Belajar dari Runtuhnya Andalusia (Bagian I)
Tepat pada tanggal 2 Januari 1492 M, kerajaan Islam (taifa) Granada dapat dikuasai pasukan Katolik yang dipimpin raja Ferdinand II dari Aragon dan ratu Isabella I dari Kastila. Kekalahan itu tidak hanya berarti tamatnya riwayat taifa tersebut, melainkan juga senja kala peradaban Islam secara keseluruhan yang telah berkibar selama lebih dari 700 tahun di Benua Biru. Sejarah mencatat, kaum Muslimin mulai menguasai Iberia pada awal abad kedelapan.
Titik mula Andalusia terjadi persisnya pada 711 M. Kala itu, Thariq bin Ziyad sukses membebaskan Sidonia, Karmona, Kota Kordoba, dan Kota Granada dari kendali Roderick, sang penguasa Visigoth. Semua daerah dan kota di Iberia tersebut kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Bani Umayyah.
Pada 750 M, gerakan revolusioner Abbasiyah menggulingkan pemerintahan Dinasti Umayyah di Damaskus. Sejak saat itu, lahirlah kekhalifahan baru yang berpusat di Baghdad, Irak. Walaupun rezim Bani Abbas dengan gencar melakukan penyisiran terhadap sisa-sisa kekuatan musuhnya, tetap ada segelintir tokoh sentral Umayyah yang berhasil lolos.
Di antara para bangsawan Umayyah yang sukses menyelamatkan diri adalah Abdurrahman ad-Dakhil. Begitu keluar dari Syam dan Mesir, ia berupaya sampai ke Maghribiyah untuk mengumpulkan pengikut. Selanjutnya, disusunnya rencana untuk merebut Andalusia. Waktu itu, usianya masih 22 tahun.
Ad-Dakhil ternyata dapat mengeksekusi taktik politik dan militernya dengan amat baik. Dengan kekuasaan di tangan, ia merintis tegaknya pemerintahan Umayyah di Andalusia. Sekitar 150 tahun sesudah kematiannya, anak keturunannya mendeklarasikan kekhalifahan baru di Kordoba dengan tujuan menyaingi Baghdad (Abbasiyah) dan Kairo (Fathimiyah).
Seorang sarjana Prancis, Gustve Le Bon (1841-1931), mengomentari kekhalifahan Islam di Hispania pada masa itu. Seperti dinukil Prof Raghib as-Sirjani dalam Bangkit dan Runtuhnya Andalusia (2013), ia mengatakan, “Begitu orang-orang Arab berhasil menaklukkan Spanyol, mereka mulai menegakkan risalah peradaban di sana. Dalam waktu kurang dari satu abad, mereka mampu menghidupkan tanah yang mati, membangun kota-kota yang runtuh, mendirikan bangunan-bangunan megah, dan menjalin hubungan perdagangan yang kuat dengan negara-negara lain.”
Pada abad ke-11, tiada lagi tokoh Umayyah yang cukup berwibawa untuk memimpin seluruh Andalusia. Akhirnya, wilayah Islam di Iberia itu terpecah belah menjadi banyak negara kecil, yang disebut sebagai taifa. Masing-masing taifa mengeklaim independensi.
Munculnya dinasti-dinasti kecil lambat laun menjadikan Muslimin Andalusia kian lemah secara politik. Hal itu menjadi kesempatan besar bagi kerajaan-kerajaan Kristen di sekitarnya untuk balik menyerang. Ironisnya, dalam keadaan demikian beberapa taifa justru meminta bantuan kaum Salibis untuk melawan taifa lainnya.
Menyadari peliknya situasi, sejumlah raja taifa meminta bantuan kepada saudara seiman di seberang lautan. Maka datanglah dinasti-dinasti Muslim dari Afrika utara. Kedatangannya menghalau koalisi Salibis dari wilayah Andalusia. Murabithun dan Muwahiddun adalah beberapa contoh wangsa Maghribiyah yang sukses menjaga peradaban Islam di Iberia.
Pada medio abad ke-13, fokus Dinasti Muwahiddun bergeser. Perhatiannya lebih banyak tercurah pada daerah-daerah di Afrika utara. Pascawafatnya Raja Abdul A’la Idris al-Ma’mun pada 1228, wangsa tersebut kehilangan sama sekali pengaruhnya di Andalusia. Alhasil, keadaan anarki muncul kembali di banyak kota.
Pada 1238, Kordoba jatuh ke tangan penguasa Kristen. Sekira 10 tahun kemudian, Sevilla bernasib serupa. Bagaikan rumah kartu, satu per satu taifa lepas dari kuasa Muslim. Bagaimanapun, Granada tetap bertahan sebagai kerajaan Islam yang tersisa di bumi Hispania hingga tahun 1492.rol
No comments:
Post a Comment