Shilah: Hanyut oleh Kekhusyuan Salat di Malam Pengantin
Kisah Tabiin Shilah bin Asyyam Al-AdwiIlustrasi/Ist
JIKA malam telah merata kegelapannya, orang-orang mulai merebahkan lambung di ranjangnya, Shilah bin Asyya, Al-Adwi bangun, memperbagus wudhu lalu berdiri di mihrabnya, memulai salat. Jiwanya memancarkan cahaya Ilahi yang menyinari bahisrahnya, diperlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan Allah di seluruh ufuk.
Dr. Abdurrahman Ra’at Basya dalam bukunya yang berjudul “Mereka adalah Para Tabi’in” melukiskan beliau amat gemar membaca Al-Qur’an di waktu fajar. Ketika malam memasuki sepertiga yang terakhir beliau tilawah Al-Qur’an hingga beberapa juz, dengan suara merdu dan perasaan haru.
Shilah bin Asyyam menunaikan ibadahnya itu secara tertib. Tak ada bedanya bagi beliau, baik ketika tinggal di kotanya atau saat berpergian, dalam waktu-waktu sibuk ataupun di saat senggang.
Ja’far bin Zaid menuturkan kisahnya, “Ketika kami keluar bersama pasukan kaum muslimin menuju kota Kabul dan berharap semoga Allah menganugerahkan kemenangan melalui tangan kami. Di antara pasukan tersebut terdapat pula Shilah bin Asyyam.
Ketika malam berangsur gelap sedang kami berada pada suatu jalan, pasukan berhenti untuk merasakan makanan yang mereka bawa dan menunaikan salat isya’. Setelah itu seluruh pasukan menuju ke tenda masing-masing untuk melepas lelah.
Saat itulah aku melihat Shilah bin Asyyam pergi ke tendanya seperti yang lain, lalu merebahkan diri seperti yang lain pula. Aku berkata dalam hati, “Mana bukti kemasyhuran salat dan ibadah orang ini, yang dikatakan sampai kakinya bengkak-bengkak itu? Demi Allah aku akan mengawasinya terus malam ini untuk membuktikannya.”
Terlihat seluruh pasukan telah tertidur, aku melihat Shilah bangkit lalu keluar dari perkemahan. Beliau menembus kegelapan yang pekat menuju hutan yang lebat pohonnya, rimbun daunnya, rumput-rumputnya tebal dan tajam pertanda sudah lama tidak dijarah manusia. Aku menguntitnya dari belakang.
Sampailah beliau di suatu tempat yang sunyi, beliau mencari arah kiblat, menghadap ke sana, bertakbir dan tenggelam dalam salatnya. Aku memperhatikannya dari jauh, kulihat cahaya memancar dari wajahnya, tenang seluruh anggota badannya, khusyu’ sepenuh jiwanya. Seakan tempat yang rawan menjadi taman yang nyaman, yang jauh terasa dekat dan kegelapan bagai cahaya yang terang benderang.
Beberapa saat beliau dalam keadaan seperti itu… tiba-tiba muncullah seekor singa dari arah hutan sebelah timur. Begitu menyadari apa yang aku lihat, rasa gentar dan panik menimpa hatiku, lalu aku memanjat sebuah pohon yang tinggi agar terhindar dari kebuasannya.
Singa itu mendekat ke arah Shilah bin Asyyam, sementara dia makin hanyut dalam salatnya. Hingga tinggal beberapa langkah lagi jarak singa darinya…demi Allah, sama sekali dia tidak menoleh kepadanya, tak menghiraukan kehadirannya. Begitu beliau sujud, aku bergumam, “Sekarang pasti dia diterkam.”
Lalu beliau bangkit dari sujudnya dan duduk, sementara singa itu masih terpaku di hadapannya, seakan memperhatikan gerak-geriknya. Usai salam, Ibnu Asyyam menoleh ke arah singa tersebut dengan tenang. Dari kedua bibirnya bergumam kata-kata yang tak dapat kudengar. Tiba-tiba saja singa itu berbalik, melangkah pelan menuju ke arah di mana ia datang.
Fajar mulai menyingsing, beliau tunaikan sekaligus salat fardhunya. Setelah itu mengucapkan syukur kepada Allah dengan puji-pujian yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Setelah itu beliau berdo’a, “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu, selamatkanlah aku dari api neraka. Namun patutkan hamba yang penuh dosa seperti aku ini minta dimasukkan ke dalam surga?” kata-kata ini diulang-ulang hingga bercucuran air matanya. Aku yang melihatnya turut menangis karenanya.
Setelah itu beliau kembali ke tengah pasukan tanpa diketahui seorangpun. Tampak di mata mereka seakan-akan dia baru tidur pulas di atas kasur. Aku turut kembali di belakangnya, membawa rasa kantuk karena begadang malam…tubuh lemas…ketakutan terhadap singa… hanya Allah yang tahu.
Mu’azhah Al-Adawiyah
Shilah bin Asyyam memiliki sepupu perempuan bernama Mu’azhah Al-Adawiyah. Beliau juga termasuk tabi’iyah seperti Shilah, karena sering bertemu dengan Aisyah dan menimba ilmu darinya. Dia juga bertemu Hasan Al-Bashri dan mendengarkan banyak hal darinya.
Mu’azhah adalah wanita bertakwa dan suci hatinya, tekun beribadah dan zuhud terhadap dunia. Sudah menjadi kebiasaan beliau, ketika malam tiba berkata, “Boleh jadi malam ini adalah malam terakhir bagiku” lalu beliau tidak tidur sampai fajar.
Jika siang hari beliau berkata, “Barangkali hari ini adalah hari terakhir bagiku.” Kemudian beliau memanfaatkan hari itu untuk beramal shalih, sedangkan waktu malam yang sunyi digunakannya untuk melakukan salat dan taqarrub kepada Allah.
Bila rasa kantuk mendatanginya, beliau berusaha berdiri dan berjalan mondar-mandir di rumahnya seraya bersyair:
Di depanmu wahai jiwa, ada masa tidur yang panjang.
Kelak akan berbaring di kuburan
Mungkin dalam kesengsaraan atau dalam keberuntungan
Maka pilihlah hari ini wahai Mu’azhah,
Apa yang engkau pilih untuk esok.
Menikah
Dengan sifat zuhudnya terhadap dunia dan ketekunannya dalam beribadah, Shilah bin Asyyam tidak berarti meninggalkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikah. Beliau menikah dengan Mu’azhah Al-Adawiyah.
Pada malam pernikahan, keponakannya membawa beliau ke pemandian panas, lalu memasukkan dia ke rumah yang bagus dan wangi. Ketika dua mempelai telah bersama, Shilah salat sunnah dua raka’at sedangkan Mu’azhah bermakmum di belakangnya. Hanyut oleh kekhusyuan salat, keduanya salat hingga menjelang fajar.
Keesokan harinya putra pamannya datang seraya berkata, “Wahai putra pamanku, engkau telah mendapatkan hadiah putri pamanmu, tapi engkau tinggalkan dia, engkau salat semalam suntuk.”
Beliau menjawab, “Engkau mengajakku masuk ke tempat yang membuatku ingat neraka. Setelah itu engkau mengajakku ke ruangan yang membuatku ingat surga. Maka pikiranku terbelah dua hingga pagi.”
Keponakannya bertanya, “Tempat manakah yang Anda maksudkan wahai pamanku?” beliau berkata, “Kemarin engkau bawa aku ke pemandian panas, maka aku ingat akan panasnya jahannam. Kemudian engkau masukkan aku ke kamar pengantin, maka aku ingat akan wewangian surga…”
Syahid
Shilah bin Asyyam bukan sekadar seorang ahli ibadah, banyak taubat dan zuhud, tetapi juga seorang mujahid dan pahlawan yang tangkas dan tangguh. Setiap pemimpin mengharapkan dia bergabung dalam pasukannya. Masing-masing ingin memetik keutamaan dari tekad dan keberaniannya.
Ja’far bin Zaid menuturkan kisahnya, “Kami berangkat dalam sebuah peperangan, sementara Shilah bin Asyyam dan Hisyam bin Amir berada dalam regu kami. Begitu berhadapan dengan pasukan musuh, Shilah dan temannya itu langsung menerjang dan masuk di tengah-tengah mereka. Membabatkan pedang ke kanan dan ke kiri dengan tangkas hingga musuh kocar-kacir.Para pemimpin musuh berkata satu sama lain, “Dua muslim saja cukup memporak-porandakan kita, bagaimana jadinya jika semua terjun dalam kancah perang? Maka menyerahlah kepada mereka dan tunduklah kepada mereka.”
Tahun 76 Hijriyah, Shilah bin Asyyam turut serta dalam pasukan muslimin yang bergerak menuju daerah seberang sungai (Turkistan) disertai oleh putranya. Tatkala dua pasukan telah berhadapan dan perang telah berkobar, Shilah berkata kepada putranya, “Wahai putraku, majulah dahulu dan gempurlah musuh-musuh Allah itu agar aku bisa mengorbankan dirimu kepada-Nya demi ridha-Nya dan tidak hilang segala titipan-Nya.”
Maka bersegeralah pemuda tersebut terjun ke medan perang bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Dia terus berperang hingga akhirnya tersungkur syahid. Kemudian ayahnya menyusul memasuki kancah peperangan dan berjuang hingga syahid di sisi putranya.
Begitu berita gugurnya bapak dan anak itu sampai di Bashrah, para wanita mendatangi Mu’azhah Al-Adawiyah untuk berbelasungkawa. Namun Mu’azhah berkata, “Bila kalian kemari untuk mengucapkan selamat, maka aku sambut kedatangan kalian, namun jika kalian datang untuk yang lain (berbelasungkawa), maka sebaiknya kalian kembali, semoga Allah membalas kebaikan kalian.”
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment