Jejak Bahasa Melayu Aceh
Setidaknya Aceh Darussalam telah menyandang tiga gelar keistimewaan sejak jaman kesultanan hingga masih berbentuk sampai saat ini. Pertama Aceh bergelar Serambi Mekkah karena Aceh telah memilih dan memelihara Islam dengan semangat yang tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas. Sehingga Aceh merupakan satu-satunya daerah yang memakai hukum Allah yakni syariat Islam. Sementara negeri lain memakai hukum yang dibuat oleh manusia, yang dapat diubah sesuai kehendak penguasa dan hawa nafsu. Kedua, Aceh tidak pernah takluk oleh penjajah kafir Belanda, semangat jihad telah membakar seluruh lapisan strata masyarakat, baik orang awam, pembesar istana, cendikiawan maupun ulama. Semua saling bahu-membahu mengusir penjajah kafir.
Naskah Aceh - Melayu |
Hal ini disebabkan karena Aceh tidak mau menerima kehidupan Islam dibawah intimidasi orang kafir. Hikayat Prang Sabi yang dikarang Syiekh Chik Pantee Kulu telah membakar semangat jihad. Begitu seseorang selesai membacanya, ia akan segera turun dengan semangat heroik menuju gelanggang perang. Memang inti pati dari kitab ini adalah keutamaan berjihad dalam membela agama Allah. Sehingga Belanda melarang kitab ini dibaca dan disebar luaskan di tengah masyarakat. Ketiga Aceh merupakan 4 serangakai pusat budaya Melayu yaitu Sriwijaya, Aceh, Melaka dan Riau.
Keistimewaan ketiga sepintas kilas memang kedengaran agak aneh, sebab pada kenyataannya orang Aceh dalam kehidupan sehari-hari memakai bahasa Aceh. Namun di sini pulalah letak keunikan dan keistimewaannya. Meskipun masyarakat Aceh memakai bahasa Aceh namun kalangan cendikiawan, ulama, sastrawan dan orang terpandang memakai dan menguasai bahasa Melayu dengan mahir, sehingga mereka mampu memelihara bahasa Melayu dengan baik.
Bahasa melayu dalam dunia kepengarangan begitu dominan, bahkan kerajaan Pasai dan kerajaan Aceh Darussalam menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan. Tidak sedikit sumbangan para pengarang Aceh dalam membentuk dan memelihara bahasa Melayu. Seperti Hamzah Fansuri yang telah membekukan bentuk penulisan huruf Arab-Melayu, dan menjadi pengarang Melayu pertama menulis karya bersifat ilmiah. Sebab itu tidaklah berlebihan kalau Beliau diberikan gelar Bapak Bahasa Melayu Nusantara.
Penulisan huruf Arab-Melayu yang telah ditaja oleh Hamzah Fansuri tersebut diikuti oleh para ulama Aceh yang lain dalam menulis berbagai kitab karangan mereka. Akibatnya cara penulisan ini dengan cepat menyebar secara luas di seluruh wilayah Rantau Melayu. Sehingga akhirnya menimbulkan beberapa versi. Maka versi Arab-Melayu yang dipakai di Aceh “mungkin” merupakan versi yang tertua. Mengenai hal ini patut ditelusuri dengan penelitian yang mendalam, sehingga bahasa Melayu Aceh lebih jelas lagi jati dirinya.
Para pengarang dan ulama Aceh menyadari bahasa Melayu telah menjadi bahasa komunikasi di Asia Tenggara, jadi apapun yang hendak dikembangkan dan disampaikan kepada khalayak tentulah akan efektif dengan memakai bahasa Melayu. Sebab itu, mereka mengarang kitab-kitab yang berisi kajian tentang agama Islam dan ilmu pengetahun dengan memakai bahasa Melayu. Sehingga kitab-kitab tersebut dapat dibaca dan dipakai oleh khalayak dari berbagai bangsa terutama di nusantara. Sementara itu, masyarakat Aceh sendiri memahami bahasa Melayu karena kedua bahasa ini mempunyai banyak persamaan dan masih termasuk rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Bahkan beberapa kitab telah menjadi pedoman bagi kerajaan Islam di nusantara. Misalnya Tajussalatin (Mahkota Raja) karangan Bukhari al-Jauhari menjadi pedoman pembuatan undang-undang kerajaan.
Hamzah Fansuri dalam kitabnya Asrar al-‘Arifin terutama bagian mukaddimah sengaja menantang pengarang-pengarang asing yang ada di Aceh yang tidak mau ataupun tidak sanggup mengarang dalam bahasa Melayu. Ia meyadari banyak khalayak yang tidak paham dan mengerti bahasa Arab maupun bahasa Parsi. Ia ingin karangannya dibaca oleh semua orang bukan saja oleh mereka yang memahami bahasa Arab dan Parsi; ketahui bahwa faqir dhaif Hamzah Fansuri hendak menyatakan jalan kepada Allah swt dan makrifat Allah dengan bahasa Jawi dalam kitab ini, Insya Allah supaya segala hamba Allah yang tiada tahu bahasa Arab dan bahasa Parsi supaya dapat membicarakan dia.
Begitu juga dengan Samsuddin Pasai dengan kitabnya Mir’at al-Mu’min menulis dalam bahasa Melayu yang dinamainya bahasa Pasai;….. terbanyak daripada orang yang mulia daripada saudaraku yang salih…. Karena tiada mereka itu tahu akan bahasa Arab dan Parsi, tetapi tiada diketahui mereka itu melainkan bahasa Pasai jua. Nuruddin ar-Raniri dengan karyanya Asrar al Insan fi Makrufah wa Rahman juga ditulis dengan bahasa Melayu. Hikayat Raja Aceh juga memakai bahasa Melayu, tentulah dengan pertimbangan supaya manca negara mengetahui kejayaan dan kebesaran raja-raja Aceh. Dan masih banyak lagi karya para pujangga Aceh yang di tulis dalam bahasa ini.
Bahasa Melayu yang telah ditampilkan oleh para penyair Aceh tidak kalah indah dengan penampilan bahasa Melayu lainnya. Kalam bijak yang ditulis amat berkesan menurut rentak tangan pengarangnya yang piawai. Begitu rancak dan indah, namun ia pun menukik tajam penuh arti, bagaikan sang rajawali menyambar mangsanya di tengah belantara. Bahasa syairnya menampilkan simbol yang jernih dan kemilau, tersirat dan tersurat muatan makna yang bernas dan mendalam. Sementara alur ceritanya mendukung hujjah yang kokoh, sehingga patut untuk kita pedomani.
Bahasa Melayu telah berjaya di Aceh, setidaknya sejak peralihan Hindu-Islam. Hal ini dibuktikan dengan batu tulis di Minye Tujoh Aceh bertahunkan 1380 Masehi. Tulisannya mengandung unsur bahasa Sansekerta yang telah menyerap bahasa Arab. Batu tulis ini telah memberi bukti luasnya jangkauan bahasa Melayu Aceh pada masa itu setidaknya dari Pasai sampai ke Kedah; Mijrat nabi mungstapa nyang prasadha/tujoh ratus asta puluh savarsa/hajji catur dan dasa vara sukra/raja iman (varda) rahmatullah/gutra bha(ru) bhasa(ng)/ ampu hak kaddah dan pase ma (kedah dan pasai)/tarukh tasih tanah samuha/ilahi ya rabbi tuhan samuha/taruh dalam
No comments:
Post a Comment