Pelajaran Berharga dari Runtuhnya Kekuatan Islam di Andalusia
Umpamanya, pada saat Muhammad al-Manshur (Almanzor) bin Abi Amir dan al-Muzhaffar menjadi wazir, sedangkan Hisyam II sebagai khalifah.
Kondisi yang sebaliknya terjadi kalau perdana menteri tidak memedulikan rajanya. Maka khalifah bukan hanya ke hi langan wibawa, melainkan juga tidak berguna. Akan lebih buruk bagi rakyat bila si wazir tidak kompeten dalam menakho dai negeri.
Itulah yang mengemuka saat Abdurrahman Sanchol naik sebagai alhajib. As-Sirjani mengingatkan pembaca pada sebuah hadis Nabi Muhammad SAW. Maka apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran. Jika sebuah urusan disandarkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancuran.
Kedua, sejarawan itu menyoroti, Daulah Umayyah yang berpusat di Kordoba kian tergelincir pada gaya hidup boros. Para pejabatnya gemar bermewahmewahan. Kas negara tersedot untuk melayani kemauan penguasa yang kadang kala di luar nalar. Menurut as-Sirjani, istana Madinat az-Zahra dapat menjadi contohnya.
Dengan keluasan dan kemegahannya itu, dari dalam (interior) dia dibuat dari emas. Bahkan, atapnya dibuat dari campuran emas dan perak, tulisnya. Bisa saja, jumlah rakyat yang mampu lebih banyak daripada yang papa. Akan tetapi, hal itu tetap tidak bisa dijadikan pembenaran.
Islam mengajarkan umatnya untuk tidak berlebih-lebihan dalam hal harta benda. Kekayaan cenderung menyilaukan membuat lalai manusia terhadap hal-hal yang lebih esensial. Dalam kaitannya dengan sejarah Andalusia, perkara pokok itu adalah persatuan (ukhuwah).Rol
No comments:
Post a Comment