Malaysia Beli 5000 Manuskrip Aceh Secara Diam-Diam
Manuskrip Aceh.
Hayatullah Zuboidi
Sebanyak 5000 lebih manuskrip Aceh dibeli secara diam-diam oleh Malaysia dan sekarang Malaysia sudah membuat pusat manuskrip terbesar di Asia. Koleksinya mayoritas berasal dari Aceh, karena pada abad 15-19 Malaysia sendiri dikendalikan oleh Aceh.
Demikian dikatakan wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, disela-sela melaporkan kepada rombongan Komisi X DPR RI tentang perkembangan Aceh dibidang pendidikan, pariwisata, budaya, dan olahraga di Gedung Serba Guna kantor gubernur Aceh, Selasa (26/7).
“Saya memberi masukan ke DPR RI dan pemerintah pusat bahwa kita banyak kecolongan dibidang kebudayaan. Kita di Aceh dibidang kebudayaan dulu merupakan kerajaan terbesar dengan intelektualitas tulis menulis. 5000 manuskrip Aceh dibeli secara ilegal oleh Malaysia, jadi Malaysia sekarang membuat pusat manuskrip terbesar di Asia. Koleksinya banyak karya dari Aceh,”ungkap Nazar.
Di satu pihak Malaysia membeli secara mahal manuskrib-manuskrib itu, sementara pemerintah sendiri kurang membelinya. Biasanya orang Indonesia baru protes setelah diambil orang lain, seperti kejadian batik.
“Saya pikir manuskrip itu lebih penting dari apapun karena ini peradaban, dan banyak sekali kitab-kitab kuno Aceh tentang agama, kesehatan, ilmu perang, bela diri, dan politik diseludupkan ke Malaysia,”tambahnya.
Lanjut Wagub, Ada 600 judul diselundupkan ke Brunei Darussalam. Namun untuk dikembalikan lagi ke Aceh sangat sulit, pasti diperiksa secara ketat di bandara. Apalagi pemerintah kekurangan uang. Kalaupun ada uang, dikirim agen kekampung-kampung, karena manuskrip itu ada di pusat kerajaan dipedalaman.
Kata Nazar, di bidang Arkeologi, Aceh juga masih kurang perhatian, baik dari risetnya maupun promosinya sebagai bagian dari pariwisata di Aceh. Dapat dicontohkan seperti Turki, mereka sukses dalam menjual sejarah mereka. Untuk mengkapitalkan sejarah dan budaya untuk para turis, ini yang belum berhasil dilakukan di Indonesia.
Yang selalu dikampanyekan selama ini hanyalah Bali, seolah-olah pariwisata Indonesia itu hanya di Bali. Ini jadi suatu masalah. Aceh telah mempersiapkan kunjungan pariwisata tahun depan, dan tahun lalu juga sudah dilakukan yaitu Visit Banda Aceh Years 2011, memang dibidang pariwisata di Aceh trennya naik, meskipun belum seperti di Bali.
Nazar juga memberitahukan kepada Komisi X bahwa saat ini di Aceh juga sedang berlangsung Aceh Internasional Festival Folklore. Aceh sendiri yang menjadi tuan rumah ajang yang bergengsi itu padahal kata Wagub, festival itu dibuat dalam kekurangan anggaran, tetapi tetap jalan.
“Ini untuk memperkuat perdamaian di Aceh, bahwa Aceh selalu terbuka untuk cosmopolit dan tidak ada masalah dalam komunikasi dalam kebudayaan,” ujarnya.
Selain itu pemerintah Aceh sedang menghidupkan perpustakaan di masjid-masjid, dan sedang merancang cafe library (warung kopi pustaka). Warung kopi di Aceh meskipun buka Rukun Iman yang ketujuh, tetapi jadi satu tradisi, apabila ada yang larang untuk tutup, akan menimbulkan konflik, dan yang perlu pihaknya lakukan adalah mentransformasikan warung kopi tersebut.
Pelanggan warung kopi sambil minum kopi bisa membaca, “Dan ini harus kita mulai dari warung-warung kopi yang besar dulu,” katanya.
Hayatullah Zuboidi
No comments:
Post a Comment