Soekarnoisasi Pancasila


Muhamad Iswardani Chaniago
Usaha apapun yang menggiring penafsiran Pancasila kepada tokoh tertentu bisa disebut sebuah fenomena radikalisasi tafsir atas Pancasila

SEBAGAI sebuah gagasan, Pancasila lahir di tengah perdebatan sengit soal apa yang akan dijadikan dasar falsafah negara. Perdebatan yang menguras energi besar sekaligus pengorbanan besar terutama bagi umat Islam. Konon akibat perdebatan itu, Soekarno sampai tidak bisa tidur pulas.

Tapi, selain soal materi Pancasila yang kemudian redaksi finalnya disahkan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945, terdapat hal yang krusial lain yakni bagaimana cara menafsir Pancasila dan pandangan terhadap tafsir Pancasila itu sendiri. Pancasila menjadi demikian kompleks, karena 5 butir itu belum menemukan konsensus, dan mungkin tak akan pernah menemukan, bagaimana menafsir kelima sila tersebut. Siapa yang berhak dan bagaimana metodologi penafsirannya. Apa varian tafsir yang diperbolehkan berbeda dan varian yang tidak diperbolehkan berbeda.

Di tengah banyaknya pandangan tentang Pancasila, saat ini muncul fenomena menarik dari sejumlah kalangan. Yaitu mereka yang mencoba membawa Pancasila ke arah tafsir Soekarno. Upaya ini sebenarnya adalah usaha untuk mewarnai Pancasila dengan gagasan Soekarno baik sebagai presiden atau salah seorang konseptor Pancasila. Contoh dari upaya itu adalah buku Bung Karno, Islam dan Pancasila yang ditulis Ahmad Basarah, Wakil Ketua MPR yang juga elit Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Sebuah simpulan cukup menarik dari buku yang awalnya berupa disertasi ini adalah ketika Basarah pernah menyatakan: “maka negara sebagai pemegang otoritas resmi perlu membuat panduan atau pedoman dalam menafsirkan sila-sila Pancasila yang bersumber dari pidato Pancasila 1 Juni 1945.” Pertanyaan kemudian muncul, mengapa hanya bersumber dari sila-sila dalam pidato Pancasila 1 Juni saja? Karena, menurut Basarah Pancasila 1 Juni-lah yang menjadi meta yuridis sekaligus grundnorm. Bukan Pancasila 18 Agustus. Inilah salah satu bentuk soekarnoisasi Pancasila.

Adakah yang salah dengan soekarnoisasi Pancasila sebagaimana kuat terasa dalam narasi Basarah tersebut? Jawabannya belum tentu negatif atau positif. Sebab persoalannya adalah gagasan tokoh tidak bisa diterima semua atau ditolak seluruhnya. Terlebih tafsir individu tehadap gagasan pokok yang masih umum tersebut.

Demikian pula dengan soekarnoisasi Pancasila. Proyek ini bukan tanpa masalah, setidaknya dalam beberapa hal.

Pertama, jika tafsir Soekarno ingin dijadikan panduan penafsir Pancasila, bagaimana dengan tokoh lain. Apakah benar tokoh lain tidak berkontribusi mengkonstruk Pancasila. Padahal Soekarno dengan jujur mengakui Pancasila masih berupa usulan dan mengalami proses penerimaan dalam Jakarta Charter (Piagam Jakarta) dan sidang PPKI 18 Agustus 1945. Perhatikan kata-kata Soekarno. “Nah ini yang menjadi pertimbangan daripada pemimpin-pemimpin kita dalam tahun 1945 dan sebagai tadi saya katakan, sesudah bicara-bicara, akhirnya pada suatu hari saya mengusulkan Pancasila, dan Pancasila itu diterima masuk dalam Jakarta Charter, masuk dalam sidang pertama sesudah proklamasi,”  demikian kata Soekarno. (Soekarno, Pancasila Dasar Filsafat Negara, hal 42).

Kata-kata “diterima” bermakna bahwa sebelum Piagam Jakarta dan sidang pertama PPKI, Pancasila belumlah disepakati mutlak. Dan diketahui bersama bahwa rumusan Pancasila setelah 1 Juni berbeda dengan Pancasila 1 Juni. Ini artinya ada kontributor lain yang mengkonstruk Pancasila, yaitu mereka yang masuk dalam panitia sembilan. Konsekuensi lebih jauhnya adalah pemustahilan Soekarno sebagai satu-satunya kontributor tafsir Pancasila. Meletakkan Soekarno sebagai penafsir tunggal Pancasila, sama saja tidak mengakui kontribusi tokoh lain dalam mengkonstruk Pancasila. Sikap yang jauh dari historis.

Kedua, secara faktual sejumlah gagasan Soekarno bukan tanpa masalah, sehingga agak riskan menerima gagasan Soekarno sebagai tafsir Pancasila dalam sejumlah aspek. Bahkan, beberapa gagasan Soekarno bisa dikatakan bertumbukan dengan Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Jika gagasan ini diadopsi sebagai tafsir Pancasila, yang terjadi adalah konflik berbahaya dan munculnya potensi penyimpangan. Contoh awal adalah ide sekularisasi yang diusung Soekarno tahun 1932 yang kemudian membuatnya berdebat panjang dalam dengan tokoh Islam M. Natsir.

Sekularisasi sangat tidak kongruen dengan Islam yang anti pemisahan agama dengan negara. Proyek ini ditentang habis oleh para ulama dunia. Salah satu kisah tragis tentang sarjana Islam pembela sekularisasi adalah Ali Abdur Raziq. Seorang alumni al-Azhar yang dipecat dari institusi hakim di Mesir karena mengusung ide sekularisasi. Tapi anehnya Raziq justru dipuji Soekarno seperti yang ia tulis dalam karyanya Di Bawah Bendera Revolusi. Soekarno menulis, “Sheikh Abd-ar Razik, yang di dalam kitabnya al-Islam wa Ushul al-Hukm, mengeluarkan pikiran yang terlalu modern ditentang agama dan negara, dikenakan hukuman berat oleh Majelis Ulama Besar di Kairo.” (Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, hal 382)

Contoh lain adalah teori kemunculan agama yang Soekarno tuangkan dalam pidato kursus Pancasila tahun 1958. Saat itu Soekarno tengah membahas makna sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun penjelasan Soekarno soal agama justru meminjam teori evolusi kebudayaan yang memandang agama merupakan hasil perubahan fase per fase dari respon manusia terhadap alam. Semakin tinggi tingkat teknologi dan penguasan manusia terhadap alam akan menghasilkan gambaran Tuhan yang berbeda pula. Sebuah teori yang dekat dengan pendapat para ahli evolusi kebudayaan seperti Spencer, Comte atau E. B. Taylor.

Menurut Soekarno, fase pertama kemunculan agama menghasilkan Tuhan dalam bentuk simbol alam,  pohon, petir, sungai dll. Fase kedua, ditandai penyembahan manusia kepada Tuhan dalam bentuk hewan. Karena fase ini dipandang sebagai tahap manusia hidup dengan berternak. Fase ketiga, tahap pertanian ketika Tuhan merepresentasikan kemakmuran. Pada fase keempat Soekarno berkata: “Alam keempat gaib. Tuhan dimasukkan ke dalam alam gaib. Tuhan di mana? Tidak kelihatan tidak bisa mata melihatnya. Tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat, gaib. Oleh karena akallah menjadi penentu daripada hidup manusia,” demikian Soekarno menjelaskan fenomena penyembahan manusia terhadap Tuhan dalam berbagai fase. (Soekarno, Pancasila Dasar Filsafat Negara, hal 53-57)

Teori ini seharusnya tidak diajarkan kecuali jika bersifat korektif atau meluruskan paparan teoritisi evolusionis. Pengajaran teori ini tanpa kritis, sebagaimana ditunjukkan Soekarno, adalah masalah tersendiri khususnya bagi Islam. Sebab Islam lahir bukan sebagai respon terhadap alam. Ia bukan hasil renungan batin dan nalar Nabi Muhammad saw atas sosio-religi bangsa Arab saat itu, melainkan wahyu yang berasal dari Allah. Menganggap agama, termasuk Islam di dalamnya, sebagai respon terhadap alam bisa ekuivalen dengan menganggap Islam adalah agama “made in” Muhammad. Dan itu merupakan masalah serius.

Contoh berikutnya adalah teori pluralisme agama. Adalah Prof.Rasjidi dalam bukunya Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi yang menyinggung masalah ini. Beliau mengkritik pemahaman penyamaan agama yang ketika itu dirasa muncul di kalangan awam. Rasjidi, yang juga menteri agama pada kabinet Sjahrir tahun 1946, melihat kalangan intelektual ternyata juga dihinggapi sesat pikir pluralisme agama. Termasuk di dalamnya Soekarno. Menurut Rasjidi, Soekarno pada pidatonya soal agama tahun 1955 di Universitas Indonesia, menggunakan analogi gajah dan orang buta yang cukup populer itu guna menjustifikasi posisi agama-agama dan membenarkan semua agama. “Berkata Soekarno: Nah, saudara-saudara. Siapakah yang benar diantara keempat orang buta itu? Jawabannya mudah, mereka semua benar, walaupun jawaban mereka berlainan. Begitulah, saudara-saudara keadaan agama. Di Indonesia ada bermacam-macam agama. Semua benar seperti jawaban-jawaban orang-orang buta tentang gajah itu benar. Karena manusia itu kecil, ia tak dapat mengetahui segala sesuatu.” (H.M. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, hal 25). Rasjidi sendiri, yang pernah menjadi associate professor di McGill University,  Kanada, menyikapi kritis pandangan Soekarno itu. Baginya semua agama tidak sama. Sikap yang harus diambil adalah menyadari adanya perbedaan agama di dunia.

Analogi gajah dan orang buta itu kemudian diulang kembali oleh Soekarno dalam pidato kursus Pancasila-nya tahun 1958. Dengan eksplanasi bahwa pandangan manusialah yang berbeda tentang Tuhan. Bukan Tuhan itu sendiri. Sebuah penjelasan yang menguatkan pendapat Rasjidi tentang pandangan keagamaan Soekarno.

Bambang Noersena dalam bukunya Religi dan Religiusitas Bung Karno tidak terlalu jauh berbeda dengan Rasjidi dalam memandang religiusitas Soekarno. Bagi Noersena, Soekarno dekat dengan paham spiritualitas semesta (holistic spirituality) yang kental dengan nuansa kebenaran semua agama. Merayakan kebenaran universal dari manapun juga asalnya sebagai kebenaran esoteris yang satu. Dari mana Noersena menyimpulkan Soekarno bisa berpaham demikian? Dari pidato kursus Pancasila Soekarno terkait sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. (Bambang Noersena, Religi dan Religiusitas Bung Karno, hal. 29-32)

Jika informasi Rasjidi itu benar, dan kesan kuat ke arah sana cukup terasa, maka pandangan Soekarno soal kedudukan keberagaman agama sangat bermasalah. Bahkan harus dibuang dari Pancasila dan tidak boleh dipakai. Sebab sangat telak kekeliruan pandangan yang juga telah diharamkan MUI tersebut. Bagaimana mungkin kebenaran Islam juga dikandung sepenuhnya oleh agama lain. Ajaran yang tak pernah diajarkan Nabi saw.

Ini belum lagi ada bagian dari pidato 1 Juni Soekarno yang terkesan kuat membolehkan paham kelompok agama apa saja masuk sebagai produk hukum dan kebijakan, asalkan didukung mayoritas parlemen. Padahal produk hukum dan kebijakan tersebut bisa saja bertentangan dengan pokok-pokok ajaran agama lain, khususnya Islam. Dengan demikian gagasan Soekarno tentang produk hukum dalam Pancasila juga tak bisa diadopsi sepenuhnya.

Contoh-contoh tersebut menandakan ada masalah dalam upaya soekarnoisasi tafsir Pancasila. Oleh sebab itu usaha apapun yang menggiring penafsiran Pancasila kepada tokoh tertentu saja dengan mengabaikan kaidah berpikir yang valid dan kontribusi tokoh lain, tidak akan menghasilkan solusi. Bahkan upaya ini bisa disebut sebuah fenomena radikalisasi tafsir atas Pancasila. Wallahu a’lam.*

Alumni Magister Islamic Studies konsentrasi Agama dan Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

No comments: