Kisah Ibnu Sina Mengobati 'Pangeran Sapi'

Pangeran ini berulang kali minta disembelih, layaknya seekor sapi. Red: Hasanul Rizqa ILUSTRASI Sapi.
Foto: pxhere
ILUSTRASI Sapi.
Pada zaman dahulu, Kerajaan Buwaihiyah di Iran mengalami masalah pelik. Pangerannya yang bernama Abu Thalib Rustam mengidap penyakit kejiwaan atau delusi. Putra pasangan Raja Fakhr al-Dawla dan Ratu Sayyida Shirin itu menganggap dirinya seekor sapi.

Bahkan, tak jarang Abu Thalib Rustam bertingkah seolah-olah sapi. Ia melenguh atau berjalan seperti hewan ternak itu—dengan kedua kaki dan tangannya menapaki tanah berumput.

Lebih gawat lagi: berkali-kali Rustam minta disembelih. Tentu saja, permintaan itu tidak dikabulkan oleh kedua orang tuanya.

Apa daya, tidak ada satu pun yang sanggup meyakinkan anak itu bahwa dirinya bukanlah sapi, melainkan manusia.

Karena permintaannya yakni disembelih oleh jagal tidak dituruti juga, Rustam pun melakukan mogok makan. Ia menolak setiap sajian yang disuguhkan kepadanya.

Setiap pagi, pemuda tersebut pergi ke padang rumput dan bertingkah seperti sapi. Melihat itu berkali-kali, ayahnya nyaris menyerah. Penguasa negeri Buwaihiyah itu tidak tahu lagi ke mana akan meminta pertolongan.

Suatu hari, kawannya yang bernama Husamuddin Abu Ja’far mendatangi Istana. Gubernur Isfahan itu mengabarkan, ada seorang dokter muda dan hebat yang insya Allah bisa mengatasi persoalan ini.

Dokter yang dimaksud adalah Ibnu Sina (980-1037), sang ilmuwan genius yang juga penulis Al-Qanun fii ath-Thibb.

Raja merasa gembira. Namun, Husamuddin mengungkapkan, dokter tersebut mau menolongnya, asalkan beberapa syarat dipenuhi. Di antaranya, Ibnu Sina mewajibkan bahwa tidak seorang pun menghalangi dirinya saat sedang menjalankan tindakan medis.

Tak punya banyak pilihan, Raja pun menyanggupi persyaratan itu.

Beberapa hari kemudian, Ibnu Sina tiba di istana. Saat bertemu dengan Pangeran Rustam, ia memperkenalkan diri sebagai jagal yang akan segera menyembelihnya. Rombongan yang dibawanya pun disebutnya sebagai tim pencacah daging.

Mendengar itu, Rustam melonjak kegirangan. Sebab, itulah yang memang ditunggu-tunggunya selama ini.

Ibnu Sina memerintahkan beberapa temannya untuk mengikat tangan dan kaki sang pangeran sekencang-kencangnya. Bukannya memprotes, si anak raja malah pasrah begitu saja.

Prosesi “penyembelihan” dilakukan di lapangan rumput dalam kompleks istana. Bahkan, lubang tempat menampung darah juga sudah digali.

Rustam terbaring di atas tanah dengan tangan dan kakinya terikat. Ibnu Sina mendekatinya dengan membawa sebilah pisau besar nan tajam.Rustam tampak biasa-biasa saja ketika melihat Ibnu Sina. Sebab, pangeran tersebut sudah amat meyakini bahwa dirinya adalah sapi yang sepantasnya disembelih.

Ibnu Sina mendekatkan pisau besar ke leher Rustam. Namun, seketika sang dokter mundur.

“Sapi ini sangat kurus. Tidak ada gunanya menyembelih hewan yang dagingnya sedikit begini,” kata Ibnu Sina.

Rustam kebingungan.

“Bagaimana kalau sapi makan yang banyak terlebih dahulu? Kalau sudah gemuk, sapi bisa disembelih!” ujar dokter itu lagi.

Rustam mengangguk-angguk tanda setuju. Ibnu Sina kemudian memerintahkan timnya untuk membuka ikatan pada tangan dan kaki pasiennya tersebut.

Selanjutnya, sang putra raja diminta duduk tenang. Ibnu Sina memanggil para pelayan Istana. Mereka berduyun-duyun datang dengan membawa aneka macam makanan dan minuman untuk Rustam.

Yang tidak diketahui si "pangeran sapi" adalah, beberapa makanan yang tersaji itu sudah dibubuhi ramuan obat. Ibnu Sina meracik sendiri takarannya agar pas.

Hari demi hari berlalu. Kondisi Rustam kian membaik. Ia tak lagi kurus kering. Berat badannya kembali normal.

Dalam keadaan itu, Ibnu Sina terus mendampinginya dan memberikan semacam psikoterapi untuknya. Beberapa pekan kemudian, Pangeran Rustam sembuh total, tidak lagi menganggap dirinya sapi.rol

No comments: