinya mereka memiliki kewarga negaraan ganda. Hal ini terus berlanjut selama tiga dekade berikutnya.
Pada tahun 1969 seorang Yahudi-Australia bernama Dennis Michael Rohan membakar Masjid Al-Aqsha, yang menyebabkan kerusakan besar pada landmark penting di Masjid Al-Qibli dan Masjid Umar bin Khaththab. Diantaranya terbakarnya permadani, dekorasi, lengkung, jendela, Mimbar Shalahuddin dan Mihrab Zakariya.
Kebakaran tersebut menghancurkan area seluas lebih dari 1.500 meter dari Masjid Qibli. Yaitu sekitar sepertiga dari wilayah Masjidil Aqsha. Para tentara Zionis bahkan memutus aliran air dan mencegah truk pemadam kebakaran untuk mencapai masjid.
Pada 1980-an serangan bersenjata Zionis terhadap rakyat Palestina mulai meningkat pesat. Pada tahun 1982 terjadi peristiwa yang kemudian dikenal sebagai مجزرة الأحد/ Majroroh Al-Ahad (Pembantaian hari Ahad). ‘Israel’ laknatullah menembak kaum muslimin di Masjid Al-Aqsha, menewaskan dua warga Palestina dan melukai 60 lainnya.
Pada saat yang sama aparat penjajah Zionis mulai melakukan penggalian di bawah Masjid Al-Aqsha dan sekitarnya. Mereka berharap dapat menemukan barang antik Yahudi yang akan dijadikan sebagai bukti konfirmasi ‘kepemilikan’ ‘Israel’.
Mereka juga berharap bahwa penggalian besar-besaran ini akan menyebabkan keruntuhan Masjid Al-Aqsha. Hal ini, diharapkan akan memudahkan kontrol mereka terhadap proses restorasi Masjidil Aqsha.
Penggalian pertama ini dimulai pada tahun 1974 dan kemudian terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 25 September 1996 rakyat Palestina berdemonstrasi ketika penjajah ‘Israel’ laknatullah bermaksud membuka terowongan هبة النفق/ Hibatul Nafaq, yanghari itu dikenang sebagai aksi massa revolusioner Palestina dikenal sebagai awal jihad pertama.
Dengan dimulainya pendudukan, polisi ‘Israel’ berusaha untuk secara bertahap memastikan dominasi mereka atas Masjid Al-Aqsha, dimulai dengan menguasai bangunan sekolah المدرسة التنكزية/ Al-Madrasah At Tankizah di Bab Al-Silsa yang berdekatan dengan dinding barat Masjid Al-Aqsha.
Titik itu kemudian menjadi markas polisi dan penjaga perbatasan ‘Israel’. Yang memungkinkan tentara penjajah bisa menyerbu Al-Aqsha secara permanen, dan bahkan untuk menetap di dalamnya, menangkap atau menyerang para jamaah.
Pemandangan ini seperti yang kita lihat di pertengahan Ramadhan lalu, ketika puluhan pemuda diikat di Masjid Al-Qibli setelah mereka dipukuli tentara Zionis.
Pada tahun delapan puluhan serangan bersenjata Zionis di Masjid Al-Aqsha mulai meningkat. Pada tahun 1982 apa yang dikenal sebagai مجزرة على الحدود/ majzarah ‘ala Al-Huduud (pembantaian di perbatasan, pada hari Ahad) di mana ‘Israel’ laknatullah menembaki kaum Muslim di Masjid Al-Aqsha. Menewaskan puluhan orang Palestina dan melukai ratusan lainnya.
Pada tahun 1983 sebuah kelompok ekstrimis ‘Israel’ mencoba untuk menghancurkan Masjid Al-Aqsha dengan memasukkan bahan peledak dalam jumlah besar. Namun usaha itu gagal karena warga Palestina keburu menemukan bom tersebut.
Pada tahun 1988 zionis ‘Israel’ melepaskan tembakan di halaman Al-Aqsha. Hal ini mengakibatkan cedera dan kematian 100 lebih warga Palestina. Pada tahun 1990 kembali terjadi pembantaian Al-Aqsha, di mana 22 orang syahid dan 200 orang luka-luka.
Periode serbuan Zionis ‘Israel’ ke Masjid Al-Aqsha
Tahun 1970 ketika sekelompok penjaga Tembok Ratapan menyerbu masuk ke dalam masjid, yang menyebabkan Zionis bersikeras untuk memiliki akses bebas memasuki kawasan suci Masjidil Aqsha. Negara palsu yang dipimpin oleh Ehud Barak dalam negosiasi Kamp David pada tahun 2000 mengajukan tuntutan terkait kebebasan tersebut. Hal itu menyebabkan jumlah para menyusup meningkat tajam.
Tahun 2001 pengadilan rezim penjajah memutuskan untuk membuka pintu Masjidil Aqsha kepada semua orang tersebut orang Yahudi.
Salah satu isu luar biasa terkait agresi terhadap Masjidil Aqsha selama periode tersebut adalah fakta bahwa Masjidil Aqsha tidak dapat dijangkau dengan bebas oleh non-Muslim (Yahudi dan lain-lain).
Terjadinya revolusi media sosial telah meningkatkan pemahaman orang (baik muslim maupun non-muslim) akan apa yang terjadi di Palestina dan khususnya Masjidil Aqsha.
Upaya Zionis untuk membagi hari-hari kunjungan ke Masjidil Aqsha tidak mampu direalisasikan. Zionis berkeinginan ada hari khusus untuk ‘Israel’ dan hari khusus untuk muslim. Pembagian ini jelas memicu konflik yang sangat besar.
Surat kabar ‘Israel’ Hayom atau ‘Israel’ Today melaporkan pada 2015, bahwa jumlah penyusup ‘Israel’ meningkat 1000% hanya dalam satu dekade dan ini telah menyebabkan berkembangnya fenomena ظاهرة المرابطين/ Zhahirah Al-Murabithin (yang berpusat di Maroko) dan المرابطات الفلسطينيين/ Al-Murabithaat Al-Filistiin.
Fenomena yang memainkan peran kunci dalam melindungi Masjid Al-Aqsha
Aksi Palestina yang berusaha melindungi dan menjaga Al-Aqshatelah menguat dalam beberapa tahun terakhir secara signifikan dibanding sebelumnya. Kita bisa melihat perbedaan reaksi kaum muslim Palestina terhadap pembakaran Masjid Al-Aqsha di 1969 dengan upaya Zionis ‘Israel’ yang berupaya memasuki masjid melalui gerbang elektronik pada tahun 2017.
Hal itu menciptakan ketegangan besar, memaksa Perdana Menteri ‘Israel’ Benjamin Netanyahu untuk mundur, menaikkan gerbang elektronik dan mengizinkan jamaah masuk tanpa batasan.
Pada tahun 2019, pecah insiden di باب الرحمة/ Baabul Rahmah. Ketika orang-orang Jerusalem [Baitul Maqdis] melakukan aksi duduk di pintu yang coba ditutup paksa oleh Zionis. Aksi protes berlanjut sampai orang-orang Palestina berhasil masuk melalui Baabul Rahmah kemudian mereka melangkah maju dan berhasil berdoa di ruang Baabul Rahmah, yang sebelumnya telah ditutup Zionis selama 16 tahun.
Aksi Palestina membela Masjid Al-Aqsha kembali terulang pada tahun 2021, ketika Pertempuran سيف القدس/ Sayf Al-Quds pecah pada bulan Mei yang dimulai dengan tuntutan untuk mencegah evakuasi warga Palestina dari الشيخ جراح/ Syaikh Jarrah.
Tetapi percikan sebenarnya diluncurkan oleh serangan sengit pasukan pendudukan di ظاهرة المرابطين/Zhahirah Al-Murabithin dan المرابطات الفلسطينيين/ Al-Muraabithaat Al-Filistiin di Al-Aqsha. Yang meneriakkan nama محمد الضيف/Muhammad Al-Dhoif.
Mereka mengibarkan bendera Palestina dan spanduk faksi-faksi perlawanan yang menghubungkan antara Masjidil Aqsha dan Jalur Gaza.*/Hariono Madari, Ika (Ajz)
No comments:
Post a Comment