Revolusi Tiga Daerah: Rusuh Kaum Kiri Di Awal Kemerdekaan
Jalan Revolusi Sosial Tiga Daerah di Kota Brebes
Bagaimana dengan pergolakan yang terjadi di kota kabupaten. Mari kita amati jalannya revolusi sosial di kota Brebes ini.
Selama pergolakan sosial pada bulan Oktober, hubungan antara ibukota kabupaten dengan desa-desa di daerah pedalaman menjadi semakin sulit. Banyak orang takut bepergian keluar kota, karena khawatir akan diculik dan kehilangan nyawa. Apalagi jalan-jalan yang menghubungkan desa-desa pedalaman kekabupaten banyak melewati hutan-hutan.
Ada beberapa pangreh praja yang berhasil meloloskan diri, ada pula yang tidak diketahui bagaimana nasibnya. Banyak camat melarikan diri ke ibu kota kabupaten dan karesidenan pekalongan, tetapi pergolakan sosial tampaknya mengejar pangreh praja sampai ke ibu kota karesidenan.
Pengumuman bahwa tentara sekutu akan menduduki Jawa pada waktu singkat telah melibatkan bupati ke medan pertikaian terbuka dengan kaum revolusioner di Brebes. Walaupun pada akhirnya Bupati menerima kemerdekaan Indonesia, keragu-raguan terhadap pangreh praja, yang oleh pemuda Brebes Sugeng Hargono dinamakan kelompok Mosvia, itu tetap berlanjut.
Penentangan pangreh praja terhadap gerakan revolusioner timbul dalam berbagai cara, di samping BKR (badan keamanan Rakyat)/ TKR (tentar Keamanan Rakyat) resmi yang di bentuk pada bulan September di Brebes maka wedana Brebes R. Sudirman membentuk “BKR gelap” yang rupa-rupanya digunakan untuk melindungi pangreh praja.
Ketua KMI Brebes, Kartohargo, dalam siding pengadilan mengatakan bahwa BKR gelap ini terdiri dari bajingan-bajingan yang tidak di sukai rakyat, karena merasa dekat dengan pangreh praja mereka sering berlaku tidak adil. Selain AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) Brebes pimpinan Kartohargo, beberapa pemuda bersama beberapa lenggaong membentuk AMRI-1 (Angkatan Muda Republik Indonesia Islam).
Mereka itulah yang terlibat dalam pertentangan dengan BKR/TKR dan AMRI Brebes. Mereka menganggap bahwa AMRI Brebes merupakan cabang AMRI-I Slawi, dan menguasai sebuah penggilingan padi. BKR/TKR resmi diakui oleh AMRI-I sebagai kelompok pemuda nakal yang islamnya tidak sungguh-sungguh.
Dalam menanggapi situasi sosial yang semakin memburuk, patih Brebes datang ke kantor KNI membawa surat dari bupati, yang mengatakan bahwa semua pangreh praja bersedia meletakan jabatan kalau rakyat tidak menghendaki mereka. Bupati meminta KNI mencabut pernyataan dan diumumkan di depan rapat para pemimpin rakyat yang diselenggarklan oleh Kartohargo selaku juru penerang KNI.
Rapat KNI Brebes ini di kacau oleh pemimpin AMRI. Kartohargo menegaskan bahwa sekalipun mereka dalam revolusi, tetapi jangan main hakim sendiri jika ingin menggati pejabat, teruskanlah keinginan itu melalui KNI. Mukhsan menjawab bahwa dialah yang berkuasa di Brebes bukan Kartohargo.
Wedana Brebes berusaha melindungi Mukhsan yang mempunyai wibawaa besar di pasar Batang. Tokoh AMRI-I ini diharapkan dukungannya kepada wedana yang semakin tersisih dari kalangan perjuangan. Wedana Soedirman meminta agar Kartohargo membebaskan Mukhsan yang hendak ditangkap. Wedana juga menyarankan kepada kepala kepolisian kabupaten, tetpi polisi juga menahan orang-orang AMRI-I lainya, karena pembunuhan terhadap orang-orang Indo di Jatibarang. Mukhsan melarikan diri, kemudian ia ditangkap kembali oleh PKN (penjaga keamanan Negara) yang terbentuk pada minggu kedua bulan Oktober untuk menggantikan kepolisian lama. Kemudian ia dibawa keasrama PKN , dan kemudian dikirim ke penjara Tegal.
Tawaran bupati kepada pangreh praja Brebes untuk meletakkan jabatan ternyata sudah terlambat. Ketegangan di kota Brebes semakin menjadi. Pada tanggal 18 oktober malam, Bupati Sarimin Reksadihardja, patih palal pranoto, dan sejumlah vedana (antara lain slamet wedana Tanjung, dan Soedirman Danoewilogo, wedana Brebes) adalah orang yang diculik dan dibawa ke suatu tempat di Tegal Selatan.
Pada tanggal 21 oktober mereka dibawa ke markas API (Angkatan Pemuda Indonesia) Tegal dan dua hari kemudian dibawa ke sebuah perkebunan milik orang Indo yang telah dilbunuh beberapa hari sebelumnya. Di sinilah mereka bertemu densagan pangreh praja lainnya.
Setelah dilakukan pemeriksaan, sepuluh hari kemudian, para pangreh praja itu diambil, dan dibawa kembali ke penjara Tegal. Patih, wedana Tegal, sekretaris Kabupaten, serta dua orang pejabat lainnya atas nasehat KNI berlindung di penjara, yang merupakan satu-satunya tempat yang aman bagi mereka.
Tetapi nyatanya pemerintah karesidenaan Pekalongan dan tentara menuduh kaum revolusioner telah memenjarakan para pejabat. Hal ini disebabkan karena mereka berada di penjara bersama dengan pangreh praja Brebes yang diculik. Tetapi kemudia barisan pelopor menjelaskan bahwa para pejabat itu tinggal di penjara karena meresa tidak aman tinggal di tempat lain.
Pada waktu itu memang penjara benar-benar merupakan tempat yang aman untuk berlindung dari amukan massa. Akibat aksi-aksi pendaulatan, maka timbulah kekosongan kekuasaan. Pemerintah boleh dikatakan lumpuh. Alat keamanan tak berdaya, dan alat pemerintahan lainnya hampir tidak berfungsi lagi. Ini terjadi karena banyak jabatan pemerintahan yang lowong.
Dalam keadaan darurat pengisian lowongan jabatan segera dilakukan, meskipun tidak menurut prosedur administrative yang legal-rasional sebagaimana mestinya.
Satu hal yang cukup menarik adalah bahwa jabatan bupati di Brebes dan Tegal diisi dengan menunjuk pemuka agama yang berpengaruh di daerah masing-masing. Kyai Haji Syatori ditunjuk untuk menjabat Bupati Brebes. Sedangkan Kyai Abu Suja’I, pemuka agama yang berasal dari Desa Pacul, Tegal Selatan, ditunjuk menjadi Bupati Tegal.
Hanya di Pemalang jabatan Bupati dipegang oleh orang yang bukan pemuka agama yaitu Supangat, bekas mantra Klinik yang disinyalir berhaluan kiri.
Dalam situasi seperti ini hubungan antar daerah menjadi tegang dan putus. Hal ini diakibatkan oleh lenyapnya hubungan yang komunikatif antar daerah. Tiap daerah berusaha menjaga daerah masing-masing. Demikian pula hubungan dengan pemerintahan Karesidenan di Pekalongan juga menjadi putus dan penuh ketegangan. Lalu lintas terhambat, karena di tiap perbatasan Kabupaten, terutama antara Kabupaten Pekalongan dengan daerah yang sedang bergolak itu, terdapat penjagaan ketat. Penduduk masing-masing daerah mencurigai orang yang masuk daerah lain.
Satu-satunya cara untuk berhubungan dengan pusat ialah harus pergi ke Jakarta. Dua pemimpin Brebes, Kartohargo dan Maksum, mengunjungi kementrian sosial, meminta bantuan tentang bagaimana caranya menghentikan kekacauan di Kabupaten Brebes. Di sana mereka diberi saran agar menghadap kementrian dalam negeri. Mereka mendapat keterangan bahwa situasi Brebes hanya dapat dipecahkan oleh KNI setempat, karena pemerintah pusat belum mampu mengurusi situasi daerah.
Mereka diberi sepucuk surat agar menemui Gubernur Jawa Tengah di Semarang. Di kantor Gubernur di Semarang, Kartohargo dan Maksum diberitahu agar menunggu instruksi adari atas. Suatu jawaban untuk Kartohargo dan Maksum setelah mereka kembali ke Brebes adalah pengumuman politik dari pemerintah Jakarta, pengumuman yang dikeluarkan pada tanggal 27 oktober dan ditandatangani oleh Soekarno-Hatta, berisi tentang peringatan untuk rakyat agar tidak bertindak sendiri-sendiri, karena dapat menimbulkan anarki dan tumbangnya republik.
Pejabat dan penguasa yang bersalah akan diturunkan dari jabatannya. Tuntutan-tuntutan harus diajukan melalui pemerintah atau perantaraan Komite Nasional Daerah sebagai wakil rakyat sementara.
Tentunya pengumuman ini bertentangan denagan kenyataan bahwa di Tiga Daerah aparat daerah setempat telah tercemar, dan KNI-nya tidak mempunyai kekuasaan untuk memainkan peranan seperti yang diharapkan oleh pusat.
Adalah menarik bahwa dalam situasi yang kacau dan kosong akan kekuasaan itu, maka kedatangan Widarta dan K. Mijaya sebagai utusan pribadi Menteri Penerangan sangat penting. Rupanya para pemimpin perjuangan seperti Kartohargo, yang sadar atau tidak sadar akan identitas politiknya, sedang berjuang menghadapi kelompok-kelompok lain yang merupakan saingan dalam mencapai tujuan revolusi. Mereka membawa kuasa pemerintah pusat, yang berarti membawa instruksi dari atas yang sudah ditunggu-tunggu itu.
Instruksi tersebut adalah perintah untuk mewujudkan Badan Pekerja menggantikan KNI lama yang tidak berfungsi lagi. Badan pekerja itu merupakan hasil ide K.Mijaya, sedangkan pengaruh Widarta dapat dilihat dalam Front Persatuan yang dinamakan GBP3D. Rusuh di bulan pertama kemerekaan Indonesia yang dikobarkan oleh kaum kiri
Kisah Peran Kaum Kiri Dalam Rusuh Revolusi Tiga Daerah Di Awal Kemerdekaan yang Terlupakan
Munculnya Haluan Kiri dalam Revolusi Dalam konteks sejarah revolusi Indonesia, kehadiran haluan kiri selama berlangsungnya revolusi sosial di kabupaten Brebes, merupakan salah satu kekuatan politik yang penting, walaupun pengaruhnya tidak dapat diukur secara numerik.
Tujuan pasti dari para pemimpinnya pada masa revolusi fisik, pada pertamanya ialah untuk dapat memegang kekuasaan potik. Mereka menempatkan hal itu sebagai prioritas pertama di atas seasgalanya termasuk juga pembagian tanah.
Sejarah telah mencatat bahwa untuk sosialisme yang paling ampuh dan revolusioner adalah komunisme yang berupaya mempengaruhi dan mengatur gerakan-gerakan kemerdekaan. Kolonialisme yang kejam terahadap bangsa Indonesia, tealah melahirakan semangat anti kolonial di pelbagai daerah. Timbul pula iklim marginal dalam masyarakat, yang sewaktu-waktu dapat melahirkan pemberontakan.
Kombinasi antara ketidakpuasan sosial dan eksistensi pemimpin yang karismatik, merupakan landaasan kluat bagi banyaknya pemberontakan, khususnya yang bercorak "mesianik” (semacam gerakan Ratu Adil” yang banyak terjadi di Jawa dalam abad-abad ke-19 dan ke-20. Cabang-cabang sarekat Islam pun memperoleh kekuatan dari tatanan sosial semacam itu.
Cabang-cabang itu pula yang dijadikan ajang pertarungan sengit, dalam rangka menguasai sarekat Islam, antara para pemimpin muslimnya yang lebih ortodoks dan para anggota ISDV (Indische Social Democratic Vereniging), sebuah oraganisasi marxistis radikal yang didirikan pada tahun 1914, dan kemudian berubah menjadi PKI (Paratai Komunis Indonesia) pada tahun 1920.
pertarungan ini menyebabkan pecahnya Sarekat Islam pada tahun 1921, yang kemudian memungkinkan PKI untuk menguasai sebagian cabang Sarekat Islam.24 Sealain itu, PKI pun memunculkan gerakan di pelbagai daerah, yang semata-mata memanfaatkan matris ketidak puasan sosial yang memang tidak pernah hilang. Polisi koloniel Belanda bekerja ekstra keras untuk mengontrol aktifitas PKI, namun tidak mapu mencegah pecahnya pemberontakan PKI pada tahun 1926 dan 1927. pemberontakan itu pada awalnya direncanakan PKI untuk melawan kolonielisme Belanda, dan dalam hal ini harus dipandang sebagai bagian yang sah dari pergerakan kebangsaan sebagai dasar sikap anti kolonielisme.
Pemberontakan itu dapat segera ditumpas, dan PKI seperti juga sarikat Islam, menghilang dari pusat percaturn politik national. Khusus terhadap PKI, pemerintah Belanda tidak bertindak setengah-setengah, dan bahkan tidak sedikit pemimpin atau aktifis PKI diasingkan tampa ampun ke Digul di West New Guinea ( sekarang Irianjaya). Tetapi ditingkat daerah PKI tetap hidup, berkat kuatnya jaringan-jaringan organisasi buruh, sekolah-sekolah, dan kelompok jawara.
Namun mereka tidak menempatkan diri secara legal, tetapi bekerja melalui badan-badan yang legal seperti tidankanya dalam peristiwa tiga daerah. Dalam revolusi sosial, nama PKI tidak muncul, sehingga kegiatan itu seolah-olah merupakan tindakan perorangan yang mewakili gerakan nasionalisme. Ada empat alasan mengapa PKI memilih tindakan illegal. Pertama, penghancuran PKI oleh Belanda setelah 1926 menghantui PKI bawah tanah dan dijadikanya peristiwa itu sebagai pelajaran sejarah. Kedua, kebanyakan PKI bawah tanah di tiga daerah, tokohnya seperti Widarta, K. Mijaya, Sarjio, Muroso berasal dari luar daerah dan bukan orang setempat.
Ketiga, jika pra anggota PKI bawah tanah muncul sebagai pemimpin di tiga daerah, maka pagreh praja yang pro Belanda akan curiga karena kebanyakan pemimpin PKI adalah bekas buangan Digul keempat, terbatasnya kader PKI di tiga daerah, sehingga para kader inilah yang harus berusaha melaksanakan strategi Front persatuan dengan “nasionalisme Borjuis” melalui badan-badan yang ada sebagai sarana strateginya.
Oleh karena itu PKI bawah tanah di tiga daerah mengambil strategi secara illegal. Jika dirinci secara jelas, haluan kiri yang terlibat dalam peristiwa tiga daerah dapat disebut sebagai berikut. Kelompok pertama yang tergolong dalam haluan kiri di tiga daerah, yaitu Veteran pemberontakan komunis 1926 eks-Digulis, termasuk di dalamnya pemimpin barisan pelopor dan badan pekerja di Tegal dan Brebes, AMRI Slawi dan GBP3D. Mereka anti Fascisme Jepang dan tidak berkompromi dengan Belanda dan pengikutnya yaitu kalangan Feodal pangreh praja.
Ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, merka menggunakan kesempatan untuk merombak struktur pemerintahan yang lama kea rah yang lebih demokratis. Kelompok kedua, yaitu kelompok sosialis yang berpengaruh di Tegal dan Brebes. Mereka mengaktifkan KNI sebagai wakil pemerintah sesudah proklamasi dan berusaha mempengaruhi sikap pagreh praja kea rah yang lebih mendukung republik baru. Kelompok sosialis mempunya saluran ke tingkat nasional lewat dua tokoh yang berasaldari Tegal.
Yang pertama adalah Supeno, anggota partai sosialis dan badan pekerja komite nasional Indonesia pusat ( BPKNIP ) membela perkara tiga daerah di pengadilan Pekalongan pada awal 1947. tokoh kedua adalah Subagio Mangun Raharjo pemimpin PNI baru.29 Kelompok ketiga, di dalam haluan kiri yang menguasai GBP3D ialah PKI bawah tanah.
Dengan hanya sejumlah kader yang berdisiplin, meraka tidak ada pilihan lain kecuali ikut serta dengan golongan-golongan yang dianggap merupaka unsur-unsur progresif dengan menggunakan KNI yang ada untuk melaksanakan prioritas pertama mereka, yaitu demokratisasi pemerintahan lokal.
QPara bupati yang terpilih secara tidak sengaja di Brebes dan Tegal berguna sebagai garis penghubung dengan golongan Islam. Terutama di Brebes, didirikanya badan pekerja di tingkat kawedanan merupakan bukti suksesnya PKI dalam menjalankan strategi demokratisasi.
No comments:
Post a Comment