Osman Ghazi, Sang Pendiri Utsmaniyah
HASANUL RIZQA
Lebih dari enam abad lamanya Turki Utsmaniyah menjadi sebuah kerajaan besar. Kekuasaannya membentang dari pesisir Afrika Utara, Mesir, Yerusalem, Suriah, Irak, Siprus, Anatolia, hingga Semenanjung Balkan.
Sejak mengalahkan Dinasti Mamluk pada 1517, kerajaan tersebut berhak menyandang titel kekhalifahan karena menguasai Makkah dan Madinah. Dengan keseluruhan wilayahnya yang begitu luas, kedaulatan Islam itu tampil sebagai sebuah negara adidaya yang berkarakteristik majemuk, mempertemukan antara dunia Timur (Asia-Afrika) dan Barat (Eropa).
Figur di balik terbentuknya Turki Utsmaniyah adalah Osman I atau Osman Ghazi. Berbagai manuskrip Arab, seperti yang ditulis Shihab al-Umari dan Ibnu Khaldun, memakai ejaan “Uthman”, alih-alih “Ustman” untuk merujuk pada namanya. Hal itu menunjukkan nama aslinya bukanlah berasal dari bahasa Arab, melainkan Turki. Beberapa sejarawan kontemporer menduga sang pendiri Turki Utsmaniyah itu lahir dengan nama Atman atau Atouman.
Ibnu Battuta yang sempat mengunjungi negeri tersebut pada era kepemimpinan Orhan Ghazi menyebut Osman Ghazi sebagai Osman-cik. Imbuhan “-cik” berasal dari kucuk dalam bahasa Turki yang bermakna 'kecil'. Pengelana asal Tangier, Maroko, itu bermaksud membedakan sosok tersebut dari sang “Utsman Besar”, yakni Khalifah Utsman bin Affan.
Sumber-sumber sejarah yang berasal dari masa awal berdirinya Kesultanan Utsmaniyah, sekitar tahun 1299, sangat langka atau bahkan tidak ada sama sekali. Sejarawan Colin Imber dalam “The Legend of Osman Gazi” mengatakan, ketiadaan sumber tersebut ibaratnya sebuah lubang hitam (black hole/) bagi para peneliti. Begitu pula dengan catatan historis mengenai Osman Ghazi.
Kalangan akademisi kontemporer cenderung mengandalkan sumber-sumber dari otoritas Turki Utsmaniyah yang muncul sejak abad ke-15 atau lebih dari 100 tahun sejak kematian Osman Ghazi. Umumnya sejarawan sepakat, tanggal dan tempat kelahiran sang peletak dasar Dinasti Utsmaniyah itu tidak diketahui.
Yang jelas, menurut hikayat-hikayat lokal, ia berasal dari klan Kayi sehingga masih keturunan suku bangsa Turki Oghuz. Keluarganya tergolong ningrat. Ayahnya ialah Urthughril atau Ertugrul, sementara kakeknya bernama Suleiman Shah.
Setelah membantu kemenangan pasukan Seljuk dalam melawan Romawi Timur (Bizantium), Ertugrul diberi hadiah berupa kawasan lahan yang luas di Sogut—sekitar 200 kilometer arah selatan Konstantinopel (Istanbul). Di sanalah bapak Osman Ghazi itu, sebagai pemimpin kabilahnya, memulai kehidupan baru pasca-hijrah dari Anatolia barat akibat serbuan bangsa Mongol. Sesudah Ertugrul wafat pada 1280, sang putra tampil meneruskan kepemimpinannya sebagai kepala suku yang berdaulat di bawah Seljuk (bey).
Pada akhir abad ke-13, Anatolia atau wilayah Republik Turki modern diwarnai berbagai letupan konflik antarnegeri Turki-Muslim pecahan Kesultanan Seljuk. Kerajaan besar tersebut runtuh pada 1200-an dan terbagi-bagi ke dalam banyak wilayah independen setelah tak mampu mengatasi serbuan bangsa Mongol.
Alih-alih larut dalam perebutan kekuasaan dengan sesama bangsa Turki, Osman Ghazi cenderung berfokus pada misi-misi militer untuk menghalau pasukan Kristen. Dalam waktu beberapa tahun, Sogut masyhur baik di kalangan musuh maupun suku-suku Turki sebagai negara-kota yang tangguh.
Osman menerapkan strategi perluasan wilayah untuk memukul mundur kekuatan Bizantium. Reputasinya semakin bersinar sejak berhasil merebut Phrygia, dekat Kota Eskisehir, dari tangan kerajaan Kristen tersebut.
Osman menerapkan strategi perluasan wilayah untuk memukul mundur kekuatan Bizantium.
Selanjutnya, pasukan Osman dapat membebaskan dataran yang subur di Bithynia. Untuk mencapai kemenangan, cucu Suleiman Shah itu tidak selalu melalui jalan pertempuran. Adakalanya, ia mengadakan perjanjian damai dengan kelompok-kelompok nigrat lokal Bizantium untuk saling bekerja sama serta hidup berdampingan dan setara.
Mimpi Osman
Caroline Finkel dalam Osman's Dream: The History of the Ottoman Empire (2007) menjelaskan, Osman menjalin persahabatan dengan seorang sufi bernama Syekh Edebali. Bahkan, ia akhirnya memperistri seorang putri salik tersebut yang bernama Malhun.
Dalam hikayat karya penulis Turki abad ke-15 Asikpasazade, dikisahkan bahwa pada suatu hari Osman bermalam di rumah Syekh Edebali. Dalam tidurnya, ia bermimpi melihat cahaya rembulan terbit dari dada sang darwis.
Sekonyong-konyong, sinar putih terang itu meresap ke dalam dadanya sendiri. Sebuah pohon kemudian tumbuh dari tubuhnya dan bayangannya meliputi seluruh penjuru bumi. Di bawah naungan keteduhannya, pegunungan berdiri tegak. Sungai-sungai mengalir dari tiap punggung gunung tersebut. Banyak orang mengambil minum dari aliran airnya. Sebagian lain menggunakan air sungai itu untuk menyirami taman-taman serta mengaliri banyak kolam pancuran.
Begitu terjaga dari tidur, Osman menuturkan mimpinya tadi kepada Syekh Edebali. Sufi yang saleh itu berkata, “Osman, anakku, selamat! Allah akan menganugerahimu sebuah kerajaan besar, yang akan engkau warisi bersama anak keturunanmu.”
Finkel mengatakan, cerita tentang mimpi Osman Ghazi itu menjadi mitos yang melatari pendirian Kesultanan Turki Utsmaniyah. Bahkan, hikayat tersebut seolah-olah melegitimasi anggapan bahwa kekuasaan yang dipegang Osman dan keturunannya merupakan pemberian Allah. Karena kekuasaan adalah titipan dari-Nya, mereka pun harus selalu berupaya untuk menjadi pemimpin yang adil kepada rakyat dan membela kepentingan Islam.
Cerita tentang mimpi Osman Ghazi itu menjadi mitos yang melatari pendirian Kesultanan Turki Utsmaniyah.
Asikpasazade memuat kisah tersebut dalam bukunya, Menakıb-i Ali-i Osman dan Tevarih-i Al-i Osman. Keduanya secara garis besar menjelaskan riwayat Turki Utsmaniyah antara tahun 1298 dan 1472.
Dengan demikian, penerbitan karya tersebut berkaitan dengan konteks sosial-politik kerajaan pada masa itu. Tambahan pula, pasukan Muslim di bawah komando Sultan Mehmed II al-Fatih berhasil merebut Konstantinopel pada 29 Mei 1453. Maka dapat dikatakan, narasi tentang legitimasi Osman digubah berkenaan dengan puncak kejayaan Turki Utsmaniyah yang terjadi pada abad ke-15, bukan terutama sebagai upaya dalam mengelaborasi sejelas-jelasnya sejarah pendirian negeri tersebut.
Apalagi, sejak 1517 kerajaan itu berhasil menguasai Makkah dan Madinah. Cerita-cerita seperti yang dituturkan Asikpasazade dapat menjadi pembenaran bahwa sultan Turki kala itu berhak menyandang titel khalifah sekalipun tidak berdarah Quraisy (Arab).
Melawan Dominasi Romawi
Sumber-sumber dari kalangan sejarawan Bizantium, seperti Nikephoros Gregoras (1295-1359) atau George Pachymeres (1242-1310), menyinggung berbagai ekspedisi militer yang dijalankan Osman Ghazi. Sebagai contoh, kemenangan pemimpin Turki itu pada 1301 dalam pertempuran di Bapheus, sebuah distrik sekitar Ismit atau Nikomedia, kira-kira 100 kilometer arah tenggara Konstantinopel.
Keduanya sepakat, keberhasilan Osman merupakan petanda awal dari “masalah besar” bagi kedaulatan Bizantium di kemudian hari.
Mereka juga menuturkan kesuksesan Osman dalam menghalau balatentara Kaisar Bizantium Andronikos II Palaiologos. Pasukan Muslim berhasil merebut benteng-benteng Romawi Timur dalam sebuan pada malam hari.
Secara khusus, Pachymeres menceritakan bagaimana pemimpin Turki itu merebut Bilecik dan menjadikan kota tersebut sebagai pusat penyimpanan harta benda kabilahnya. Selain Bilecik, Muslimin Turki juga dapat menduduki Indegol, Yenisehir, Anagourdia, dan Platanea. Berdasarkan keterangannya, dapat dipastikan bahwa hingga 1308 Osman menguasai wilayah dekat pesisir timur Laut Marmara, berbatasan hingga Bursa, Iznik (Nicaea), dan Danau Sapanca.
Ekspedisi militer terakhir yang dikomandoi Osman ialah pengepungan terhadap Kota Bursa. Ia memang tidak memimpin langsung pasukannya di lapangan. Bahkan, dirinya terlebih dahulu berpulang ke rahmatullah dua tahun sebelum kemenangan Turki dalam misi tersebut.
Bagaimanapun, keberhasilan itu sangat ditentukan oleh penerapan strateginya yang jitu. Balatentara Bizantium dibuat tak berdaya. Mereka terpaksa menyerahkan kota tersebut kepada sang penguasa Turki pada 1326. Kaisar Bizantium di Konstantinopel sangat terkejut dengan kekalahan pasukan Kristen.
Semasa hidupnya, Osman menikah dengan dua orang istri, yakni Maihun Hatun dan Rabia Bala Hatun. Yang pertama adalah putri seorang kepala suku Turki Seljuk, Omer Abdulaziz Bey. Adapun yang kedua merupakan anak perempuan Syekh Edebali. Dari keenam putra Osman, hanya dua yang hidup hingga masa dewasa, yaitu Alauddin Pasha dan Orhan Ghazi.
Berbeda dengan saudaranya, Alauddin cenderung menyibukkan diri pada pencarian ilmu pengetahuan, alih-alih ikut berlaga di medan perang. Anak Rabia Bala Hatun itu memiliki pribadi yang tenang, bijaksana, dan agak pasif bila membicarakan tentang strategi pertempuran.
Sementara itu, Orhan seakan-akan mewarisi bakat militer ayahnya. Buah hati Maihun Hatun itu akhirnya dilantik sebagai pemimpin baru pascawafatnya Osman Ghazi pada 1324. Jenazah sang pendiri Dinasti Utsmaniyah dimakamkan di Bursa.
Pelantikan Orhan Ghazi mengawali tradisi “Pedang Osman” hingga ratusan tahun berikutnya. Pedang tersebut merupakan pemberian mertua Osman Ghazi sekaligus guru spiritualnya, Syekh Edebali.
Senjata itu menyimbolkan amanah kekuasaan dari Allah SWT atas diri sang sultan beserta anak cucu dan keturunannya kelak. Hingga Turki menjadi sebuah kekhalifahan pada abad ke-16, tradisi tersebut terus dijalankan setiap upacara pengangkatan seorang sultan baru.
Begitu diangkat menjadi sultan, Orhan meminta saudaranya, Alauddin, untuk menjabat sebagai perdana menteri (vezir). Keduanya lantas menakhodai wangsa Utsmaniyah untuk terus mengonsolidasi dan menyatukan seluruh suku-suku Turki di Anatolia.
Keduanya lantas menakhodai wangsa Utsmaniyah untuk terus mengonsolidasi dan menyatukan seluruh suku-suku Turki di Anatolia.
Para sejarawan modern umumnya sepakat, sejak masa itu Utsmaniyah sudah betul-betul lepas dari pengaruh Kerajaan Seljuk, termasuk Kesultanan Rum sebagai pecahan terbesar dari kerajaan yang pernah berjaya pada rentang tahun 1037-1194 M itu.
Pada 1345, era kepemimpinan Orhan mencapai kegemilangannya. Turki Utsmaniyah menguasai nyaris seluruh pesisir Laut Marmara—perkecualian hanya pada Konstantinopel dan sekitarnya. Hal itu tentunya membuat para petinggi Bizantium semakin waswas.
Apalagi, sebelumnya pada 1331 Nicaea jatuh ke tangan bangsa Muslim tersebut. Berturut-turut, sang penerus Osman Ghazi itu juga berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Semenanjung Gallipoli, Balikesir, Bergama, Bolu, dan Ankara.
Antara tahun 1341 dan 1347, Bizantium dilanda kekacauan luar biasa akibat perang saudara. Menjelang akhir konflik internal itu, jenderal John VI Kantakouzenos naik takhta sebagai kaisar baru.
Untuk mengamankan wilayahnya dari disintegrasi, raja Kristen itu pun menjalin hubungan diplomatik dengan Utsmaniyah. Bahkan, ia mengawinkan seorang putrinya, Theodora, dengan Orhan Ghazi pada Januari 1346.
Melemahnya imperium Kristen itu lebih disebabkan gejolak dalam negerinya, alih-alih gempuran dari luar. Utsmaniyah memanfaatkan momentum tersebut demi meneguhkan kekuasaan di daratan Eropa. Inilah langkah awal sebelum akhirnya jantung kekuasaan Bizantium, Konstantinopel, jatuh ke tangan Islam pada 29 Mei 1453, sebagaimana telah dinubuatkan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis beliau yang masyhur.
Saat usianya sudah sepuh, Orhan lebih sering menghabiskan waktu dengan beribadah di istananya di Bursa. Setelah lebih dari 35 tahun berkuasa, ia akhirnya wafat pada 21 Mei 1361. Anak keduanya, Murad, kemudian naik takhta sebagai penerus kepemimpinan.
No comments:
Post a Comment