Islam Itu Wahabi

Penyesatan “wahabi” oleh orang orang yang anti wahabi itu wajar, sebab tidak mungkin ada orang Islam menyatakan Islam itu sesat. ifat Sehingga terdapat teori anti Islam dengan menyebut para mujahid dakwah yang berjalan di atas Islam yang benar itu adalah wahabi. Paling tidak  dengan pernyataan “islam itu wahabi” akan menggugah banyak orang meninggalkan ajaran Islam yang benar, menuju Islam yang berembrio dari pernikahan agama agama atau keyakinan setempat. Merebaknya paham paham opfensif dengan simbolik “anti wahabi” adalah salah satunya cara yang merangsang orang agar tetap pada tradisi tradisi pemahaman Islam model kaum adat. Terutama Islam icon “walisongo’ sebagai penggagas dakwah islam ditanah pertiwi menjadi standar mayoritas muslim dalam beragama. Terkadang harus menempatkan “walisongo” untuk menggugah rasa senang dan simpati dari kalangan luar Islam.
Dalam konsep pemikiran lawan lawan “wahabi”, islam itu walisongo, bukan Islam yang lahir di Mekkah dan besar di Madinah, tetapi sebuah Islam yang besar ditanah jawah. Akibat anggapan mereka yang paternalistik, yang menonjol bukan lagi landasan beragama seperti pada awalanya, tetapi landasan beragama hanya menurut temuan teori teori baru dalam beragama. Meraka mengakui Innovasi agama adalah perlu di lakukan dengan memeriahkan bid’ah, oleh sebab walisongo sendiri sebagai kekakasih kekesih Tuhan adalah innovator yang kreatif inovatif dalam mengembangkan Islam bisa diterima orang orang luar Islam, yang membangun tegaknya “Mayoritas Islam” di Indonesia ?. Semangat berbid’ah ria menjadi trendy dan pilihan utama, dengan meletakkan prasangka prasangkan manusia sebagai bagian dari agama selama itu baik menurut mereka ( baik menurut ukuran manusia bukan ukuran Tuhan dan Nabinya . Karena anggapan “prasangka itu agama”, mereka menghalalkan penafsiran terhadap hadist Qudsi: ” Aku mengikuti sangkaan hamba-Ku”. Terkesan hadits tersebut dipaksakan untuk membenarkan langkah langkah mereka dalam membangun kedaulatan “bid’ah dalam beragama.
Kegersangan dalam pengatahuan agama telah mengantar mereka menjadi muslim yang “free thinker”and  free Feeling”. Sebuah peradaban yang dianut kalangan Mu’tazilah yang freemason dalam memahami dan memahamkan agama. Akal menjadi puncak tertinggi dalam mengendalikan keyakinan, sehingga tidak memerlukan police agama yang sejalan dengan pembawa risalah. Akal menjadi penentu kalau kebenaran itu adalah “akal” bukan yang lain. Produk produk agama dari awalnya harus melalui proses akal, sebelum ditranssformasi. Demikian kiat kiat Mu’tazilah, menggunakan akal sebagai seleksivitas dalam berpaham, melahirkan sikap sikap keagamaan berdasarkan konsep konsep aqliyah, menetang segala bentuk leterat yang tidak mendukung kekuatan akal. Satu contoh masalah ” bid’ah”, membuat banyak orang meradang kalau disebut amal perbuatan mereka masuk katagore bid’ah. lalu lahir sikap sinisme dan antipati yang menolak defenisi definisi bid’ah menurut refrensi Islam. Mereka lebih suka memilih defenitif “libral”, dengan menempuh wahana dan berwawasan  libral dalam aktualisasi fahamnya dengan menolak semua standar agama dalam definisinya. Sebagai respon terakhirnya memunculkan jawaban : Bila mengamalkan amalan yang dibuat sendiri adalah bid’ah, maka semua yang kita pakai adalah bid’ah (absurd dan hereticism). Misalnya juga masalah ” Istiwa’” melahirkan definisi definisi yang antagonis menentang semua pendapat pendapat Islam yang tidak sejalan dengan akal. Dalam kontruksi akal mempertanyakan : ayat ayat tidak harus secarah harfiah diartikan, tetapi perlu kontektual dan pengembangan pikiran dalam upaya melahirkan pendapat yang sesuai dengan sebutan tuhan. Apakah mungkin tuhan  bisa duduk, bersemayam diatas arasy ?
Sehingga melahirkan kesimpulan kelompok anti ayat : ” Allah ada tanpa tempat” atau Allah ada tanpa…….?”. Pendapat mereka melebar, menebas semua sifat sifat yang di miliki Allah, ” Tangan, kaki, paha, Jari jemari, wajah, mata” dengan berusaha menghilangkan sebutan itu lalu diganti dengan makna makna lain yang sesuai dengan Allah menurut mereka. Itulah letak Mu’tazilah yang tidak menyukai kata kata harfiah AlQuran, terperangkap pada pemaknaan libral yang sebenarnya karena ketakutan mereka pada penjasatan Allah atau tajsim, tetapi masuk pada rana yang lebih membahayakan, karena meniadakan sifat sifat Allah dan terperangkap pada gambaran tuhan menurut lukisan mu’tazilah (mereka) dan sofyan bin jahmi; “Allah ada tanpa bentuk”. Mereka menghindar dari tajsim, lalu terperangkap dalam kesimpulan ” Allah ada tanpa ada dan tempat “. Sebuah nalar rusak yang menghancurkan keberadaan Allah dengan konsep Mu’tazilah yang kini bernama Aswaja.

Wahabi sebagai alternatif pemahaman sebenarnya lebih pada konsep Islam awal, atau generasi islam pertama  yang mewarisi watak Islam tanpa multitafsir dengan menerima tafsir dan ta’wil berdasarkan orang orang yang dekat pada rasulullah. Anggapan penjisiman Allah oleh musuh musuh wahabi, sebenarnya tak beda dengan kalangan mu’tazilah abad lampau yang menyebut kaum suni abad itu sebagai tajsim karena menerima sifat Allah apa adanya. Imam Thobari al Lallilka’i menulis dalam kitabnya anggapan anggapan orang yang menyebut ahlussunah itu adalah kaum tajsim. Dengan karya Imam al Lallilkai yang hidup 500 tahun sesudah nabi bisa dibuktikan bahwa mereka yang berkesimpulan tajsim terhadap orang orang yang memegang makna dhair adalah Mu’tazilah , yang kini direnkostruksi aswaja sebagai haluan beraqidah. Dalam prinsip prinsip keagamaan saja aswaja sudah terperangkap pada legal action kaum Mu’tazilah dan menolak kaum dhahiriyah yang menerima sifat sifat Allah menurut Allah dan rasul-Nya. Dalam aktualisasi keagamaan , wahabi lebih setuju dengan konsep Islam tanpa takwil dalam pengertian yang obyektif, tidak pada retorika menafikan takwil, karena tidak selama wahabi menolak takwil, melainkan bila berdasarkan takwil takwil Muslim yang dianggap pantas memberikan takwil, terutama kalangan ulama hadist.
Tidaklah benar wahabi menolak ta’wil sepanjang ta’wil itu sangat atsariyah, ada jejak jejak secara historis keislaman dari awalnya. Kalau terdapat kelompok Islam yang antisipasi terhadap wahabi, memang karena hanya sebatas mendengar dan membaca kitab kitab wahabi yang sudah dikemplang oleh editornya.  Tujuan pengguntingan dan pengkebirian kata yang tertulis dalam karya karya mereka yang diambil dari kitab kitab wahabi tanpa ending dari tulisan wahabi itu sendiri, untuk membuat Imej jelek tentang wahabi. Contohnya : Albany meminta palestin meninggalkan negerinya, misar, allah berambut gondrong dan lain lainnya yang konotatif negatif. Tuduhan selanjutnya dilakukan mereka seperti tuduhan pemalsuan kitab oleh wahabi, Kitab Ibanah yang dikebir dan beberapa lainnya, namun mereka tak bisa mendatangkan bukti, hanya obrolan lepas yang tak berguna, dan data yang dibuat buat.
Kalau mau jujur dengan jiwa dan hati yang konseptual dengan keagamaan yang memadai, maka akan lahir positif thinking yang religius, tanpa mengedepankan Emosi dalam menarik kesimpulan. Diperlukan sikap aktualisasi keyakinan yang kuat, tanpa meninggalkan pijakan ilmiah berkeyakinan. Dengan menempatkan dasar dasar perjalanan awal sejarah islam abad pertama sebagai pengembangan dakwa dalam hal aqidah dan ibadah. Pandangan pandangan yang berakar dari sejarah sejarah aktualisasi akal tidak seharusnya mendatangkan rasa “wow hebat” sebelum dinyatakan benar oleh kitab kitab dan sejarah agama. Innovasi diluar agama dibenarkan selama manfaatnya jelas bagi manusia. tetapi bid’ah dalam persoalan agama, atau innovasi keagamaan menurut akal semata yang absurdis dan hereticism hanya akan menjauhkan pemeluknya mengenanl warisan Islam yang asli. jadi Islam itu wahabi, karena wahabi yang paling getol menyuarakan Islam , bukan peninggalan nenek moyang mereka.
 Sulthony El-madury

No comments: