Masjid Sultan Syarif Abdurrahman, Nuansa Sejarah Pontianak
Arsitektur
Masjid kebanggaan masyarakat Pontianak ini memiliki total 20 pintu.
HASANUL RIZQA
Sejarah Pontianak berkaitan erat dengan perkembangan dakwah Islam di Nusantara. Daerah yang berjulukan Kota Khatulistiwa itu dirintis oleh seorang bangsawan yang juga keturunan Nabi Muhammad SAW, yakni Syarif Abdurrahman Alkadrie.
Konon, putra Habib Husin—seorang mubaligh Arab di Kalimantan—tersebut sedang menyusuri Sungai Kapuas bersama dengan para pengikutnya. Ia merasa diganggu makhluk halus.
Untuk mengusir gangguan itu, Syarif Abdurrahman melepaskan tembakan meriam. Ia kemudian berikrar, lokasi tempat jatuhnya peluru meriam akan menjadi tempat kerajaannya berdiri. Ternyata, benda tersebut mendarat di dekat persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Maka di sanalah dirinya mulai mendirikan pusat pemerintahan. Untuk mengenang kisah tersebut, daerah itu kemudian disebut sebagai “Puntianak” atau “Pontianak". Secara kebahasaan, artinya merujuk pada hantu “perempuan yang mati beranak".
Pada 14 Rajab 1185 Hijriyah atau bertepatan pada 23 Oktober 1771 Masehi, raja pertama Kesultanan Pontianak itu mulai membangun istananya. Bersamaan dengan itu, Syarif Abdurrahman juga mendirikan masjid pertama sebagai titik pusat syiar Islam di sana. Hingga kini, tempat ibadah itu, Masjid Sultan Syarif Abdurrahman, masih tegak berdiri.
Seperti tampak pada namanya, masjid tersebut dibangun untuk mengingat peran dan jasa sang perintis Kesultanan Pontianak. Masjid tertua di seluruh wilayah ibu kota Provinsi Kalimantan Barat itu berdiri sejak 1778.
Artinya, pembangunan kompleks peribadahan itu selesai kira-kira tujuh tahun sesudah terbentuknya Kota Pontianak. Nama bangunan tersebut diberikan oleh Syarif Usman, putra Sultan Syarif Abdurrahman.
Merujuk pada laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Masjid Sultan Syarif Abdurrahman pada mulanya hanya berbentuk sebuah surau atau mushala. Kala itu, wujudnya sederhana sekali, yakni serupa bangunan beratap tumpang di antara rumah-rumah panggung di tepian Sungai Kapuas.
Sesudah wafatnya Sultan Syarif, putra sang almarhum pun meneruskan proyek pembangunan masjid ini. Hingga akhirnya, legasi dari sang ayah dapat diselesaikannya dengan baik. Secara keseluruhan, bangunan tempat ibadah itu cukup merepresentasikan corak arsitektur khas Melayu.
Atap Masjid Sultan Syarif Abdurrahman terdiri atas sirap-sirap kayu ulin yang menaungi area seluas 33,27 x 27,74 meter persegi. Bila dilihat dari atas, denahnya menampilkan bentuk empat segi panjang.
Atap bangunan cagar budaya nasional ini bertingkat empat. Di antara atap pertama dan kedua, terdapat deretan jendela kecil yang berbentuk persegi. Sementara itu, antara atap kedua dan ketiga terdapat bagian seperti teras.
Di setiap sudutnya, ada menara kecil seperti gardu yang beratapkan limas. Atap paling atas menampilkan garis tepi yang tampak seperti genta.
Dinding masjid ini pun terbuat dari kayu ulin. Permukaannya dilapisi cat berwarna kuning, yang melambangkan kesan agung dalam perspektif budaya Melayu. Warna itu berpadu serasi dengan rona hijau yang ditampilkan bagian atap.
Memasuki bagian dalam, pengunjung dapat langsung berada di ruang utama. Di sanalah, jamaah dapat melaksanakan shalat. Tampak 20 kayu yang menjadi tiang penopang atap. Enam tiang di antaranya berbentuk silinder dan berukuran lebih besar daripada lainnya. Diamaternya kira-kira mencapai 50 cm. Adapun 14 tiang lainnya berbentuk balok.
Ada tiga pintu utama dengan tinggi tiga meter. Letaknya bertebaran di sisi barat daya, tenggara dan timur laut Masjid Sultan Syarif Abdurrahman. Di sebelah kiri dan kanan pintu utama, terdapat tiga pintu lagi. Bedanya, ketiganya berposisi lebih rendah dengan ketinggian “hanya” dua meter.
Sementara itu, di sisi sebelah kiri dan kanan pintu utama terdapat dua pintu. Secara keseluruhan, masjid kebanggaan masyarakat Pontianak ini memiliki total 20 pintu. Semuanya berdaun-pintu dua bilah, dan dibuka ke arah luar.
Salah satu corak arsitektur khas Borneo yang tampak dari masjid ini ialah pada bagian lantai. Masjid tersebut memiliki lantai panggung setinggi 50 cm. Bentuk panggung itu tidaklah asing di daerah dengan banyak sungai, seperti Kalimantan Barat.
Mihrab Masjid Sultan Syarif Abdurrahman cukup unik. Sekilas dilihat, bentuknya menyerupai sebuah geladak kapal. Berdenah segi enam dengan mimbar bercat kuning, mihrab itu berpahatkan ukiran yang berwarna emas. Di atasnya, terdapat prasasti beraksara Arab.
Isinya menjelaskan, sosok Sultan Syarif Usman sebagai penerus takhta Kesultanan Pontianak. Raja ketiga Pontianak itu selesai menyempurnakan bangunan masjid ini pada Selasa, Muharram 1237 Hijriah. Keberadaan masjid jamik itu menggantikan mushola yang mula-mula dibangun ayahnya.
Kapasitas masjid di tepian Kapuas—sungai terpanjang di Indonesia—ini cukup baik. Daya tampungnya mencapai 1.500 jamaah. Apabila berminat menyambanginya, Anda dapat menempuh jalur darat maupun air. Perjalanan dapat menggunakan sampan atau perahu cepat (speed-boat). Ada pula akses lainnya, yakni dengan bus yang melalui jembatan Sungai Kapuas.Rol
No comments:
Post a Comment