The Reconstuction of Religious Thought in Islam adalah karyanya paling monumental
Muhammad Iqbal merupakan sastrawan, filsuf, dan negarawan sekaligus. Menurut penyair Angkatan 60, Taufiq Ismail dalam artikelnya, “Memikir dan Memikirkan Kembali” (1968), warisan terbesar dari pria kelahiran Punjab, India, 9 November 1877, tersebut adalah penafsiran peran Islam bagi dunia modern.
The Reconstuction of Religious Thought in Islam (terbitan Lahore, 1951) dapat dikatakan sebagai karya pamuncak Iqbal. Di sanalah, percik-percik gagasannya memancar dan terus menginspirasi hingga zaman kini.
Di Indonesia, karya tersebut telah diterjemahkan sedikitnya dua kali, yakni oleh Prof Osman Raliby (Januari 1966, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta) dan tim yang terdiri atas Taufiq Ismail, Goenawan Mohammad, dan Ali Audah (1966).
Dan tahukan Anda jika, pemikiran Iqbal menginspirasi ilmu sosial profetik yang pernah digagas oleh cendekiawan Muslim Kuntowijoyo. Di Indonesia, pengaruh Muhammad Iqbal diakui jelas oleh pelopor Ilmu Sosial Profetik (ISP), almarhum Kuntowijoyo. Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menegaskan, asal-usul ISP adalah buku The Reconstuction of Religious Thought in Islam.
Dalam sebuah bab di sana, tutur Kunto, Iqbal dengan piawai membandingkan daya jangkau kenabian (prophetic) dengan daya jangkau manusia biasa. Iqbal mengambil kata-kata Abdul Quddus, penyair sufi, yang mengandaikan dirinya melakukan Isra-Miraj.
Bilamana ia, Abdul Quddus, sampai ke langit tertinggi untuk menjumpai Allah, Zat yang dirindukan para salik, maka barang tentu ia enggan kembali lagi ke bumi. Tidak demikian halnya dengan Nabi Muhammad SAW, yang kembali turun ke bumi untuk mengabarkan kewajiban shalat serta firman-firman lainnya dari Allah SWT. Artinya, Nabi memiliki daya jangkau yang mengutamakan nasib umatnya, bukan pribadi seorang.
Bila ulama atau kaum intelektual pada umumnya adalah pewaris Nabi, maka seorang intelektual Muslim tidak patut berpangku tangan, melenakan ilmu yang diperolehnya hanya demi nasibnya seorang.
Ilmuwan Muslim tidak boleh diam, sementara dunia kaumnya perlahan-lahan tenggelam dalam kemalangan. Dalam pada itu, Iqbal melihat kalangan terpelajar Muslim sezamannya banyak yang tak lagi mengenal hakikat universal ajaran Islam dan khazanah kebudayaannya yang begitu kaya.
Bahkan, mereka mulai tercerabut dari akar budayanya sendiri dan kehilangan kepribadian di hadapan berhala-berhala paganisme Barat (Abdul Hadi WM, 2016:145).
No comments:
Post a Comment