Mengenal Qaul Qadim dan Qaul Jadid Imam Syafii

Masing-masing ini menandakan pendapat lama dan pendapat baru sang mujtahid. Red: Hasanul Rizqa ILUSTRASI Imam Syafii
Foto: republika
Ada satu fenomena yang terkait dengan Imam Syafii, seorang ulama besar peletak salah satu mazhab fikih ahlus sunnah wal jama'ah (aswaja). Murid Imam Malik bin Anas itu mempunyai "pendapat lama" dan "pendapat baru" atau qaul qadim wa qaul jadid. Menurut Ahmad Nahrawi, keduanya juga menandakan adanya dua periode perjalanan keilmuan yang dijalani sang mujtahid besar.

Qaul qadim atau pendapat lama Imam Syafii disarikan dalam kitab Al-Hujjah. Perawi karya tersebut, antara lain, ialah Imam Hambali dan Abu Tsaur. Fatwa-fatwa yang tergolong qaul qadim diberikan ketika dirinya masih menetap di Baghdad, Irak.

Sementara itu, qaul jadid atau pendapat baru Imam Syafii termaktub dalam Al-Umm karyanya. Kitab tersebut diriwayatkan sejumlah muridnya, seperti al-Muzanni atau al-Buwaithi. Berbeda dengan qaul qadim, fatwa-fatwa yang termasuk periode-baru ini disampaikan kala dirinya mengajar di Mesir.

Mengapa sampai ada pemilahan antara yang lama dan baru itu?

Ahmad Nahrawi mengatakan, Imam Syafii merupakan ulama yang sangat teliti dan peka. Begitu tinggal di Mesir, dirinya menyaksikan dan mempelajari adanya banyak masalah baru di tengah umat. Persoalan-persoalan itu kerap kali tidak ditemuinya kala dirinya masih menetap di Baghdad.

Alhasil, Imam Syafii merasa berkewajiban moral untuk mengkaji ulang fatwa-fatwa yang pernah disampaikannya di Irak agar menyesuaikan dengan realitas dan kondisi baru, sebagaimana yang disaksikannya di Mesir.

Sebagai tokoh yang amat menguasai banyak ilmu keislaman, khususnya hadis, ushul fikih, dan fikih, ia pun dapat dengan mudah menyerap semua permasalahan yang ada. Setelah itu, ia pun memberikan pendapat-pendapat baru dari hasil ijtihadnya.

Yang cukup menarik, Imam Syafii tidak menyatakan semua pendapat baru tersebut menghapus pendapat-pendapat yang lama, kecuali pada kasus-kasus tertentu yang disebutkan nasakh (penghapusan) dan kondisi yang sesuai (waqi’).

Dari fenomena qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafii, seorang pencari ilmu dapat memetik hikmah. Misalnya, fatwa diperoleh tidak sekadar dari menukil teks. Ijtihad yang dilakukan sang imam muncul dari telaahnya atas berbagai kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Dengan perkataan lain, ijtihad itu tidaklah literal belaka.

Hingga akhir hayatnya, Imam Syafii terus berdakwah dan mengajar di Mesir. Usianya banyak dihabiskan untuk berpikir, berkarya, dan menebar maslahat. Selama di negeri delta Sungai Nil, dia menjadi ulama yang paling banyak dicari para penuntut ilmu dari seluruh penjuru dunia.

Mereka ingin belajar langsung, meriwayatkan banyak hadis darinya, dan mengikuti pengajiannya. Sang imam pun berhasil mencetak kader-kader ulama besar, baik lelaki maupun perempuan.

Menurut Ahmad Nahrawi, Imam Syafii sempat mengidap sakit ambien sebelum ajal menjemputnya. Akademisi ini membantah opini-opini yang menyebut, ulama peletak dasar mazhab Syafii tersebut meninggal karena luka di kepala akibat tusukan Futyan bin Abi as-Samh al-Maliki.

Pada Rajab 204 H, mujtahid besar ini mengembuskan napas terakhir. Lautan manusia mengiringi pemakaman jenazahnya.rl

No comments: