Belajar dari Runtuhnya Andalusia (Bagian II)
Beberapa sejarawan mencatat, Muhammad merupakan seorang Arab kelahiran Arjona, sebuah kota kecil di sekitar Sungai Guadalquivir, Spanyol. Walaupun berasal dari keluarga yang bersahaja, nasabnya bukan sembarangan. Silsilahnya sampai pada seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Sa’d bin Ubadah, dari Bani Khazraj—salah satu kelompok etnis terkemuka di Madinah.
Pada masa jayanya, Muhammad sukses menguasai bukan hanya Granada, tetapi juga Jaen, Almeira, Malaga, dan Valencia. Sebagai pemimpin Muslim, ia juga berjuang melawan serangan Kerajaan Kastilla serta memadamkan pemberontakan kaum mudajjan.
Salah satu legasinya adalah Istana al-Hamra atau Alhambra. Bangunan nan megah itu berdiri di atas Bukit Sabika, dekat Pegunungan Sierra Nevada. Hingga kini, Alhambra masih dapat dijumpai sebagai representasi pencapaian arsitektur Islam era Andalusia.
Pada 1273, Muhammad tutup usia. Anak keturunannya mengembangkan wilayah kekuasaan Bani Nashr. Alhasil, semakin banyak warga yang hijrah ke negeri tersebut. Ada yang berasal dari taifa-taifa tetangga. Mereka umumnya adalah para pengungsi yang negerinya telah dicaplok kerajaan Kristen. Tidak sedikit pula imigran yang datang dari Maghribiyah atau Tunis.
Selama dua abad, Granada di bawah kepemimpinan raja-raja Bani Nashr terus bertahan. As-Sirjani mengatakan, pada masa itu Granada merupakan kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Di antara warga setempat, terdapat kaum cerdik cendekia. Mereka ikut menopang peradaban Islam, sedangkan penguasa Muslim setempat pun mendukung kemajuan. Berdirinya masjid-masjid, perpustakaan-perpustakaan umum, dan universitas di sana merupakan segelintir contoh komitmen demikian.
Dalam jangka waktu 200 tahun itu, Granada tidak sepi dari ancaman. Berkali-kali, koalisi kerajaan Kristen menggempur perbatasan taifa tersebut. Untuk menjaga kekuatan militer, raja Bani Nashr meningkatkan hubungan dengan negeri-negeri jiran Muslim, semisal Bani Marin. Dinasti yang berpusat di Maghribiyah itu mengirimkan bantuan persenjataan dan pasukan setiap kali Granada diserang musuh.
Menurut as-Sirjani, faktor lainnya yang membuat Granada bertahan cukup lama adalah keandalan benteng-benteng perbatasannya. Memang, pada akhirnya tembok pertahanan itu runtuh akibat terus diserang kerajaan-kerajaan Kristen sekitarnya. Terlebih lagi, pada abad ke-15 faksi-faksi Salibis mulai bersatu sehingga meningkatkan daya serang terhadap taifa ini.
Bagaimanapun, “masa tenang” selama lebih dari satu abad itu cukup untuk memunculkan banyak pencapaian peradaban Islam di Granada. Dari kota tersebut, lahirlah sejumlah ilmuwan dengan karya-karya yang memukau. Industri kertas, tekstil, garmen, dan pembuatan kapal juga bergeliat sehingga menambah pundi-pundi pemasukan negara.rol
No comments:
Post a Comment