Intip Meunasah Aceh di Stockholm
Layaknya kehidupan sosial kemasyarakatan di kampung halaman, dari pinggiran kota Stockholm puluhan warga Aceh perantauan dari berbagai generasi berkumpul dalam sebuah ikatan persaudaraan
Cuaca dingin musim salju di akhir tahun membuat ruangan dalam apartemen itu penuh sesak. Puluhan orang dewasa tua, muda, bahkan anak-anak berkumpul untuk sebuah kenduri besar di sebuah rumah pinggiran kota Stockholm. Wajah mereka tak terlihat warga Swedia tapi percakapan komunikasinya terdengar bahasa Swedia dan Aceh. Angin dari luar rumah berhembus pelan menusuk tulang, dari jendela terlihat salju dimana-mana menutupi aspal jalan.
"Kita sedang menunggu tamu yang dari kota lain tiba, untuk itu kita ngopi saja dulu di dapur" ajak Tgk Ramli yang dikalangan warga Aceh di Swedia aktif sebagai guru mengaji.
Setiap ada kegiatan seperti keagamaan, rapat tentang politik Aceh, menerima tamu, kegiatan wanita atau sekedar untuk bersilaturahim setiap akhir pekan, rumah itu selalu ramai dikunjungi orang. Sudah lama digunakan kalau rumah multi fungsi itu disebut dengan Meunasah Aceh di Stockholm dengan nama Svensk-Atj�hniska F�rening.
Persis pada 26 Desember lalu, warga Aceh di Swedia ikut mengadakan doa mengenang enam tahun tsunami. Kegiatan ini diyakini dilakukan oleh masyarakat Aceh perantauan di seluruh dunia yang terdapat komunitas Aceh. Di Swedia, tamu Aceh yang datang berasal dari kota Stockholm, Eskiltuna, Nyk�ping, �rebro, H�llefors dan mereka memusatkan acaranya di daerah Fittja, Norsborg.
Seperti biasa, setelah berdoa diselingi dengan makan kenduri bersama yang telah dipersiapkan oleh kaum wanita. Lazimnya setiap pertemuan rapat di akhir tahun, diadakan evaluasi selama 2010, termasuk diantaranya biaya penyewaan Meunasah Aceh.
“Meunasah kita ini harga sewanya kalau di kurskan setara dengan Rp 75 juta per tahun atau sama dengan sewa rumah yang ditempati Almarhum Tgk Hasan Tiro di Lamteumen, Banda Aceh" ujar Yusuf Daud salah seorang senior warga Aceh di Swedia.
Ia juga mengisahkan bagaimana cikal bakal berdirinya sebuah meunasah itu pada awal 1998. Awalnya, inisiatif bersama beberapa kepala keluarga warga Aceh perantauan yang telah puluhan tahun tinggal dekat ujung kutub utara itu untuk untuk memberikan pengajian bagi anak-anak Aceh yang lahir di Swedia. Bagi mereka, rindu akan kampung halaman orang tuanya untuk sementara bisa terobati sejenak.
Kini, puluhan tahun sudah mereka membuat sebuah "kampung Aceh" di Swedia dan Meunasah itu pula telah berjasa untuk warga Aceh di perantauan terutama untuk menjaga adat dan budayanya.
Asnawi Ali
Cuaca dingin musim salju di akhir tahun membuat ruangan dalam apartemen itu penuh sesak. Puluhan orang dewasa tua, muda, bahkan anak-anak berkumpul untuk sebuah kenduri besar di sebuah rumah pinggiran kota Stockholm. Wajah mereka tak terlihat warga Swedia tapi percakapan komunikasinya terdengar bahasa Swedia dan Aceh. Angin dari luar rumah berhembus pelan menusuk tulang, dari jendela terlihat salju dimana-mana menutupi aspal jalan.
"Kita sedang menunggu tamu yang dari kota lain tiba, untuk itu kita ngopi saja dulu di dapur" ajak Tgk Ramli yang dikalangan warga Aceh di Swedia aktif sebagai guru mengaji.
Setiap ada kegiatan seperti keagamaan, rapat tentang politik Aceh, menerima tamu, kegiatan wanita atau sekedar untuk bersilaturahim setiap akhir pekan, rumah itu selalu ramai dikunjungi orang. Sudah lama digunakan kalau rumah multi fungsi itu disebut dengan Meunasah Aceh di Stockholm dengan nama Svensk-Atj�hniska F�rening.
Persis pada 26 Desember lalu, warga Aceh di Swedia ikut mengadakan doa mengenang enam tahun tsunami. Kegiatan ini diyakini dilakukan oleh masyarakat Aceh perantauan di seluruh dunia yang terdapat komunitas Aceh. Di Swedia, tamu Aceh yang datang berasal dari kota Stockholm, Eskiltuna, Nyk�ping, �rebro, H�llefors dan mereka memusatkan acaranya di daerah Fittja, Norsborg.
Seperti biasa, setelah berdoa diselingi dengan makan kenduri bersama yang telah dipersiapkan oleh kaum wanita. Lazimnya setiap pertemuan rapat di akhir tahun, diadakan evaluasi selama 2010, termasuk diantaranya biaya penyewaan Meunasah Aceh.
“Meunasah kita ini harga sewanya kalau di kurskan setara dengan Rp 75 juta per tahun atau sama dengan sewa rumah yang ditempati Almarhum Tgk Hasan Tiro di Lamteumen, Banda Aceh" ujar Yusuf Daud salah seorang senior warga Aceh di Swedia.
Ia juga mengisahkan bagaimana cikal bakal berdirinya sebuah meunasah itu pada awal 1998. Awalnya, inisiatif bersama beberapa kepala keluarga warga Aceh perantauan yang telah puluhan tahun tinggal dekat ujung kutub utara itu untuk untuk memberikan pengajian bagi anak-anak Aceh yang lahir di Swedia. Bagi mereka, rindu akan kampung halaman orang tuanya untuk sementara bisa terobati sejenak.
Kini, puluhan tahun sudah mereka membuat sebuah "kampung Aceh" di Swedia dan Meunasah itu pula telah berjasa untuk warga Aceh di perantauan terutama untuk menjaga adat dan budayanya.
Asnawi Ali
No comments:
Post a Comment