Ketika Baginda Menganggap Abu Nawas Lebih Hebat dari Jin Ifrit
Baginda baru saja membaca kitab tentang kehebatan Raja Sulaiman yang mampu memerintahkan para jin memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat istananya.
Baginda membaca Surat An-Naml ayat 39-40:
Jin Ifrit berkata, "Akulah yang akan membawanya kepadamu sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu; dan sungguh, aku kuat melakukannya dan dapat dipercaya."
Seorang yang mempunyai ilmu dari kitab berkata, "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip."
Maka ketika dia (Sulaiman) melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata, "Ini termasuk karunia Rabbku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barangsiapa bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Mahakaya, Mahamulia," (QS. An-Naml: 39-40).
Baginda mencermati ayat tersebut. Jin Ifrit saja bisa dikalahkan seorang ulama, berarti manusia lebih sakti dari pada jin. Ulama di masa Raja Sulaiman lebih cepat memindahkan singgasana Ratu Bilqis dibanding jin Ifrit. Ulama itu mampu membawa singgasana ke hadapan Nabi Sulaiman sebelum dia mengedipkan mata. Sedangkan Ifrit hanya mampu membawanya ke hadapan Nabi Sulaiman sebelum dia bangkit dari tempat duduknya.
Baginda tiba-tiba merasa tertarik. Hatinya mulai tergelitik untuk melakukan hal yang sama. Mendadak beliau ingin istananya dipindahkan ke atas gunung agar bisa lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitar. Dan bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu Nawas yang amat cerdik di negerinya. "Kalau di masa Raja Sulaiman ada ulama yang lebih hebat dari jin Ifrit, di masa sekarang ada Abu Nawas," ujar Baginda dalam hati.
Baginda pun segera memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas dihadapkan, Baginda bersabda, "Sanggupkah engkau memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih leluasa melihat negeriku?" tanya Baginda.
Abu Nawas tidak langsung menjawab. la berpikir sejenak hingga keningnya berkerut. Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali kalau memang ingin dihukum.
Akhirnya Abu Nawas terpaksa menyanggupi proyek raksasa itu. Ada satu lagi permintaan dari Baginda, pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu sebulan. "Karena kemampuanmu belum teruji, maka kamu punya waktu sebulan untuk melakukan permintaanku itu," ujar Baginda.
Abu Nawas pulang dengan hati masygul. Setiap malam ia hanya berteman dengan rembulan dan bintang-bintang. Hari-hari dilewati dengan kegundahan.
Tak ada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari ini. Tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana.
Keesokan harinya Abu Nawas menuju istana. la menghadap Baginda untuk membahas pemindahan istana. Dengan senang hati Baginda akan mendengarkan, apa yang diinginkan Abu Nawas.
"Ampun Tuanku, hamba datang ke sini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar pekerjaan hamba nanti," kata Abu Nawas. "Apa usul itu?"
"Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada Hari Raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang dua puluh hari lagi. "Kalau hanya itu usulmu, baiklah," kata Baginda.
"Satu lagi Baginda." Abu Nawas menambahkan.
"Apa lagi?" tanya Baginda. "Hamba mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk untuk dibagikan langsung kepada para fakir miskin," kata Abu Nawas.
"Usulmu kuterima," kata Baginda menyetujui.
Abu Nawas pulang dengan perasaan riang gembira. Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Toh nanti bila waktunya sudah tiba, ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana Baginda Raja.
Jangankan hanya memindahkan ke puncak gunung, ke dasar samudra pun Abu Nawas sanggup.
Desas-desus mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri. Hampir semua orang harap-harap cemas. Tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin atas kemampuan Abu Nawas. Karena selama ini Abu Nawas belum pernah gagal melaksanakan tugas-tugas aneh yang dibebankan di atas pundaknya.
Namun ada beberapa orang yang meragukan keberhasilan Abu Nawas kali ini.
Saat-saat yang dinanti-nantikan tiba. Rakyat berbondong-bondong menuju lapangan untuk melakukan sholat Hari Raya Idul Qurban. Dan seusai sholat, sepuluh sapi sumbangan Baginda Raja disembelih lalu dimasak kemudian segera dibagikan kepada fakir miskin.
Kini giliran Abu Nawas yang harus melaksanakan tugas berat itu. Abu Nawas berjalan menuju istana diikuti oleh rakyat. Sesampai di depan istana Abu Nawas bertanya kepada Baginda Raja. "Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?"
"Tidak ada," jawab Baginda Raja singkat.
Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana. la berdiri sambil memandangi istana. Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu. Benar.
Baginda Raja akhirnya tidak sabar. "Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?" tanya Baginda Raja.
"Hamba sudah siap sejak tadi Baginda," jawab Abu Nawas.
"Apa maksudmu engkau sudah siap sejak tadi? Kalau engkau sudah siap. Lalu apa yang engkau tunggu?" tanya Baginda masih diliputi perasaan heran.
"Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba. Setelah itu hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunung sesuai dengan titah Paduka."
Baginda Raja Harun Al Rasyid terpana. Beliau tidak menyangka Abu Nawas masih bisa keluar dari lubang jarum.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment