Oktober 49 tahun lalu


Oktober, 49 tahun yang lalu. Saya belum lahir kala itu. Menurut cerita orang tua, kala itu suasana panas negeri ini begitu terasa. Darah mengalir membasahi bumi nusantara. Saya membayangkan hidup di zaman itu.  Saya berimaji menjadi seorang pemuda dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tinggal di Jakarta atau menjadi anggota organisasi sepaham dengan PKI macam Pemuda Rakyat ataupun Lekra namun bertempat tinggal di pelosok desa jauh dari hingar bingar informasi perpolitikan ibu kota.

Pagi itu, 2 Oktober 1965, kabar dari mulut ke mulut menyatakan bahwa negara ini sedang dalam keadaan darurat. 7 perwira tinggi di AD di culik malam sebelumnya oleh pasukan yang katanya berasal dari satuan Cakrabirawa, pemimpinnya Letkol Untung. Sumber informasi kala itu hanya bersandar pada Radio Republik Indonesia (RRI) yang pada tanggal 1 Oktober pagi hari menyiarkan soal pengumuman adanya Dewan Revolusi. Mereka ’sukses’ menghantam gerak dari Dewan Jendral yang menurut mereka akan menggulingkan kekuasaan Paduka Yang Mulia, Presiden Soekarno.

Namun, tak berapa lama muncul lagi pengumuman dari RRI yang mengklarifikasi pernyataan sebelumnya. Kali itu suara dari Mayjen Soeharto yang menjabat sebagai Panglima Kostrad. Ia menyebut bahwa yang memberontak sebenarnya ialah Dewan Revolusi karena lewat pasukan Cakrabirawa pimpinan Letkol Untung menculik dan membunuh para panglima tinggi AD. PKI kemudian menjadi sasaran utama biang kerok ini semua. Siang 2 Oktober 1965, pasukan RPKAD pimpinan mertua Susilo Bambang Yudhoyono, Sarwo Edhi Wibowo menggempur markas pasukan Cakrabirawa di Lubang buaya, katanya tempat itu menjadi sarang para anggota PKI dan ormas sejenis untuk melakukan penyiksaan dan pembunuhan terhadap 7 jendral tersebut. Pukul 12:00, usai desing peluru sahut menyahut, Lubang Buaya berhasil di kuasai oleh Sarwo Edhi Wibowo dan pasukannya.

Saya yang kala itu menjadi anggota CC PKI DKI Jakarta, jujur tidak tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi. Sebagai partai yang memiliki administrasi lengkap dan garis komando yang jelas dan terstruktur tidak ada perintah dari pimpinan partai untuk bersiap melakukan pemberontakan seperti yang dituduhkan Soeharto dan kawan-kawannya. Saya berpikir kala itu, mungkin ini hanya konflik antar AD saja utamanya antara Cakrabirawa VS RPKAD. Saya masih ingat sebelum kejadian penculikan dan pembunuhan tersebut, di 1964 dua pasukan tersebut terlibat tawuran berdarah di Jakarta. Alasannya kala itu sangat sepele mungkin menurut saya, hanya karena baret yang mereka gunakan.

Meski sebenarnya menurut banyak kalangan kala itu, beberapa satuan di AD merasa iri dengan perlakuan ‘istimewa’ Istana terhadap Cakrabirawa. UUD atau ujung-ujungnya duit, santer terdengar bahwa soal gaji pasukan Cakrabirawa lebih besar dibanding satuan lain. Padahal Wakil Komandan Tjakrabirawa Kolonel (Purn) Maulwi Saelan, hal tersebut tidak benar.

“Kalau gaji itu dibayarkan dari satuan. Misal anggota Tjakrabirawa dari Yon 454, ya gajinya dibayarkan tetap dari Yon 454. Tidak ada kesejahteraan lain. Di Tjakrabirawa itu ya cuma bertugas,” kata Saelan.

Kembali ke inti masalah. Saya lantas beraktifitas seperti biasa, memang saya akui terlihat ada ketegangan dari para anggota partai jauh hari sebelum peristiwa ini terjadi. Utamanya mereka yang berada di jajaran politbiro PKI kala itu. Mereka sepertinya sudah mengira-ira bahwa efek perpolitikan internasional lewat perang dingin akan berdampak ke negeri ini. Tarik menarik antar blok barat dan blok timur sangat terasa.

Saya melihat kala itu di kantor CC PKI Jalan Kramat V, Jakarta, kami para anggota PKI tidak berpikir untuk melakukan persiapan perlawanan atau bertahan. Kami partai terkuat nomor 4 di negeri ini, anggota kami lebih dari 3 juta orang di seluruh negeri. Di Jakarta, kami memiliki basis yang kuat sebanding dengan basis masa PNI ataupun Masyumi. Jangan tanya untuk daerah Jawa Tengah dan Timur, disana MERAH. Jadi saya menganggap keadaan Jakarta tegang hanya untuk mereka yang berada di lingkaran elit kekuasaan partai, elit kekuasaan pemerintahan dan elit kekuasaan AD. Kami yang berada di bawah masih menganggap sama dengan hari-hari sebelumnya.

Namun siapa sangka, perubahan begitu cepat. Entah siapa yang memulai, para simpatisan, anggota PKI dan ormas ’seiman’ mendapat teror dari masyarakat yang berlatarbelakang secara politis dan ideologi merupakan ‘musuh’kami. Meski Paduka Yang Mulia, Soekarno di 6 Oktober sudah memberikan wejangan soal persatuan nasional. Luapan dendam dari musuh-musuh kami menyeruak ke permukaan. Usai pemakaman para korban penculikan dan pembunuhan 1 Oktober, kami menjadi target untuk di serang secar membabibuta.Kami tidak melawan karena memang sebagai orang yang berasal dari partai kader, tidak ada instruksi untuk kami melakukan perlawanan. Kami hanya bertahan dan menghindar dari tusukan parang, bacokan golok, pukulan, tendangan, siraman bensin dan tembakan peluru.

Saya yang berasal dari Jakarta mungkin sedikit lebih beruntung karena setidaknya ada beberapa informasi yang masuk soal pembersihan terhadap kami sehingga kami bisa bertahan dan melarikan diri. Bagaiman kondisinya dengan kawan-kawan kami di daerah. Tidak heran jika Bali, Jawa Timur dan daerah-daerah lainnya menjadi lautan darah. Si ‘hijau’ sudah tidak tahan untuk menyerang si ‘merah’ meski sebenarnya si hijau tidak sadar sedang menjadi boneka yang digerakan oleh si ‘biru’.

3 juta kawan-kawan kami meregang nyawa, anak terpisah dari orang tua, sanak dan famili. Harta benda diambil paksa untuk dijadikan milik si anu ataupun dibakar dan dihancurkan atas perintah si anu. Kami menjadi penyakit yang harus dibasmi, tanpa sedikit pun kami memperoleh kesempatan untuk melakukan pembelaan ataupun klarifikasi. Hukum sudah tertutup kain hitam bertuliskan DENDAM.

Nyawa 7 jendral, 2 pasukan dan satu anak kecil harus dibayar dengan nyawa 3 juta orang yang secara logika tidak tahu menahu soal peristiwa sebelumnya. Ingin rasanya saya menceritakan bagaimana saya harus meninggalkan rumah orang tua yang dibakar massa karena mereka tahun saya anggota PKI, bagaimana orang tua saya harus sakit-sakitan melihat kondisi ini, bagaimana kakak laki-laki saya harus diangkut oleh pasukan dan kemudian dibawa ke penjara ke penjara sebelum kemudian mati mengenaskan. Atau bagaimana adik perempuan saya harus kehilangan mahkota perawannya ikut di tangkap karena di tuduh sebagai anggota Gerwani. Namun, saya belum bisa berimaji sampai sejauh itu. Berimaji sebagai anggota PKI yang hidup di tahun itu pun, ada aroma ketakutan yang sangat terasa di pikiran saya.

Semoga mereka yang menjadi korban di era itu tetap tenang di alam sana. Tidak lagi saling menyerang satu sama lain karena kebetulan beberapa mereka yang menjadi algojo untuk mereka juga sudah tutup usia. Saya tidak bisa membayangkan Tuhan begitu kerepotan memerintahkan malaikat untuk melerai adu argumen hingga adu jotos antar mereka soal kebenaran Tragedi 65.

-tabik
Pras

No comments: