Teringat Nasib Tragis Masyumi
Pegiat sejarah dari komunitas Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) Beggy Rizkiyansyah menceritakan kisah pedih itu pada bukunya yang berjudul 'Kata Sebagai Senjata'.
Dalam tulisan itu dia mengisahkan dengan menelusuri berbagai arsip dan dokumen suasana negara yang kala itu sangat tegang. Terjadi persaingan politik yang panas untuk memperbutkan pengaruh di kekuasaan. Pertarungan kala itu klasik yakni antara kubu prokomunis dan anti komunis.
Masyumi selaku partai kedua pemenang pemilu 1955 yang paling mendapat deraan. Pertarungan antara Masyumi selaku kubu utama anti komunis dan PKI ini seolah tak berujung.
- Keterangan foto: Kampanye Masyumi pada ajang Pemilu 1955.
Di antara butir-butir Penpres tersebut adalah, pertama, tuntutan bagi partai untuk mencantumkan dengan tegas bahwa organisasi tersebut menerima dan mempertahankan UUD Negara RI yang memuat dasar-dasar negara serta Manifesto Politik Presiden 17 Agustus 1959.
Kedua, organisasi-organisasi lain yang mendukung dan/atau bernaung di bawah partainya tersebut , dicantumkan dalam anggaran dasar. Ketiga, partai dituntut untuk menggunakan jalan-jalan demokratis dan damai dalam memperjuangkan tujuannya.
Keempat, mempunyai cabang-cabang yang tersebar paling sedikit di seperempat jumlah daerah tingkat I di seluruh wilayah Indonesia.
Satu poin penting tampak sekali diarahkan kepada kubu utama anti komunis yakni Masyumi dan PSI, yaitu terdapat pasal 9 dari Pepres itu. Aturannya begini: Presiden, setelah mendengar pendapat Mahkamah Agung, dapat melarang atau membubarkan partai yang “sedang melakukan pemberontakan-pemberontakan atau jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu.”
- Keterangan foto: Ketua Umum Masyumi, M Natsir berpidato di tengah massa.
Sembilan hari kemudian, pada 21 Juli 1960, Presiden Soekarno memanggil pemimpin-pemimpin Masyumi dan PSI. Selama pertemuan 10 menit tersebut, Soekarno didampingi para pejabat negara seperti Jaksa Agung, Kepala Polisi, Direktur Kabinet Presiden, Kepala Staf Komando perang Tertinggi dan lainnya.
Pihak Masyumi sendiri diwakili oleh Prawoto Mangkusasmito dan Yunan Nasution, sedangkan PSI di wakili Sutan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, dan T.A. Murad. Mereka diserahi setumpuk daftar pertanyaan yang harus dijawab.
Beberapa pertanyaan yang termuat, pertama, menanyakan apakah Masyumi menentang dasar dan tujuan negara?
Kedua, apakah Masyumi hendak mengubah dasar dan tujuan negara? Masyumi dengan tegas menyangkalnya. Masyumi menolak disebut bertentangan dengan azas dan tujuan negara, karena Tujuan Masyumi adalah “Terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang , masyarakat dan Negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi.”
Tujuan tersebut menurut Masyumi sesuai dengan asas negara yaitu pembukaan UUD 1945 yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Masyumi juga menolak disebut berusaha merombak azas dan tujuan negara karena hal tersebut bertentangan dengan azas Masyumi sesuai tafsir azas partai yang disahkan pada tahun 1952.
Ketiga, terkait keterlibatan dengan PRRI, Masyumi menjawab bahwa sejak Penpres tersebut mulai berlaku 31 Desember 1959, para pemimpin Masyumi yang terlibat dengan PRRI telah memisahkan diri atau keluar dari Masyumi. Tak seorang pun para pemimpin partai yang dipilih sejak kongres pada bulan April 1959 terlibat dengan PRRI.
Partai Masyumi juga pada 17 Februari 1958 telah mengeluarkan pernyataan bahwa pembentukan PRRI, Kabinet Karya dan Dewan Nasional adalah inkonstitusional. Semua jawaban ini diserahkan Masyumi seminggu kemudian pada 28 Juli 1960. Soekarno yang bertemu dengan wakil partai selama tujuh menit tersebut hanya mengatakan akan mempelajari jawaban yang diberikan. Putusan itu akhirnya tiba. Apapun jawaban Partai Masyumi tampaknya tak berpengaruh pada pemerintah. Meski Masyumi secara yuridis berdiri di atas landasan yang kokoh, namun Soekarno tetap membubarkan partai Masyumi. Ini karena dianggap terlibat pemberontakan dengan mengeluarkan kepres nomor 200 pada tanggal 17 Agustus 1960.
“Paduka Yang Mulia Presiden telah berkenan memerintahkan kepada kami” untuk menyampaikan keputusan Presiden (No.200/1960) bahwa Partai Masyumi harus dibubarkan. Dalam 30 hari sesudah tanggal keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960, pimpinan partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar. Pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Jika tidak, maka partai Masyumi akan diumumkan sebagai “Partai Terlarang.”
Namun gugatan ini tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Dan memang dalam hal ini menjadi menarik mengetahui sebab Prawoto dan Yunan Nasution memilih membubarkan partai tersebut, alih-alih dibubarkan oleh pemerintah.
Jawaban dari soal itu kemudian menjadi jelas. Sikap atau pilihan membubarkan diri dilakukan karena menurut pemikiran para tokoh Masyumi, dengan membubarkan diri maka Partai Masyumi bukanlah partai terlarang dan dapat menghindarkan anggotanya dari kemungkinan berstatus anggota partai terlarang beserta bahayanya.
Tapi lagi-lagi, keputusan membubarkan diri dari pada dijadikan partai terlarang oleh rejim Soekarno tak berarti apa-apa, bahkan terasa naif. Sikap para tokoh Masyumi yang selalu bersandar pada hukum nyatanya tak sejalan dengan rezim Soekarno yang bertindak berdiri mengangkangi hukum.
Akibatnya, keadilan bukan lagi suatu hal yang dapat diharapkan bagi mereka. Keadilan kala itu bagi Masyumi adalah sebuah barang mewah.
Apalagi pada saat yang sama rezim Soekarno mulai menunjukkan praktik-praktik otoriternya. Kekuasaanya yang dijalankanya bukan saja merenggut hak berpolitik para oposisi, namun juga merenggut kebebasan orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah pada saat itu.
No comments:
Post a Comment