Panglimo Rajo Lelo IV Pahlawan Aceh Tanpa Gelar Kehormatan

Kisah patriotisme rakyat Aceh sudah tidak dapat di ragukan lagi. Sederet nama telah di nobatkan menjadi pahlawan nasional. Sebut saja Cut Nyak Ddien, Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro dan banyak pahlawan-pahlawan lainya yang gugur secara syahid yang tidak begitu kenal namanya baik di daerah maupun secara nasional. Perjuangan rakyat Aceh mengusir penjajah dari Tanah Rencong begitu menggelora disebabkan karena latar belakang kerajaan Aceh yang merupakan kerajaan Islam.
Rakyat aceh merupakan pemeluk agama Islam yang taat. Penjajah Belanda di Aceh merupakan kafir musuh agama atau orang Aceh menyebutnya kaphe. Adanya keyakinan bahwa penjajah sebagai orang kaphe (musuh agama) menjadi pemicu semangat rakyat Aceh untuk mengusirnya. Karena adanya keyakinan apabila tewas dalam pertempuran melawan kafir (belanda) akan mendapatkan ganjaran pahala syahid dari Tuhan. Makanya tidak mengherankan mengapa Belanda sejak pertama kali menjejakkan kakinya di Aceh hingga sampai kemerdekaan tidak pernah nyaman karena selalu mendapatkan perlawan dari rakyat Aceh. Salah satunya adalah Panglimo Rajo Lelo IV yang berperang secara frontal dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten J paris.
Siapa Panglimo Rajo Lelo IV?
Nama asli Panglimo Rajo Lelo IV adalah Ibnu Wantaser, dia lahir di Pung Besei, sekarang Kampung Sapik, Kecamatan Kluet Timur yang merupakan pemekaran dari kluet selatan, Aceh Selatan. Dia diangkat menjadi Panglima oleh Raja Kluet Kejeurun Mukmin (1913). Saat itulah namanya bergelar menjadi Panglimo Rajo Lelo IV. Wantaser diangkat menjadi Panglimo Rajo Lelo IV, menggantikan abangnya, Abdul Malik, yaitu Panglimo Rajo Lelo III. Semasa kecil beliau dituntun dengan ilmu agama yang kuat oleh ayahnya dan lingkungannya. Tuntunan ilmu agama dan disiplin yang tinggi membuat beliau menjadi pemuda yang gagah, berani, jujur serta ksatria. Kekejaman penjajah Belanda pada rakyat Aceh begitu terasa yaitu melalui kerja paksa atau rodi. Penderitaan masyarakat Kluet semakin menjadi-jadi ketika pembukaan jalan Paya Dapur ke Lawe Sawah dan Kota Fajar ke Menggamat. Rakyat dipaksa bekerja oleh Belanda berbulan-bulan secara tidak manusiawi. Melihat pedihnya penderitaan rakyatnya Panglimo Rajo Lelo IV terusik hatinya untuk melakukan perlawanan. Maka meletuslah perang Kelulum. Dalam buku Kluet Dalam Bayang Sejarah karya Bukhari dkk (2008) disebutkan bahwa Perang Kelulum terjadi tepatnya pada tgl 3 april 1926 selama lima jam, sejak dari jam 05.20 menjelang subuh sampai jam 10 pagi. Jadi bisa dibayangkan pertempuran yang sengit di mana pihak Belanda berjumlah dua puluh tiga orang dengan persenjataan yang lengkap. Sedangkan pihak Panglimo Rajo Lelo IV hanya bersenjatakan pedang yang telah terhunus dan dimodali keyakinan akan kalimat tauhid yang senantiasa diucapkan “Laa Ilaaha Illallah” dari anggota seluruh pasukan panglimo rajo lelo yang berjumlah dua puluh satu orang. Akhir dari peperangan ini adalah tewasnya Kapten J Paris di tangan Panglimo Rajo Lelo IV bersama serdadunya. Perang Kelulum ini sangat menyedihkan bagi pihak Belanda, karena pasukannya hampir habis terbunuh oleh pejuang Kluet. Kapten J Paris pimpinan Brigade Divisi 5 Marsose merupakan prajurit terbaik Belanda (Syafi’ie  AS, 1988). Di pihak Panglimo Rajo Lelo IV, yang syahid sebanyak 20 orang termasuk Panglimo Rajo Lelo IV juga ikut gugur.
Namun pertanyaanya sekarang mengapa Panglimo Rajo Lelo IV yang telah berjuang sampai titik darah penghabisan tidak pernah mendapatkan pengakuan atau tidak dinobatkan sebagai pahlawan nasional? Padahal batu nisan di padang Kelulum bisa menjadi bukti sejarah dan tidak perlu diragukan lagi kebenaranya. Menurut penulis ada beberapa penyebabnya salah satunya adalah Panglimo Rajo Lelo IV bukanlah dari suku yang dominan di Aceh yaitu suku Aceh. Panglimo Rajo Lelo IV hanyalah suku Kluet yang notabene merupakan suku yang paling kecil jumlahnya di Aceh. Dan hanya mendiami empat buah kecamatan di kabupaten Aceh Selatan yaitu Kecamatan Kluet Timur, Kluet Selatan, Kluet Utara, dan Kluet Tengah. Telah terjadi diskriminasi terhadap Panglimo Rajo Lelo IV. Adanya tirani mayoritas terhadap minoritas tidak bisa dipungkiri. Ini terbukti setelah salah satu putra kluet naik “tahta” menjadi bupati Aceh Selatan untuk periode 2008-2012 yaitu Husien Yusuf barulah kompleks pemakamam Panglimo Rajo lelo IV di Kelulum (Kampung Sapik) mulai dirawat dan selalu di kunjungi oleh petinggi militer dan kepolisian daerah untuk berziarah. Harusnya ini tidak boleh terjadi sudah semestinya pemerintah tidak melakukan tindakan diskriminasi dalam memberikan gelar kehormatan kepada sesorang. Jangan adanya pilih kasih (melihat suku) dalam menentukan seseorang layak atau tidaknya untuk menjadi seorang pahlawan. Dan patut disayangkan juga para pengarang buku sejarah Aceh pun tidak  menyebutkan panglimo Rajo Lelo IV sebagai pemimpin pejuang yang melakukan serangan terhadap Belanda. Hal ini tentunya menjadi catatan buruk bagi sejarah perjuangan kita dan tentu saja membuat kecewa masyarakat Kluet. Sudah saatnya saat sekarang ini kita meluruskan kebenaran sejarah yang masih tercecer. Sejarah tidak bisa didustai, lambat laun yang benar akan muncul. Semoga hal ini menjadi perhatian bagi pemerintah, khususnya pemerintah Kabupaten Aceh Selatan, untuk memperjuangkan Panglimo Rajo Lelo IV menjadi pahlawan Nasional. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu menghargai jasa para pahlawannya.
Pemerintah sepatutnya tidak mengabaikan pahlawan-pahlawan lokal ini, bahwa mereka ada disana, berjuang untuk membela negeri ini sehingga akan diteladani juga seperti pahlawan-pahlawan nasional lainnya oleh anak-anak cucu kita, khususnya anak-anak di Aceh supaya mereka tahu bahwa ada seorang pahlawan juga didekatnya, dan mereka tidak akan menjadi lost generation di kampungnya sendiri.
Bai Arbai

No comments: