Pemberian gelar adat sansako kepada orang lain (diluar etnis minang kabau) telah terjadi beberapa kali di Minang Kabau, dalam catatan penulis frekwensi pemberian gelar adat sansako terbanyak diberikan oleh Ninik Mamak Minang Kabau terjadi pada era reformasi saat ini, seperti pemberi gelar adat sansako kepada Bapak Taufik Kiemas dan Ibu Mega, Kepada Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani, Bapak Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan pada tahun 2011 ini ada pemberian gelar adat sansako yang membuat heboh Kota Padang, yaitu pemberian gelar adat sansako kepada Ferryanto Gani oleh KAN Nan Salapan Suku di Kota Padang, menurut Ketua KAN Nan Salapan Suku Drs H St Syahrul Nurmay Apt Sutan Maruhun Alamsyah, pemberian gelar adat sansako ini dikarnakan Ferryanto Gani berjasa dalam pembangunan Pasar Goan Hoat, pembangunan Pasar Tanah Kongsi, pembangunan Masjid Raya Gantiang yang dulunya bernama Masjid Raya Padang.
Sedangkan Pada era orde baru (zaman Soeharto) dan orde lama (zaman Seokarno) pemberian gelar adat sansako jarang dilakukan atau malah tidak pernah dilakukan. Pernah pada zaman orde alama, pada tahun 1957 akan diberikan gelar adat sansako kepada sesorang oleh suku tertentu, tapi pada saat itu terjadi penolakan oleh masyarakat adat yang diwakili oleh Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) yang sudah terbentuk pada saat itu. Begitu kerasnya penolakan sehingga keinginan mereka untuk diberi gekar pusaka tidak terwujud. Sehingga kalau dilihat dari gambaran diatas, bisa disimpulkan pada zaman reformasi ini pemberian gelar agak mudah dilakukan alias kata pedagang kaki limo, “kito obral tigo saribu”. Tidak itu saja, pemberian gelar adat sansako tidak lagi mengacu kepada tambo nan ado, dari contoh nan sudah dicaliak, serta tuan kanan manang, pemberian gelar adat sansako selama ini hanya dilakukan oleh luak rajo (batu sangka), dan tidak pernah dilakukan pada luak rantau (pasisie/piaman. Itu lah perkembangan pemberian gelar adat sansako pada saat ini.
Fenomena ini diatas bagaikan sudah menjadi budayaan yang tidak lagi dilihat melalui aluo jo patut, pada pemberitaan www.jpnn.com, melalui Ketua LKAMM Kab. Padangpariaman, pada bulan april 2012 akan memberikan gelar adat sansako kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) DR H Syamsul Maarif dan istrinya Hj Nanik Kadaryani dengan gelar adat sansako untuk Syamsul Maarif dengan gelar Sangsako yang diterimanya adalah Yang dipertuan Raja Maulana Pagar Alam. Sementara untuk Hj Nanik Kadaryani diberi gelar Puti Reno Anggun Suri.
Menurut Ketua LKAAM Kabupaten Padang Pariaman yang juga Wakil Gubernur Sumatera Barat (Sumbar), Muslim Kasim, pada saat menyampaikan permohonan pemberian gelar Sangsako mengatakan disepakatinya DR H Syamsul Maarif untuk diberi gelar karena sosok Kepala BNPB itu sudah banyak berbuat untuk Sumatera Barat utamanya pasca gempa bumi 29 September 2009 lalu. Dari pemberitaan www.jpnn.com tersbut sudah dipastikan akan terjadi pemberian gelar adat sansako yang digagas oleh LKAMM Kab. Padangpariaman.
Tampa melihat pemberitaan www.jpnn.com diatas, Secara prinsip kalau kito kembali kamatan adat nan saban adat, pemberian gelar adat sansako tidak bisa diberikan kepado orang lain, hal ini bisa dilihat dari sistem penganugerahan gelar adat sansako dalam masyarakat Minangkabau dari niniak turun ke mamak dari mamak turun ke kemenakan merupakan hal yang sudah jamak dan sangat dipahami oleh semua kalangan. maka Orang Minangkabau tidak akan pernah mengambil gelar pusaka dari luar suku atau kaummnya, sebaliknya dia juga tidak akan pernah memberikan gelar pusaka yang dimiliki kaumnya pada orang diluar kaumnya dengan alasan apapun.
Tapi kecek pantun dan pepatah awak, Urang lintau pai barotan, nan kapulang hari lah sanjo, Dahulu asa nan rang tanyoan, kini nan kayo nan paguno. perubahan sikap dan mentalitas dalam menjalani kehidupan beradat dan berbudaya demikianlah kira-kira makna isi pantun yang diungkapkan di atas. Berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat dipengaruhi oleh berbagai hal, terutama lingkungan, pendidikan, pengetahuan dalan sebagainya. Demikian juga yang terjadi pada budaya Minangkabau pada saat ini, hasilnya bisa mengarah pada sikap mentalitas yang baik atau buruk.
Hakekat gelar adat bagi masyarakat Minangkabau merupakan simbol dan identitas kesukuan yang disandangkan pada orang yang jadi pimpinan dalam suku tersebut. Tak sembarangan orang dapat menyandang gelar adat maupun pusaka tersebut. Dalam prosesnya dilalui berbagai persyaratan, dikaji darimana asal usul, hubungan kekeluargaan, garis turunan dan sebagainya. Hanya pemimpin dalam suku yang berhak diberi gelar pusaka tersebut.
Kesimpulan dalam tulisan ini “obral adat” tampa kita sadari sudah bisa terjadi dan kedepan bisa dilakukan, siapa yang berkuasa, siapa yg memiliki modal nantinnya bisa saja memberikan gelar adat sansako kepada orang lain. Tinggal bagai mana mengatur secara sistimatis lahirnya gelar adat itu.
Yohannes Wempi
Pemberian gelar adat sansako kepada orang lain (diluar etnis minang kabau) telah terjadi beberapa kali di Minang Kabau, dalam catatan penulis frekwensi pemberian gelar adat sansako terbanyak diberikan oleh Ninik Mamak Minang Kabau terjadi pada era reformasi saat ini, seperti pemberi gelar adat sansako kepada Bapak Taufik Kiemas dan Ibu Mega, Kepada Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani, Bapak Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan pada tahun 2011 ini ada pemberian gelar adat sansako yang membuat heboh Kota Padang, yaitu pemberian gelar adat sansako kepada Ferryanto Gani oleh KAN Nan Salapan Suku di Kota Padang, menurut Ketua KAN Nan Salapan Suku Drs H St Syahrul Nurmay Apt Sutan Maruhun Alamsyah, pemberian gelar adat sansako ini dikarnakan Ferryanto Gani berjasa dalam pembangunan Pasar Goan Hoat, pembangunan Pasar Tanah Kongsi, pembangunan Masjid Raya Gantiang yang dulunya bernama Masjid Raya Padang.
Sedangkan Pada era orde baru (zaman Soeharto) dan orde lama (zaman Seokarno) pemberian gelar adat sansako jarang dilakukan atau malah tidak pernah dilakukan. Pernah pada zaman orde alama, pada tahun 1957 akan diberikan gelar adat sansako kepada sesorang oleh suku tertentu, tapi pada saat itu terjadi penolakan oleh masyarakat adat yang diwakili oleh Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) yang sudah terbentuk pada saat itu. Begitu kerasnya penolakan sehingga keinginan mereka untuk diberi gekar pusaka tidak terwujud. Sehingga kalau dilihat dari gambaran diatas, bisa disimpulkan pada zaman reformasi ini pemberian gelar agak mudah dilakukan alias kata pedagang kaki limo, “kito obral tigo saribu”. Tidak itu saja, pemberian gelar adat sansako tidak lagi mengacu kepada tambo nan ado, dari contoh nan sudah dicaliak, serta tuan kanan manang, pemberian gelar adat sansako selama ini hanya dilakukan oleh luak rajo (batu sangka), dan tidak pernah dilakukan pada luak rantau (pasisie/piaman. Itu lah perkembangan pemberian gelar adat sansako pada saat ini.
Fenomena ini diatas bagaikan sudah menjadi budayaan yang tidak lagi dilihat melalui aluo jo patut, pada pemberitaan www.jpnn.com, melalui Ketua LKAMM Kab. Padangpariaman, pada bulan april 2012 akan memberikan gelar adat sansako kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) DR H Syamsul Maarif dan istrinya Hj Nanik Kadaryani dengan gelar adat sansako untuk Syamsul Maarif dengan gelar Sangsako yang diterimanya adalah Yang dipertuan Raja Maulana Pagar Alam. Sementara untuk Hj Nanik Kadaryani diberi gelar Puti Reno Anggun Suri.
Menurut Ketua LKAAM Kabupaten Padang Pariaman yang juga Wakil Gubernur Sumatera Barat (Sumbar), Muslim Kasim, pada saat menyampaikan permohonan pemberian gelar Sangsako mengatakan disepakatinya DR H Syamsul Maarif untuk diberi gelar karena sosok Kepala BNPB itu sudah banyak berbuat untuk Sumatera Barat utamanya pasca gempa bumi 29 September 2009 lalu. Dari pemberitaan www.jpnn.com tersbut sudah dipastikan akan terjadi pemberian gelar adat sansako yang digagas oleh LKAMM Kab. Padangpariaman.
Tampa melihat pemberitaan www.jpnn.com diatas, Secara prinsip kalau kito kembali kamatan adat nan saban adat, pemberian gelar adat sansako tidak bisa diberikan kepado orang lain, hal ini bisa dilihat dari sistem penganugerahan gelar adat sansako dalam masyarakat Minangkabau dari niniak turun ke mamak dari mamak turun ke kemenakan merupakan hal yang sudah jamak dan sangat dipahami oleh semua kalangan. maka Orang Minangkabau tidak akan pernah mengambil gelar pusaka dari luar suku atau kaummnya, sebaliknya dia juga tidak akan pernah memberikan gelar pusaka yang dimiliki kaumnya pada orang diluar kaumnya dengan alasan apapun.
Tapi kecek pantun dan pepatah awak, Urang lintau pai barotan, nan kapulang hari lah sanjo, Dahulu asa nan rang tanyoan, kini nan kayo nan paguno. perubahan sikap dan mentalitas dalam menjalani kehidupan beradat dan berbudaya demikianlah kira-kira makna isi pantun yang diungkapkan di atas. Berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat dipengaruhi oleh berbagai hal, terutama lingkungan, pendidikan, pengetahuan dalan sebagainya. Demikian juga yang terjadi pada budaya Minangkabau pada saat ini, hasilnya bisa mengarah pada sikap mentalitas yang baik atau buruk.
Hakekat gelar adat bagi masyarakat Minangkabau merupakan simbol dan identitas kesukuan yang disandangkan pada orang yang jadi pimpinan dalam suku tersebut. Tak sembarangan orang dapat menyandang gelar adat maupun pusaka tersebut. Dalam prosesnya dilalui berbagai persyaratan, dikaji darimana asal usul, hubungan kekeluargaan, garis turunan dan sebagainya. Hanya pemimpin dalam suku yang berhak diberi gelar pusaka tersebut.
Kesimpulan dalam tulisan ini “obral adat” tampa kita sadari sudah bisa terjadi dan kedepan bisa dilakukan, siapa yang berkuasa, siapa yg memiliki modal nantinnya bisa saja memberikan gelar adat sansako kepada orang lain. Tinggal bagai mana mengatur secara sistimatis lahirnya gelar adat itu.
No comments:
Post a Comment