Kisah Kesaktian Kiai Bawean Saat Melawan Penjajah: Bom-Bom Belanda tidak Meledak

KH Hamid Thobri dikenal sebagai seorang ulama pejuang yang karismatik. Rep: Muhyiddin/ Red: A.Syalaby Ichsan Warga Bawean (ilustrasi)
Foto: Republika/Muhyiddin
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran para ulama. Mereka bukan hanya berdakwah menyebarkan ajaran Islam, tetapi juga ikut angkat senjata melawan penjajah. 

Salah satu sosok ulama pejuang yang jarang tercatat dalam buku sejarah nasional adalah KH Hamid Thobri atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Pancor, seorang ulama karismatik asal Pulau Bawean, Gresik.

Pulau Bawean yang dijuluki Pulau Putri terletak sekitar 120 kilometer sebelah utara Kabupaten Gresik. Di pulau yang relatif terpencil itulah Kiai Hamid menorehkan jejak perjuangannya. 

Setelah menimba ilmu di berbagai pesantren di Jawa dan dua kali belajar di Makkah, Kiai Hamid kembali ke tanah kelahirannya pada 1941. Ia kemudian mendirikan langgar sederhana di Dusun Batusendi, Desa Sidogedungbatu, yang menjadi titik awal dakwahnya.

Komandan Hizbullah Bawean

Peran Kiai Hamid semakin menonjol ketika ia ditunjuk sebagai Komandan Laskar Hizbullah di Pulau Bawean. Laskar Hizbullah merupakan pasukan bentukan KH Hasyim Asy’ari pada 1943 untuk membantu rakyat melawan penjajah. Sebagai komandan, Kiai Hamid menanamkan semangat jihad kepada para santrinya, sekaligus mempertahankan akidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).

Cerita heroik bahkan berkembang di kalangan masyarakat Bawean. Saat Belanda menyerang pulau itu, bom-bom yang dijatuhkan disebut-sebut tidak meledak. ”Mungkin karena karomah Toa Ae,” ujar cucunya, Gus Mahfudz, menyebut panggilan khusus keluarga untuk Kiai Hamid.

Tiga tahun setelah masa revolusi, tepatnya 1948, Kiai Hamid mendirikan Pesantren Raudlatul Mustarsyidin di Dusun Pancor. Pesantren inilah yang kelak menjadi pusat pendidikan Islam di Bawean dan kini dikenal dengan nama Pesantren Nurul Huda. 

photo
Para wisatawan bermain pasir di Pulau Noko dengan latar belakang Pulau Gili di Bawean, Kabupaten Gresik. - (Republika/Muhyiddin)

Hampir seluruh ulama Bawean pernah menimba ilmu di pesantren itu sebelum melanjutkan ke Jawa. “Dulu gak ada pondok sama sekali di Bawean, jadi otomatis yang tidak bisa mondok ke Jawa akhirnya nyantri ke sini,” tutur Gus Mahfudz.

Melalui pesantren itu, Kiai Hamid mencetak kader-kader pendakwah sekaligus pejuang Islam. Dakwahnya selalu menekankan pentingnya taubat, dzikir, dan menegakkan kalimat tauhid.

Kiai Hamid dikenal sebagai ulama yang dekat dengan masyarakat. Ia sering bersilaturahim ke kampung-kampung dengan menunggangi kuda putih atau ditandu oleh santrinya. Anak-anak kecil sangat menyukainya karena sering diberi uang receh.

Namun, di balik kelembutannya, Kiai Hamid sangat tegas terhadap kemungkaran. Pertunjukan orkes atau hiburan yang dianggap maksiat tidak pernah berani melintas di depan pesantrennya. Bahkan, suatu ketika, ia bersama santrinya membubarkan langsung sebuah pertunjukan orkes yang dinilai melanggar syariat.

Ulama Yang Disegani
Lahir pada 20 September 1899 dari pasangan KH Thobri dan Hajjah Syafiyah, Kiai Hamid tumbuh dengan jiwa keras khas keturunan Sulawesi. Sejak muda, ia sudah menunjukkan kepedulian sosial yang tinggi. Ilmunya ditempa dari berbagai pesantren ternama di Jawa hingga ke Makkah.

Perjalanan panjangnya berakhir di Dusun Pancor, tempat ia wafat dan dimakamkan. Hingga kini, masyarakat Bawean masih menaruh rasa ta’dzim kepadanya. Sosok Kiai Hamid Pancor tidak hanya dikenang sebagai ulama, tetapi juga sebagai pejuang kemerdekaan yang ikut menjaga Bawean dari cengkeraman penjajah.

Dengan wibawa, ketegasan, dan pengabdian kepada masyarakat, Kiai Hamid Thobri menjadi bukti bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia juga lahir dari pulau-pulau terpencil seperti Bawean.rol

No comments: