Ath-Thabari, Alim dari Thabaristan
Para ulama memuji kecerdasan dan kecintaan sang mufasir terhadap ilmu agama.
OLEH HASANUL RIZQA
Perkembangan ilmu tafsir mulai pesat sejak abad ketiga Hijriyah. Seorang perintisnya bernama Ibnu Jarir ath-Thabari. Karya ulama kelahiran Thabaristan, Iran utara, itu hingga kini terus dikaji.
Ath-Thabari, Hidup dan Karyanya
Peradaban Islam mencapai fase keemasan tatkala Bani Abbasiyah mengambil peran kekhalifahan. Keadaan itu berlangsung setidaknya sejak medio abad kedua hingga pertengahan abad ketiga Hijriyah. Dalam rentang masa itu, Baghdad menjadi pusat keunggulan dunia. Di sanalah berkumpul para cendekiawan, ilmuwan, dan teknokrat yang terkemuka dari pelbagai penjuru bumi.
Dengan dukungan khalifah, mereka melakukan banyak aktivitas intelektual, seperti berdiskusi, penelitian, hingga penerjemahan teks-teks asing ke dalam bahasa Arab. Saat Harun al-Rasyid berkuasa, Perpustakaan Bait al-Hikmah menjadi sentra kegiatan kaum terpelajar itu. Bukan hanya sains dan pengetahuan umum, ilmu-ilmu keislaman pun tentunya marak dikaji oleh sebagian mereka.
Salah satu disiplin keilmuan agama yang berkembang pesat pada masa itu ialah tafsir Alquran. Membicarakan perihal perkembangannya itu tidak mungkin dilakukan tanpa menyertakan sejarah kehidupan Ibnu Jarir ath-Thabari. Sebab, dia berkontribusi besar, terutama dalam mendukung corak tafsir bil ma’tsur. Bahkan hingga kini, kitab tafsir yang disusunnya masih menjadi rujukan umat.
Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari. Panggilan kehormatannya adalah Abu Ja’far. Sebutan itu tidak bisa dimaknai secara harfiah, yakni ‘ayahnya Ja’far'. Sebab, ulama itu tidak pernah menikah hingga masa akhir hidupnya.
Ulama yang lahir pada tahun 224 Hijriyah itu berasal dari Amil, Thabaristan. Kampung halamannya itu terletak di Persia bagian utara, berbatasan langsung dengan Laut Kaspia. Karena itulah, dia populer dengan sebutan ath-Thabari, ‘tokoh dari Negeri Thabaristan'.
Baghdad menjadi kota tujuannya rihlah pada saat usianya masih belia. Memang, ia mengadakan perjalanan intelektual ke berbagai daerah di daulah Islam, semisal Ray, Syam, Hijaz, dan Mesir. Bagaimanapun, dirinya kemudian memilih Kota Seribu Satu Malam sebagai tempatnya bermukim hingga tutup usia.
Syekh Muhammad Sa’id Mursi dalam buku Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah menggambarkan sosok ath-Thabari sebagai berikut. Sang mufasir memiliki warna kulit yang kecokelatan. Badannya tegap dan tinggi. Kedua matanya lebar.
Dalam buku Profil Para Mufasir Alquran, Saiful Amin Ghofur mendeskripsikan ulama terkemuka itu sebagai sosok yang rapi dan bersih dalam berpenampilan. Tidak hanya selalu menjaga kesehatan, ath-Thabari juga sangat disiplin dalam menjalani rutinitas.
Sepanjang hidupnya, ath-Thabari memilih hidup secara zuhud. Ia sedikit pun tak terlena pada kenikmatan dunia. Sikap ini dibuktikan dengan menolak tawaran jabatan penting di pemerintahan walaupun imbalan harta yang bisa diperolehnya dari penguasa amat besar.
Ia hidup pada akhir masa keemasan Islam, yakni era pemerintahan Daulah Abbasiyah (750-1242 M) yang berpusat di Baghdad. Ketika ath-Thabari lahir, yang menjadi penguasa Kekhalifahan saat itu adalah al-Wasiq Billah.
Akan tetapi, pengaruh faksi-faksi militer Turki cukup besar di lingkungan istana. Jadilah sosok khalifah cenderung menjabat secara simbolis saja. Sebab, kekuasaan secara praktis dimiliki oleh pihak-pihak militer yang “mengangkat” mereka.
Jika ditelusuri, selama hidupnya ath-Thabari mengalami 10 kali pergantian khalifah Abbasiyah. Yakni, hingga al-Muqtadir, yang menjadi khalifah Abbasiyah ke-18.
Terus belajar
Semasa hidupnya, ath-Thabari dikenal sebagai seorang yang haus akan ilmu pengetahuan. Ia memang memilih membujang hingga akhir hayatnya. Karena itu, ia memiliki kesempatan yang sangat luas untuk mencari ilmu.
Ia berkeliling negeri-negeri Islam untuk mencari ilmu. Sendirian tanpa seorang pun teman-hidup menyertainya. Wajar kiranya apabila dia sanggup menguasai berbagai disiplin ilmu. Tidak hanya tafsir Alquran, tetapi juga fikih, sejarah, hadis, bahasa, dan sastra.
Mengenai kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, ath-Thabari berkata, “Dahulu ayahku dalam tidurnya melihat Rasulullah SAW dan diriku membawa sekeranjang batu sedang bersama beliau. Dalam tidurnya, ayahku seolah-olah melihatku sedang melempar batu di hadapan Rasulullah SAW.”
Lantas, bapaknya mendatangi seorang ahli takwil mimpi. Penafsir mimpi itu berkata kepada sang ayah, “Sesungguhnya anak ini (ath-Thabari) kelak jika dewasa akan memelihara syariatnya.” Dari mimpi itulah akhirnya ath-Thabari sejak muda disokong untuk mencari ilmu. Padahal, waktu itu dia baru menginjak usia kanak-kanak.
Semangatnya untuk terus belajar menjadikannya tidak kenal kata lelah. Dalam arti, jarak dan kekurangan bekal bukanlah penghalang. Terlebih lagi, Allah SWT menganugerahkan kepadanya kemampuan kognitif di atas rata-rata.
Berkata ath-Thabari mengenai masa kecilnya, “Aku sudah hafal Alquran ketika umurku tujuh tahun, dan shalat memimpin (menjadi imam bagi) orang banyak ketika berumur delapan tahun, dan kemudian mulai mencatat hadis ketika usiaku sembilan tahun.”
Hal lain yang menunjukkan kepandaiannya adalah cerita tentang bagaimana tokoh tersebut dapat menguasai ilmu syair Arab (’arudh) hanya dalam tempo satu malam.
Ath-Thabari menuturkan, “Tatkala aku tiba di Mesir, tidak tersisa seorang ahli ilmu pun kecuali mereka menemuiku untuk mengujikan apa yang telah dikuasainya. Pada suatu hari, datang kepadaku seorang lelaki bertanya tentang sebagian tertentu dari ilmu ‘arudh yang aku sendiri belum mengetahui tentang ilmu itu.
Akhirnya, aku katakan kepadanya, ‘Aku tidak bisa bicara karena hari ini tidak akan membicarakan masalah ‘arudh sedikit pun. Maka datanglah besok dan temui saja aku.’ Kemudian, aku meminjam sebuah kitab ‘arudh karya Khalil Ahmad dari seseorang. Malam itu, aku pelajari kitab tersebut dan pagi harinya aku telah menjadi seorang ahli ‘arudh.”
Mengenai kecerdasan yang dimiliki Imam ath-Thabari itu Ibnu Atsir berkata, “Abu Ja’far orang yang paling tsiqat (terpercaya) dalam mengungkap sejarah. Di dalam tafsirnya sarat dengan ilmu dan legalitasnya.”
Sementara Imam adz-Dzahabi berkata, Dia orang yang hafiz, jujur, imamnya para mufasir, fuqaha, baik ketika mufakat maupun ikhtilaf, pakar sejarah dan mengetahui qira’at serta ilmu tata bahasa.”
Maka begitu menapaki usia akil baligh, tidak ada fokus yang diambil ath-Thabari kecuali untuk menempuh perjalanan intelektual. Muhammad az-Zuhaili dalam sebuah biografi tentangnya berkata, “Berdasarkan riwayat-riwayat yang dapat dipercaya, sesungguhnya semua waktu Abu Ja’far ath-Thabari telah dikhususkan untuk ilmu dan mencari ilmu.
Ia bersusah payah menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu sampai masa mudanya dihabiskan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia tidak tinggal menetap kecuali setelah usianya mencapai antara 35-40 tahun.”
Karena kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, seluruh harta benda miliknya ia habiskan untuk menempuh perjalanan jauh dalam musafir menimba ilmu, menyalin dan membeli kitab. Untuk membiayai semua perjalanannya, pada awalnya ath-Thabari bertumpu pada harta milik ayahnya.
Sesudah bapaknya itu berpulang ke rahmatullah, dia sempat mengalami kesulitan finansial. Beberapa waktu lamanya mengandalkan harta warisan dari almarhum, hingga akhirnya karya-karyanya bisa menjadi sumber penghasilan baginya.
Tatkala sudah kenyang menjalani hidup dengan melakukan perjalanan mencari ilmu, ath-Thabari memutuskan untuk tinggal menetap di Baghdad. Ia menghabiskan sisa usianya untuk menulis dan mengajarkan ilmu kepada kaum Muslimin.
Sebagai seorang alim yang penulis, dia sangat prolifik. Abdullah bin Hamad al-Farghani, dalam buku As-Shilat menuturkan kisah berikut. Beberapa waktu setelah ath-Thabari wafat, sejumlah muridnya berupaya mengumpulkan naskah-naskah karyanya. Lantas, mereka ingin membagi jumlah halaman naskah-naskah itu berdasarkan hari semasa hayatnya sang guru.
Dari upaya itu, muncul fakta yang mencengangkan. Ath-Thabari diketahui menulis setiap hari sedikitnya 14 halaman. Apabila dihitung-hitung, sang mufasir lahir pada tahun 224 H. Dia meninggal dunia pada 310 H.
Artinya, ath-Thabari hidup selama 86 tahun. Katakanlah, masa-masa sebelum akil baligh—yakni 14 tahun—tidak dihitung. Sisa hidupnya di usia produktif adalah 72 tahun. Lantas, total hari selama 72 tahun disandingkan dengan 14 lembar per hari. Maka, ath-Thabari dapat dipastikan menulis sebanyak 358 ribu lembar di sepanjang hayatnya!
Betapa tinggi semangat literasi yang ditunjukkan ath-Thabari. Salah seorang ulama besar di era keemasan Islam itu menampilkan keteladanan, berusaha maksimal untuk menghasilkan karya terbaik. Karya yang adalah hasil pemikiran sendiri, bukan menjiplak tulisan orang lain.
Di antara karya-karyanya adalah Jami al-Bayan fi Tafsir Alquran. Itu disebut pula sebagai Tafsir ath-Thabari. Selanjutnya, ada Adabul Qadha’, A dabul Manasik, Adab an-Nufuus, Syarai’al Islam, dan Al-Basith--yang disebut-sebut memiliki tebal 1.500 halaman.
Yang tak kalah monumental, karyanya dalam bidang ilmu sejarah, yakni Tarikh al-Rusul wa al-Muluk atau yang juga populer dengan nama Tarikh ath-Thabari. Inilah sebuah kitab sejarah yang pembahasannya panjang, tetapi begitu sistematis, kronologis, dan terperinci.
Secara metodologis, informasi yang disajikannya dalam Tarikh sangat akurat. Sebab, dia selalu bersandar pada riwayat-riwayat dengan menyebutkan sanad hingga tangan pertama.
Riwayat-riwayat itu menggambarkan rentetan peristiwa yang diurutkan berdasar pada tahun kejadiannya, yakni sejak hijrahnya Nabi SAW dari Makkah ke Madinah hingga tahun 302 H atau delapan tahun sebelum wafatnya ath-Thabari.Rol
No comments:
Post a Comment