Di Balik Niat Buruk Orientalis terhadap Islam

Seperti Snouck Hurgronje, orientalis Arent Jan Wensinck mempelajari Islam, niatnya bukan untuk menjadi seorang Muslim, tetapi mencari ‘kelemahan Islam’

ORIENTALISME dan kolonialisme secara historis saling terkait erat, terutama dalam konteks negara-negara Muslim. Orientalisme, sebagai pendekatan ilmiah oleh Barat dijadikan untuk “mempelajari Islam” dan peradaban Timur, sering kali memberikan landasan intelektual bagi pemerintahan kolonial.

Kekuatan-kekuatan Eropa mengandalkan pengetahuan orientalis untuk lebih memahami dan mengendalikan masyarakat Muslim selama periode ekspansi dan kolonisasi mereka.

Dengan menggunakan cara pandang skeptis menilai Islam, banyak orientalis yang termotivasi bukan hanya oleh keingintahuan akademis tetapi juga oleh kepentingan politik dan strategis.

Banyak kebijakan kolonial dengan menggunakan penelitian orientalis untuk membenarkan penjajahan mereka atas tanah-tanah Muslim, menggambarkan Islam sebagai agama yang terbelakang dan tidak rasional yang membutuhkan bimbingan Barat.

Ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir (1798): Napoleon membawa para sarjana untuk mempelajari budaya, bahasa, dan agama Mesir, yang membantu Prancis menegaskan kendali atas wilayah tersebut.

Pemerintahan Inggris di India: Inggris mengandalkan orientalis seperti William Jones untuk mempelajari hukum Islam, yang memungkinkan mereka untuk memanipulasi sistem hukum lokal demi keuntungan mereka.

Kolonisasi Belanda di Indonesia: Snouck Hurgronje, seorang sarjana Belanda, mempelajari Islam di Indonesia untuk membantu pemerintah kolonial mengendalikan perlawanan Muslim, khususnya di Aceh.

Sarjana orientalis sering menggambarkan masyarakat Muslim sebagai masyarakat yang stagnan, lalim, dan tidak mampu memerintah diri sendiri.

Hal ini membenarkan intervensi Eropa dengan kedok “memperadabkan” penduduk asli. Gagasan tentang “Beban Orang Kulit Putih” memperkuat keyakinan bahwa Barat memiliki kewajiban moral untuk memerintah dan mereformasi masyarakat Muslim.

Para orientalis menerapkan berbagai teori dalam kajian Islam, seperti teori pengaruh, teori asal-usul, teori peminjaman, dan teori kritik sejarah, yang sering digunakan dalam karya-karya mereka.

Namun, pendekatan mereka sering kali bersifat akademis tanpa mengakui kebenaran Islam, seenaknya membagi Islam menjadi kategori-kategori seperti Islam klasik, Islam moderat, dan Islam radikal.

Arent Jan Wensinck Berniat Menjatuhkan Islam

Salah satu contoh menarik adalah seorang orientalis keturunan Yahudi asal Belanda, Arent Jan Wensinck. Wensinck lahir di Belanda pada tahun 1882 dan wafat pada tahun 1939.

Ia merupakan anak dari Johan Herman Wensinck, seorang menteri di Belanda, dan ibunya bernama Sarah Getrude Fermier. Sejak muda, Wensinck telah menunjukkan ketertarikan mendalam terhadap studi keislaman, meskipun niatnya tentu saja bukan untuk menjadi seorang Muslim.

Sebagai seorang orientalis sejati, ia mempelajari berbagai bahasa dan budaya, termasuk bahasa Arab, Ibrani, dan Suriah. Ilmu ini digunakannya untuk mendalami hadis dan ajaran Islam.

Salah satu gurunya adalah Snouck Hurgronje, seorang orientalis terkenal yang menjadi konsultan Pemerintah Kolonial Belanda dan menjadikannya harus berpura-pura masuk Islam.

Niat Tersembunyi di Balik Studi Islam

Wensinck bukan sekadar akademisi biasa. Ia memiliki niat tersembunyi untuk melemahkan Islam dengan memutarbalikkan ajarannya.

Dengan bekal ilmu orientalisnya, ia menulis berbagai karya yang tampaknya ilmiah, tetapi di balik itu, ada upaya untuk menimbulkan keraguan di kalangan umat Islam.

Salah satu karya terkenalnya adalah tesis berjudul Mohammed and the Jews of Medina, yang menjadi rujukan utama dalam studi Islam di Universitas Leiden.

Karya ini membawanya meraih gelar akademik dengan predikat cum laude. Pada tahun 1912, ia diangkat menjadi pengajar bahasa Ibrani di universitas yang sama.

Dia banyak mempelajari hadis Nabi, dan menulis sebuah buku bahasa Inggris tentang kamus hadis Nabi, yang dia temukan dari 14 kitab Sunan dan Sirah.

Dia telah menjadi Direktur Studi Islam pada tahun 1925 M di mana dia menerjemahkan esai dalam tiga bahasa sekaligus sampai dia menghasilkan sebuah buku yang memiliki 4 volume besar.

Dia juga menulis banyak tulisan dengan berbagai sumber. Di antaranya adalah buku-buku berbahasa Inggris tentang Islam dan penganutnya. (Dari buku الأعلام للزركلي tentang Wensinck).

Sebagai seorang Kristen anti-Islam, ia mencurahkan banyak waktunya untuk mempelajari Islam, terutama hadis yang dilakukan dengan maksud untuk merendahkan dan menghina Islam itu sendiri.

Itulah sebabnya dia dipecat dari pekerjaannya saat berada di Mesir karena tulisannya yang secara terbuka menyinggung umat Islam.

Terlepas dari niat jahatnya, ia juga menyusun sebuah karya besar yang kemudian digunakan oleh umat Islam untuk memfasilitasi pencarian kata-kata hadis, yaitu: “A Handbook Of Early Muhammadan Tradition” yang disusun berdasarkan abjad yang setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi “Miftah Kunuz As-sunnah” dan “al-Mu’jam al-Mufahrass li Alfazh al-Ahadis Al-Nabawi”.

Pada tahun 1913 hingga 1938, Wensinck juga terlibat dalam penyusunan Ensiklopedia Islam, sebuah proyek besar yang mendokumentasikan berbagai aspek agama Islam dan tradisinya.

Meskipun dalam beberapa bagian ia berusaha mengabaikan syariat Islam, ensiklopedia ini tetap menjadi sumber berharga bagi penelitian Islam.

Hikmah di Balik Niat Buruk

Apa yang dilakukan Wensinck menunjukkan bahwa terkadang, musuh Islam justru tanpa sadar terkadang justru menguatkan umat ini sendiri. Rasulullah ﷺ pernah bersabda yanga artinya; “Sesungguhnya Allah menguatkan agama dengan lelaki yang jahat (fajir).” (HR: al-Bukhari).*

No comments: