Merefleksikan Kembali Sila Pertama Pancasila di Masa Pandemi Covid-19



Nilai religius, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan yang terkandung dalam pancasila perlu ditumbuhkan pada diri setiap warga.
PANCASILA sebagai suatu dasar, falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonsia dalam bernegara sudah barangtentu bukanlah dasar, falsafah dan pandangan hidup dalam beragama. Sebab pancasila bukanlah agama dan agama bukanlah pancasila. Umat Islam tidak perlu sangsi dan ragu – ragu terhadap Pancasila, sebagai mana dikatakan oleh Alamsyah Ratu perwiranegara – bahwa Pancasila merupakan hadiah dan pengorbanan terbesar umat Islam Indonesia untuk persatuan dan kemerdekaan bukan sekedar slogan kosong, melainkan benar-benar ucapan yang berbobot, sesuai dengan fakta dan realita dengan latar belakang historis yang nyata.

Dalam sebuat memoar, KH. Badri Masduqi mengingatkan kita semua bahwa isi pancasila apabila diteliti secara seksama, satu demi satu, maka nyata bahwa ia bukanlah refleksi ajaran agama lain tetapi ajaran Islam itu sendiri. Namun dalam beberapa peristiwa, terutama menjelang pemilihan umum, baik tingkat nasional ataupun daerah, umat Islam sering dihadapakan dengan hadiah yang diberikannya, yaitu Pancasila.

Bagi beberapa akademisi, pancasila merupakan ideologi terbuka yang bisa dievaluasi sesuai dengan perkembangan dan tantangan yang ada, tapi ini perlu dipahami bukan sebagai upaya untuk merubah, namun bagaimana menyesuikan pancasila dengan realita yang ada. Dalam prakata buku ‘Bangkitlah Pancasila’ seorang pakar pancasila Sholih Mu’adi mengatakan pancasila hari ini hanya dijadikan simbol kenegaraan saja, tapi tidak dimaknai dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. Sebagai contoh di tingkat elit korupsi meraja lela, di tingkat masyarakat sipil konsumerisme terhadap produk luar, baik barang dan jasa terus meningkat.

Oleh sebab itu, pada masa pandemi covid 19 yang sudah berlangsung hampir 3 bulan lebih ini perlu kiranya kita merefleksi kembali nilai-nilai pancasila, supaya penyebaran virus ini bisa segera dicegah dan masyarakat Indonesia bisa hidup normal kembali. Salah satu definisi umum tentang pandemi adalah penyebaran penyakit dari orang ke orang dengan cepat. Ada juga yang menyebutkannya sebagai epidemi atau penyakit menular yang terjadi di semua daerah di dunia, ataupun di tempat yang amat luas yang melintasi batasan internasional.

Sebagaimana telah disinggung di awal bahwa pancasila merupakan dasar negara Indonesia, oleh sebab itu seluruh warga Indonesia harus menjadikannya sebagai panduan dalam kehidupan bernegara. Sebagai sebuah refleksi, akan sedikit kami urai, sila pertama pancasila ketuhanan yang maha esa dan singgungannya dalam penyebaran virus corona pada saat ini.

Ketuhanan yang maha esa, inti dari sila pertama ini adalah keimanan yang dalam Islam merupakan pondasi dari seluruh amal dan perbuatannya. Kita mengimani enam hal dalam kehidupan beragam yaitu iman kepada Allah, kepada Malaikat, Kitab, Rasul, Kiamat dan Takdir. Keimanan tidak bisa hanya disebut kepercayaan. Karenan banyak dalam kehidupan saat ini seseorang mempercayaain sesuatu yang tidak berdasar. Dalam Islam keimanan atau kepecayaan harus berlandaskan ilmu, fa’lam annahu laa ilaha illallah, ketahuilah sesungguhnya tiada tuhan selain Allah.

Dalam keimanan dikenal sebuah istilah sam’yaat atau pendengaran yaitu bukti atau dalil tentang hal yang harus kita imani yang berdasar dari apa yang kita dengan dari Rasul dan kitab suci. Keimanan juga sangat erat hubungan dengan ghaibiyat atau keghaiban, seuatu yang tidak nampak, kasat mata, tidak bisa diindra dengan indra biasa. Tidak mudah menanamkan ketuhanan, keimanan pada saat ini. Namun dengan menyebarnya virus corona yang banyak melumpukan kota dan negara, seperti Italia, Inggris, Prancis, Filipina, India bahkan Amerika yang selami ini mengaku sebagai negara super power dan menjadi polisi dunia harus melakukan lockedown dan social atau fisical distancing, yang berdampak pada aktivitas work from home (WFH) yaitu kerja dari rumah. Lockdown artinya mengurung diri, bisa dalam konteks rumah, kota bahkan negara.

Betapa lemah manusia ini, dengan segala teknologi dan kebudayaannya ternyat Laa haula wala quwata illabilah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali melainkan kehendak Allah. Kalau Allah menginginkan sesuatu terjadi, maka terjadilah. Mungkin kita juga harus ingat dengan kisah Namrud, raja jalim yang membakar nabi Ibrahim hidup-hidup, raja sombong yang mengaku tuhan yang patungnya tersebar diseluruh negeri, ternyata dia dihentikan oleh lalat yang diutus Allah. Mahluk kecil yang kebanyakan orang tidak menghiraukannya.

Sekarang kesombongan Namrud yang mungkin diwariskan kepada umat manusia, diperingatkan Allah dengan sesuatu yang lebih kecil dari lalat, yaitu virus. Sebagai warga Indonesia dengan salah satu falsafah kenergaraannya ketuhanan yang maha esa. Harus kita sadari bersama bahwa ini kerupakan kehendak dan kekuasaan Allah. Tapi kesadaran ini bukan dalam bentuk berserah pasrah, dengan mengatakannya sebagai takdir, namun kesadaran untuk bangkit dan mencari takdir yang lain.

Dalam sejarah Islam, wabah juga pernah melanda pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Dalam sirah dijalaskan bagaimana Umar merdiskusi dengan para sahabat dalam menghadapi wabah ini. Setelah diskusi yang cukup panjang Umar metuskan untuk melakukan lockdown, mengetahui hal itu ada beberapa sahabat yang mengatkaan ‘apakah anda akan lari dari takdir Allah’. Umarpun menjawab, ya kami lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Umar memberikan analogi dengan tempat menggembala yang subur dan kering, apabila engkau seorang pengembala kemanakah engkau akan membawa untamu.

Pada hari kebangkitan pancasila ini, hubungan vertikal kita dengan Allah yang maha esa dan hubungan hotizontal kita dengan alam semesta. Nilai religius, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan yang terkandung dalam pancasila perlu ditumbuhkan pada diri setiap warga. Pertumbuhan nilai-nilai ini dapat menjadikan pertahanan diri untuk menghadapi krisi akibat virus corona ini, salah satunya dengan mengoptimalkan waktu lockdown kita dengan memperbanyak ibadah dan memberikan banyak manfaat bagi diri sendiri atau orang lain.

Merefleksikan kembali nilai-nilai filosofi ibadah dengan melakukan introspeksi diri sebagai mahluk yang tidak memiliki kekuasaan untuk mengubah apapun tanpa kekuatan yang diberikan oleh Allah. Dengan rajin beribadah sudah bisa dipastikan bahwa dia akan lebih perduli dengan lingkungannya, serta berpikir positif dan tenang dalam menghadapi masalah, karena yakin setiap masalah pasti ada jalan keluaranya.

Kegiatan ibadah akan berefek kepada peningkatan keimanan yang mejadi dasar kebaikan. Hal ini sangat dibuthkan untuk menghadapi pandemi saat ini, karena yang kita hadapi bukan sesuatu yang kasat mata. Tampa ketuhanan, keimanan maka hari-hari kita akan dipenuhuni kecurigaan dan kecemasan, sehingga hidup tidak tenang dan akhirnya tidak bisa menjadi warga negara yang baik. Iman menjadi dasar dalam menumbuhkan jiwa yang beridiologi pancasila. Iman menjadi penggerak keperdulian. Iman meberikan kekutan untuk bertahan terhadap cobaan. Dengan menguatkan iman minimal kita telah memberikan sumbangan kepada orang lain berupa do’a. mendoakan diri dan keluarga serta bangsa Indonesia dan dunia agar terhidar dari virus corona.*



Penulis adalah Dosen Stai Darunnajah Jakarta dan Bogor, Mahasiswa program doktor di University Saint Islam Malaysia (USIM)

No comments: