Keanehan Sejarah Nasional Bangsa
Sadarkah kita bahwa Sejarah Nasional Bangsa yang dibaca sejak Sekolah Dasar (SD), berisi pembodohan sejarah. Karena isinya adalah pembodohan maka generasinya ikut-ikutan tersugesti menjadi bodoh, bermental minder, tak punya harga diri, dan percaya sebagai warga bangsa yang tak berkelas.
Maka bacalah sejarah tumbuh-kembang kerajaan-kerajaan yang berdiri di Nusantara. Lalu, pikirkanlah kembali apa yang kita rasakan dan kita gambarkan tentang sosok bernama Negeri Indonesia? Apa yang kita rasakan tentang negeri-negeri di luar sana? Dan bagaimana kita memandangan diri sendiri?
Taruhlah, betapa “wah”nya kita jika bisa menguasai bahasa Asing. Betapa lebaynya kita jika bisa mengupload foto bareng mereka. Bisa meniru budaya mereka. Bisa sekolah, memelajari, dan kemudian membangga-banggakan mereka, sambil lalu merendahkan diri sendiri, yaitu dengan menganggap rendah saudara-saudara kita yang kita anggap masih kuno, masih terbelakang. Secara pemerintah, dengan bangganya bilang bahwa TKI merupakan pahlawan Devisa. Gila bener. Kok bangga warganya sendiri jadi kuli di negeri orang.
Mengapa mental demikian bisa menjangkiti kita semua? Saya coba melacaknya dari akar sejarah yang tercatat dalam sejarah nasional bangsa kita tercinta. Pertama, kita diyakinkan oleh sejarah bahwa kita ini adalah warga berkelas rendah. Tak punya budaya dan peradaban luhur nan tinggi.
Yang punya budaya dan peradaban bagus itu adalah orang-orang bule, para penjajah dari Eropa. Bagaimana rupa pembodohan tersebut dalam sejarah? Sejarah mengatakan bahwa sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, sampai Mataram, adalah kerajaan-kerajaan yang berperang menggunakan keris, tombak, pedang dan golok. Melawan penjajah dengan cara konyol dan tolol, karena maju perang melawan penjajah bersenjatakan modern nan canggih, dengan parang, golok, tombak dan keris. Bahkan, tanpa modal strategi yang cukup karena Cuma bermodalkan kesaktian.
Kedua, kita juga diyakinkan buruknya kualitas pribadi para penguasa atau para raja Nusantara. Bahwa mereka adalah kumpulan raja yang sangat gila kekuasaan dan mudah saling membunuh, bahkan saling tikam dari belakang. Tengok saja, sejarah bagaimana Singosari runtuh, karena sebab serangan diam-diam Jayakatwang. Juga bagaimana awal-mula Majapahit bisa berdiri. Yang mana disebabkan Raja Wijaya berbuat licik, dengan menyerang pasukan Mongol dari Belakang.
Dalam sejarah runtuhnya Majapahit, disebutkan kerajaan ini runtuh sebab telikung dari Raden Patah atas Ayahnya, Brawijaya. Demikian secara merata kisah-kisah licik ini terus disusun dalam kisah-kisah kerajaan selanjutnya, bagaimana Pajang, Mataram, mengalami keruntuhan dan perang menuju kehancuran.
Fakta Sejarah Yang Penuh Kontradiksi
Selama ini, kita diyakinkan bahwa minimal tiga kerajaan di atas adalah kerajaan yang kuat, hebat, dan daerah kekuasaaannya hampir menguasai kawasan Asia. Dan kita dibuat bangga karenanya. Namun di sisi lain, kita juga diyakinkan bahwa kerajaan-kerajaan tersebut masih menggunakan golok, parang, tombak dan panah dalam peperangan.
Masalahnya, jika memang sudah menjadi kerajaan-kerajaan yang dimensinya tak lagi lokal, tapi sudah global-internasional, mengapa secara senjata masih terbelakang?
Coba kita lihat, sejarah soal senjata modern. Disebutkan bahwa sejak tahun 1132, di Tiongkok, peperangan sudah menggunakan senjata artileri mesiu. Pada tahun 1260, dalam pertempuran melawan serangan Mongol, Mesir sudah menggunakan senjata meriam. Pertanyaannya, jika di tahun 1260-1132 saja, peperangan di luar negeri sudah menggunakan senjata modern, mengapa di Nusantara yang konon menguasai Asia, kok masih menggunakan senjata tradisional?
Kedua, benarkah kerajaan-kerajaan di Nusantara saling menghancurkan, saling membunuh satu sama lain karena gila kekuasaan? Saya meragukannya. Hal ini jika didasarkan pada watak budaya yang berurat-akar di Nusantara.
Di mana, berbeda dengan penguasa-penguasa Eropa yang agresif, saling sikat, dan melakukan ekspansi penaklukan ke negeri-negeri lain dengan cara rakus, kejam, dan penindasan, maka akan kita lihat bahwa tradisi budaya kita tidak mengenal budaya macam Eropa ini.
Yang kita lihat, kita memiliki tradisi budaya yang kuat memegang moral sebagai harkat dan martabat tertinggi. Kita memiliki budaya saling menghormati, menghargai, dan budaya saling gotong royong, dan kebersamaan yang kental.
Karena sejarah Nasional yang demikian, maka generasi-generasinya tersugesti mentalnya. Bahwa mereka adalah bangsa yang terbelakang, bangsa yang dulunya tak punya peradaban, suka konflik, saling menikam, dan saling rebut kekuasaan.
Sebagai penutup, apakah yang membedakan Indonesia dengan negera-negara lain? Adalah faktor kebersamaan yang kuat antara rakyat dan penguasanya. Mereka satu padu. Tak mudah dipecah dan dibelah. Dalam perang melawan penjajahan hingga merebut kemerdekaan, yang berperang bukan hanya tentaranya, tetapi seluruh rakyatnya juga ikut serta berperang.
Lihatlah, bagaimana Suriah, Palestina, Afganistan, Libya, dan bangsa-bangsa lainnya, manakala mereka sedang berperang demi membebaskan negerinya. Yang berperang adalah pasukan militernya. Tak ada satu-kesatuan dengan rakyatnya. Karena sudah dipercayakan kepada kedigdayaan militernya.
Jadi, mengapa sejarah kita penuh kisah tentang sebuah bangsa yang mudah saling sikut, saling khianat, saling tikam dari belakang, gila kekuasaan, dan juga digambarkan sebagai bangsa yang masih punya peradaban terbelakang, dengan keris, parang, golok dan tombaknya?
Atau, adakah memang benar bahwa kita sudah kehilangan otensitas sejarah? Dan kemudian, sejarah hari ini adalah sejarah hasil pinjaman data dari luar? Dan kita tak pernah tau sejarah aslinya? Mengapa hal demikian bisa terjadi[]
Badrud Tamam Malaka
Maka bacalah sejarah tumbuh-kembang kerajaan-kerajaan yang berdiri di Nusantara. Lalu, pikirkanlah kembali apa yang kita rasakan dan kita gambarkan tentang sosok bernama Negeri Indonesia? Apa yang kita rasakan tentang negeri-negeri di luar sana? Dan bagaimana kita memandangan diri sendiri?
Taruhlah, betapa “wah”nya kita jika bisa menguasai bahasa Asing. Betapa lebaynya kita jika bisa mengupload foto bareng mereka. Bisa meniru budaya mereka. Bisa sekolah, memelajari, dan kemudian membangga-banggakan mereka, sambil lalu merendahkan diri sendiri, yaitu dengan menganggap rendah saudara-saudara kita yang kita anggap masih kuno, masih terbelakang. Secara pemerintah, dengan bangganya bilang bahwa TKI merupakan pahlawan Devisa. Gila bener. Kok bangga warganya sendiri jadi kuli di negeri orang.
Mengapa mental demikian bisa menjangkiti kita semua? Saya coba melacaknya dari akar sejarah yang tercatat dalam sejarah nasional bangsa kita tercinta. Pertama, kita diyakinkan oleh sejarah bahwa kita ini adalah warga berkelas rendah. Tak punya budaya dan peradaban luhur nan tinggi.
Yang punya budaya dan peradaban bagus itu adalah orang-orang bule, para penjajah dari Eropa. Bagaimana rupa pembodohan tersebut dalam sejarah? Sejarah mengatakan bahwa sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, sampai Mataram, adalah kerajaan-kerajaan yang berperang menggunakan keris, tombak, pedang dan golok. Melawan penjajah dengan cara konyol dan tolol, karena maju perang melawan penjajah bersenjatakan modern nan canggih, dengan parang, golok, tombak dan keris. Bahkan, tanpa modal strategi yang cukup karena Cuma bermodalkan kesaktian.
Dalam sejarah runtuhnya Majapahit, disebutkan kerajaan ini runtuh sebab telikung dari Raden Patah atas Ayahnya, Brawijaya. Demikian secara merata kisah-kisah licik ini terus disusun dalam kisah-kisah kerajaan selanjutnya, bagaimana Pajang, Mataram, mengalami keruntuhan dan perang menuju kehancuran.
Fakta Sejarah Yang Penuh Kontradiksi
Selama ini, kita diyakinkan bahwa minimal tiga kerajaan di atas adalah kerajaan yang kuat, hebat, dan daerah kekuasaaannya hampir menguasai kawasan Asia. Dan kita dibuat bangga karenanya. Namun di sisi lain, kita juga diyakinkan bahwa kerajaan-kerajaan tersebut masih menggunakan golok, parang, tombak dan panah dalam peperangan.
Masalahnya, jika memang sudah menjadi kerajaan-kerajaan yang dimensinya tak lagi lokal, tapi sudah global-internasional, mengapa secara senjata masih terbelakang?
Coba kita lihat, sejarah soal senjata modern. Disebutkan bahwa sejak tahun 1132, di Tiongkok, peperangan sudah menggunakan senjata artileri mesiu. Pada tahun 1260, dalam pertempuran melawan serangan Mongol, Mesir sudah menggunakan senjata meriam. Pertanyaannya, jika di tahun 1260-1132 saja, peperangan di luar negeri sudah menggunakan senjata modern, mengapa di Nusantara yang konon menguasai Asia, kok masih menggunakan senjata tradisional?
Kedua, benarkah kerajaan-kerajaan di Nusantara saling menghancurkan, saling membunuh satu sama lain karena gila kekuasaan? Saya meragukannya. Hal ini jika didasarkan pada watak budaya yang berurat-akar di Nusantara.
Di mana, berbeda dengan penguasa-penguasa Eropa yang agresif, saling sikat, dan melakukan ekspansi penaklukan ke negeri-negeri lain dengan cara rakus, kejam, dan penindasan, maka akan kita lihat bahwa tradisi budaya kita tidak mengenal budaya macam Eropa ini.
Yang kita lihat, kita memiliki tradisi budaya yang kuat memegang moral sebagai harkat dan martabat tertinggi. Kita memiliki budaya saling menghormati, menghargai, dan budaya saling gotong royong, dan kebersamaan yang kental.
Karena sejarah Nasional yang demikian, maka generasi-generasinya tersugesti mentalnya. Bahwa mereka adalah bangsa yang terbelakang, bangsa yang dulunya tak punya peradaban, suka konflik, saling menikam, dan saling rebut kekuasaan.
Sebagai penutup, apakah yang membedakan Indonesia dengan negera-negara lain? Adalah faktor kebersamaan yang kuat antara rakyat dan penguasanya. Mereka satu padu. Tak mudah dipecah dan dibelah. Dalam perang melawan penjajahan hingga merebut kemerdekaan, yang berperang bukan hanya tentaranya, tetapi seluruh rakyatnya juga ikut serta berperang.
Lihatlah, bagaimana Suriah, Palestina, Afganistan, Libya, dan bangsa-bangsa lainnya, manakala mereka sedang berperang demi membebaskan negerinya. Yang berperang adalah pasukan militernya. Tak ada satu-kesatuan dengan rakyatnya. Karena sudah dipercayakan kepada kedigdayaan militernya.
Jadi, mengapa sejarah kita penuh kisah tentang sebuah bangsa yang mudah saling sikut, saling khianat, saling tikam dari belakang, gila kekuasaan, dan juga digambarkan sebagai bangsa yang masih punya peradaban terbelakang, dengan keris, parang, golok dan tombaknya?
Atau, adakah memang benar bahwa kita sudah kehilangan otensitas sejarah? Dan kemudian, sejarah hari ini adalah sejarah hasil pinjaman data dari luar? Dan kita tak pernah tau sejarah aslinya? Mengapa hal demikian bisa terjadi[]
Badrud Tamam Malaka
No comments:
Post a Comment