Kepala Tarekat Naqsyabandiyah Menyebut Dirinya Anjing
MAULANA Darwis, kepala Tarekat Naqsyabandiyah dan salah seorang guru besarnya, suatu hari duduk di Zawiah-nya ketika seorang pendet yang marah, menyerobot masuk.
"Kau duduk di sana," teriaknya, "Anjing kau ini, dikelilingi murid, ditaati mereka dalam setiap keterangan! Aku di lain pihak, memanggil orang untuk mengusahakan pengampunan-Nya, melalui doa dan kecermatan, sebagaimana diperintahkan kepada kami."
Pada kata "anjing", beberapa Pencari bangkit untuk mengusir pendeta tersebut.
"Tenanglah," ujar Maulana, "karena 'anjing' sebenarnya kata-kata yang baik. Aku anjing, yang taat pada majikannya, menuntun domba dengan isyarat, penjelasan tentang keinginan Majikan kita. Seperti seekor anjing, aku, marah pada penyelundup dan pencuri. Dan aku mengibaskan ekorku dengan senang ketika teman Majikanku mendekat."
"Menggonggong, mengibas dan mencintai adalah sikap seekor anjing, kita melatih mereka; karena Majikan memiliki kita, dan tidak menggonggong serta mengibas dengan sendirinya."
MENGHARGAI PEMIKIRAN
Sadik Hamzawi ditanya: "Bagaimana engkau dapat berhasil, atas keinginannya, guru dari Samarkand, kalau engkau dahulu cuma seorang pelayan di rumah ini?"
Katanya, "Ia mengajariku apa yang ingin ia ajarkan, dan aku mempelajarinya. Ia pernah berkata, 'Aku tidak dapat mengajar yang lainnya, murid-murid, pada tingkat yang sama, karena mereka ingin bertanya, mereka menuntut pertemuan, mereka menentukan kerangka kerja, oleh karena itu mereka mengajari diri sendiri, apa yang sudah mereka ketahui.'
Aku bertanya padanya, 'Ajari aku apa yang engkau bisa, dan katakan padaku bagaimana mempelajarinya,' begitulah, bagaimana aku menjadi penerusnya. Orang-orang menghargai suatu pemikiran bagaimana mengajar serta belajar ditempatkan. Mereka tidak dapat memiliki gagasan sekaligus pelajaran."
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment