Segala yang Tidak Dikerjakan Rasulullah Haram?
Shalah Yusuf El Haq*
KITA seringkali mendengar seseorang melarang suatu amalan dengan landasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukannya. Maka disini perlu kita pertanyakan, apakah dibenarkan penetapan hukum syariat sebuah amalan dapat dilakukan dengan cara tersebut? Dengan bahasa lain, apakah ‘at-tark’ (peninggalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap sebuah amalan) dapat menjadi alasan keharaman amalan tersebut?
Seluruh ulama yang berkonsentrasi dalam pembahasan otoritas sebuah metode dalam memberi dampak hukum dan hujjah, atau terkenal dengan sebutan ushuliyyun (ahli ushul fiqh) telah sepakat bahwa dalil untuk menetapkan sebuah hukum adalah nash Al-Quran dan as-Sunnah, Ijma’ (konsensus), serta Qiyas. Sedangkan dalil lain selain empat dalil yang disebutkan tadi, para ushuliyyun berbeda pendapat akan kehujjahannya. Dalil lain tersebut seperti; istishab, istihsan, saddu adz-dzari’ah, qoul as-sahabi, dll.
Dan yang perlu kita perhatikan adalah dari seluruh metode penetapan hukum yang diakui para ulama tersebut tidak ada ‘at-tark’ di dalamnya. Itu berarti para ushuli tidak memandang ‘at-tark’ sebagai hujjah atas sebuah hukum, sebagaimana yang dijelaskan mantan Mufti Mesir Syaikh Ali Jum’ah.
Beberapa Kasus yang Menunjukkan Bahwa At Tark Tidak Menyatakan Keharaman
Ada beberapa kasus di masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang menunjukkan bahwasannya apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bukanlah perkara yang diharamkan.
Shahabat Berdoa dengan Lafal yang Tidak Diajarkan Rasulullah
Diriwayatkan dari Rifa’ah bin Rafi’:
كنا يوما نصلي وراء النبي فلما رفع رأسه من الركعة قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف قال: من المتكلم؟ قال: أنا. قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أولا.
كنا يوما نصلي وراء النبي فلما رفع رأسه من الركعة قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف قال: من المتكلم؟ قال: أنا. قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أولا.
“Pernah suatu ketika kami melaksanakan sholat di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kemudian saat beliau i’tidal, beliau berkata: sami’allahu liman hamidah. (Tiba-tiba) seseorang di belakang beliau mengucapkan: hamdan katsīran thoyyiban mubārokan fīh. Kemudian setelah selesai sholat Rasulullah bertanya: siapa yang bicara tadi? Makmum tadi menjawab: saya. Rasulullah pun berkata: Aku melihat sekitar tiga puluh malaikat saling berebut, siapakah diantara mereka yang mencatatnya duluan.” (HR Bukhori)
Setelah menyebutkan hadist ini Imam Ibn Hajar menanggapi, “hadist ini dijadikan dalil akan kebolehan menyusun doa baru yang ghoiru ma’tsur (tidak terdapat contohnya dari Nabi) dalam sholat.” Jika dalam perkara sholat kita diperbolehkan berdoa dengan doa yang ghoiru ma’tsur maka di luar sholat tentu pintu kebolehan lebih terbuka lebar.
Para Sahabat Membuat Mimbar untuk Berkhutbah Tanpa Perintah Rasulullah
Pun saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjadikan dahan pohon sebagai pijakan beliau saat berkhutbah, itu tidak lantas membuat para sahabat memahami keharaman berkhutbah di atas mimbar. Hingga akhirnya pemahaman itulah yang mendorong mereka membuatkan mimbar untuk khutbah nabi shallallahu alaihi wasallam.
Para fuqoha’ juga dengan jelas tidak menjadikan ‘at-tark’ sebagai argumen yang mustaqil (independen).
Shalat Sunnah Dua Rakaat Setelah Ashar
Ibn Hazm, saat berkomentar tentang sholat sunnah dua rakaat setelah Ashar, berkata: “Adapun hadist dari Ali radhiyallahu ‘anhu maka tidak dapat dijadikan hujjah. Karena Ali hanya mengabarkan apa yang ia tahu bahwa ia tidak melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukannya. Dan Ali berkata benar. Namun itu tidak menunjukkan keharaman sholat tersebut, begitu pula kemakruhannya.” (al-Muhalla, 2/36)
Masalah Mengeringkan Air Wudhu dengan Kain
Dalam kitab Ibn Hazm lainnya, beliau berkata: “Dan begitu pula segala sesuatu yang ditinggalkan nabi shallallahu alaihi wasallam tanpa beliau larang ataupun perintahkan maka menurut madzhab kami hukumnya mubah. Barang siapa yang meninggalkannya mendapat pahala, dan barang siapa melakukannya tidak berdosa dan tidak diberi pahala.” (al-Ihkam fi ushulil ahkam, 4/436)
Imam Nawawi, saat menjelaskan hadist tentang penolakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atas kain yang diberikan Maimunah untuk mengusap air dari tubuh beliau setelah mandi junub, mengatakan: “Di dalamnya terdapat dalil kesunnahan untuk tidak mengeringkan anggota tubuh (dari bekas air).
Ulama madzhab Syafi’i berbeda pendapat dalam masalah mengeringkan anggota tubuh dari bekas wudhu dan mandi kepada lima pendapat. Pertama, meninggalkannya mustahab (sunnah), namun jika melakukannya tidak dikatakan makruh. Kedua, melakukannya makruh. Ketiga, melakukannya merupakan perkara mubah. Dan ini adalah pendapat yang kita pilih karena sebuah larangan dan kesunnahan suatu amalan membutuhkan dalil yang jelas.”(Syarh Muslim, 3/231)
Lihatlah bagaimana Imam Nawawi, seorang pakar fikih sekaligus ahli hadits memahami hadist tersebut. Beliau justru memahami apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tinggalkan (mengeringkan bekas mandi junud) merupakan perkara mubah. Padahal Imam Nawawi mengerti bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jelas-jelas meninggalkan bahkan menolaknya.
Ibnu Daqiq al-‘Ied juga berkata, “Penolakan (Rasulullah atas) kain (yang disodorkan Maimunah) terjadi dalam kondisi yang memungkinkan terjadi banyak kemungkinan (ihtimal). Karena bisa jadi penolakan tersebut bukan dikarenakan kemakruhan mengelap bekas air, namun karena sesuatu yang berkaitan dengan kain yang disodorkan (seperti kemungkinan najis) atau selain itu. Wallahu a’lam.” (Ihkamul ahkam, 135)
Dengan demikian kita dapat memahami kaidah para ulama yang kesimpulannya, jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan sesuatu tanpa memberi petunjuk sebab ia ditinggalkan maka akan menimbulkan kemungkinan (ihtimal). Dan sesuatu yang menimbulkan ihtimal tidak dapat dijadikan hujjah. Pemahaman tersebut juga dibangun atas landasan kaidah: لا ينسب لساكت قول “Sebuah perkataan tidak dapat dinisbatkan kepada seseorang yang diam”
Beda halnya dengan taqrir (diamnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam saat melihat sebuah amalan). Taqrir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi hujjah akan kebolehan sebuah amalan bukan karena diamnya (saja) namun karena diamnya tersebut diikuti dengan qarinah (petunjuk) bahwa ‘Rasulullah tidak akan diam dalam kemungkaran’. Akhirnya taqrir yang disertai qorinah tersebut menghasilkan kebolehan sebuah amalan yang dilakukan di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diketahui beliau namun tidak beliau ingkari. Wallahu a’lam bishowab.
*Mahasiswa Syariah Islamiyah Universitas Al Azhar Kairo
No comments:
Post a Comment