Libya mengalami kemajuan dan kemakmuran saat pemerintahan Dinasti Islam. Masjid Murad Agha di kota Tajura dekat Ibukota Libya, Tripoli.
Sebelum Islam datang, Libya menjadi daerah jajahan Roma pada 46 M. Orang-orang Roma, mengubah Tripolitania menjadi produsen utama minyak zaitun melalui penanaman pohon-pohon zaitun.
Daerah ini berkembang subur di bawah Kaisar Septimus Severus (193-211 M). Agama Kristen berkembang pesat pada masa ini. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia diterangkan, setelah kemunduran Roma, Islam dengan mudah masuk ke Cyrenaica pada 642 M.
Pada 800 M, Khalifah Abbasiyah, Harun al-Rashid menunjuk keluarga Aghlab menjadi gubernur turun temurun di Afrika Utara. Pada 910 Tripoli jatuh ke tangan orang-orang Fatimid yang mendirikan sebuah khalifah tandingan, Shiite, di Tunisia.
Pada abad ke 16 Turki Ottoman menaklukan tiga wilayah Libya yaitu Fezzan, Cyrenaica, dan Tripolitania. Kekuasaan di wilayah ini bertahan hingga 1835.
Doktor Sejarah Islam Universitas Montreal Kanada, Iik Arifin Mansurnoor dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam menjelaskan, Libya telah dianggap menjadi wilayah Utsmani sejak Sultan Salim merebut Mesir dari tangan Dinasti Mamluk pada 1517.
Libya menjadi wilayah Otonom justru setelah diperintah oleh gubernur Utsmani. Sebelum abad ke-16, boleh dikatakan Libya seakan-akan tidak mempunyai identitas yang mandiri atau dalam istilah sejarawan Ira M Lapidus, negeri yang tanpa sejarah. Sejak dikuasai oleh Khalifah Umayyah dan kemudian Abbasiyah, Libya biasanya diletakan di bawah penguasaan gubernur di Mesir.
Libya khususnya bagian timur-Fazzan dan Sirenaika, menjadi bagian dari wilayah Mesir sampai zaman Dinasti Mamluk (memerintah Mesir antara 1250-1517).
Sewaktu Mesir ditaklukan Sultan Salim pada 1517, Libya diklaim menjadi wilayah Utsmani. Sebenarnya baru pada 1551 Tripoli diambil alih ke dalam kekuasaan Utsmani. Dengan demikian negeri yang kemudian dikenal dengan Libya ini keseluruhannya telah berada di bawah kekuasaan Utsmani.
Hingga berdirinya Dinasti Qaramanli pada 1711, Libya diperintah oleh gubernur Ottoman (pasya) yang dibantu oleh tentara Janissary.
Dinasti Qaramanli yang berasal dari perwira Janissary memerintah Libya hingga 1835. Secara umum, penguasa Qaramanli tetap mengakui Sultan Ottoman sebagai pemimpin, dengan bukti penyerahan upeti tahunan. Dengan semakin kuatnya pengaruh Perancis dan juga Inggris di Laut Tengah sejak awal abad ke 19, Dinasti Qaramanli semakin terdesak.
Hal ini mendorong Istanbul untuk menggantikan penguasa Qaramanli dengan gubernur yang dikirim langsung oleh Sultan. Tetapi gubernur Ottoman ini hanya menguasai bagian barat yang berpusat di Tripoli, sedangkan bagian timur dibiarkan dikuasai oleh pemimpin lokal yang mengakui kedaulatan Utsmani.
Selama di bawah pemerintahan Utsmani, Libya, terutama bagian baratnya mengalami berbagai pembaruan. Sejalan dengan pembaruan di Istanbul, sejak paruh kedua abad ke-19, pembaruan ala tanzimat Ottoman (dilancarkan sejak awal abad ke-19 oleh Sultan Mahmud II) juga diperkenalkan di Libya.
photo
Ilustrasi Padang Pasir - (Pixabay)
Perdagangan trans-Sahara, pertanian dan pendidikan dimajukan. Dengan demikian muncullah golongan elite yang berorientasi kepada kehidupan Utsmani, Arab dan Islam.
Di bagian timur, walaupun diperintah secara otonom oleh para pemimpin Tarekat Sanusiah, pembaruan juga berjalan sebanding dengan di bagian barat. Pada pertengahan abad ke-19, pemimpin tarekat ini, Muhammad as-Sanusi berhasil meluaskan jalur ekonomi, sosial dan politik keagamaan di kalangan suku-suku Badui.
Para pemimpin Sanusiah menentang habis-habisan upaya perluasan Perancis di selatan Libya dan kemudian juga penyerbuan Italia atas Libya.
Kendati demikian, Italia berhasil merebut pusat pusat pemerintahan dan kota-kota utama di Libya pada 1911, sehingga pihak Ottoman menyatakan mundur dari Libya pada 1912.
Namun, para pemimpin Sanusiah tetap merasa menguasai Libya dan baru pada 1934, setelah perang berkepanjangan dan kejam, Libya dapat dikuasai sepenuhnya oleh Italia.
Selanjutnya, akibat kekalahan Italia pada perang Dunia II, Libya jatuh ke tangan Prancis dan Inggris. Sewaktu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan kemerdekaan kepda Libya pada 1951, pemimpin Sanusiah waktu itu, Amir Idris diangkat menjadi Raja.
Namun pada 1959 Kolonel Muammar Muhammad al-Qadafi melakukan kudeta dan menjatuhkan raja. Libya lalu menjadi republik dengan presiden pertama Qadafi.
Di bawah kepemimpinan Qadafi, Libya setiap tahunnya berhasil melahirkan ribuan para penghafal Alquran. Kini, jumlah para penghafal Alquran di negara yang dulu sempat diembargo Amerika Serikat ini jumlah penghafal Alquran mencapai jutaan orang
Libya pada masa Qadafi, merekrut banyak juru dakwah dari berbagai negara. Mereka bukan hanya mengajarkan dakwah, tapi juga mengajarkan bahasa Arab di lingkungan penduduk asli Afrika. Tak kurang dari tiga ribu guru yang dikirim dari Libya dan negara-negara Islam lainnya ke sejumlah negara yang berpenduduk asli Afrika untuk mengajarkan Islam yang benar.
sumber : Harian Republika
No comments:
Post a Comment