Kisah Tabi'in Ar-Rabi bin Khutsaim dan Nasihatnya yang Menyentuh Hati

Kisah Tabiin Ar-Rabi...
Ibnu Masud merasakan ketulusan dan keikhlasan ar-Rabi. IlustrasI; AI
Ar-Rabi bin Khutsaim adalah salah satu ulama tabiin yang utama dan satu di antara delapan orang yang dikenal paling zuhud di masanya. Beliau adalah murid dari Abdullah bin Mas'ud, sahabat Rasulullah SAW .

Kecintaan guru terhadap muridnya laksana kasih sayang seorang ibu terhadap anak tunggalnya. Ar-Rabi biasa keluar masuk rumah gurunya tanpa harus meminta izin. Bila dia datang, maka yang lain tidak diizinkan masuk sebelum ar-Rabi keluar.

Dr Abdurrahman Ra'fat Basya dalam "Mereka adalah Para Tabiin" menyebut beliau adalah orang Arab asli, suku Mudhar dan silsilahnya bertemu dengan Rasulullah SAW pada kakeknya, Ilyas dan Mudhar.

Ibnu Mas'ud merasakan ketulusan dan keikhlasan ar-Rabi. Kebagusan ibadahnya yang memancar kuat di hatinya, rasa kecewanya lantaran tertinggal dari zaman Nabi, sehingga tidak mendapat kesempatan untuk menjadi salah satu sahabat beliau.

"Tidakkah sebaiknya kuantarkan engkau kepada syaikh agar kita bisa menambah keimanan sesaat?" ajak Hilal bin Isaf kepada tamunya yang bernama Mundzir ats-Tsauri, suatu ketika. Syaikh yang dimaksud adalah Syaikh Ar-Rabi bin Khutsaim.

"Baik, aku setuju," jawab Mundzir antusias. "Demi Allah, tiada yang mendorong aku datang ke Kufah ini melainkan karena ingin bertemu dengan gurumu, Rabi bin Khutsaim dan rindu untuk bisa tinggal sesaat dalam taman iman bersamanya. Akan tetapi apakah engkau sudah minta izin kepadanya? Kudengar dia menderita penyakit rematik sehingga tidak keluar rumah dan enggan menerima tamu?"

"Memang begitulah orang-orang Kufah mengenalnya, sakitnya itu tidak mengubahnya barang sedikit pun," ujar Hilal.

"Baiklah. Tetapi Anda tahu bahwa syaikh ini memiliki perasaan yang halus, apakah menurut Anda kita layak mendahului bicara dan bertanya sesuka kita? Atau kita diam saja menunggu beliau mulai bicara?" tanya Mundzir ragu.

"Andaikata engkau duduk bersama Rabi bin Khutsaim selama setahun lamanya, maka dia tidak akan bicara apapun kecuali jika engkau yang mulai berbicara dan akan terus diam bila tidak kau dahului dengan pertanyaan. Sebab dia menjadikan ucapannya sebagai zikir dan diamnya untuk berpirkir," jelas Hilal.

"Kalau begitu, marilah kita mendatanginya dengan barakah Allah Subhanahu wa Taala," ajak Mundzir setuju.

Kemudian pergilah mereka berkedua ke rumah syaikh itu. Setelah memberi salam, mereka bertanya, "Bagaimana kabar Anda pagi ini wahai syaikh?"

"Dalam keadaan lemah, penuh dosa, memakan rezeki-Nya, dan menanti ajalnya," jawab Ar-Rabi.

"Sekarang di Kufah ini ada tabib yang handal. Apakah syaikh mengizinkan kami memanggilnya untuk Anda?" ujar Hilal.

"Wahai Hilal, aku tahu bahwa obat itu adalah benar-benar berkhasiat. Tetapi aku belajar dari kaum Aad, Tsamud, penduduk Rass dan abad-abad di antara mereka. Telah kudapati bahwa mereka sangat gandrung dengan dunia, rakus dengan segala perhiasannya. Keadaan mereka lebih kuat dan lebih ahli dari kita. Di tengah-tengah mereka banyak tabib, namun tetap saja ada yang sakit. Akhirnya tak tersisa lagi yang mengobati maupun yang diobati karena binasa," jawab Ar-Rabi. Beliau kemudian menghela nafas panjang dan berkata, "seandainya itulah penyakitnya, tentulah aku akan berobat."

"Kalau demikian, apa penyakit yang Anda derita wahai Syaikh?" tanya Mundzir.

"Penyakitnya adalah dosa-dosa," jawabnya.

"Lantas, apa obatnya?" tanya Mundzir lagi.

"Obatnya adalah istighfar," jawab Ar-Rabi.

"Bagaimana bisa pulih kesehatannya?" tanya Mundzir heran.

"Dengan bertaubat, kemudian tidak mengulangi dosanya," ujar Ar-Rabi, sembari menatap kedua tamunya. "Waspadalah kalian terhadap dosa yang meski tersembunyi dari orang-orang, namun jelas bagi Allah Subhanahu wa Taala, segeralah datangkan obatnya!" lanjutnya.

"Apa obatnya?" tanya Mundzir lagi.

"Dengan taubat nasuha," ujar Ar-Rabi, lalu menangis hingga basah jenggotnya.

"Mengapa Anda menangis wahai Syaikh?" tanya Mundzir bernada heran.

"Bagaimana aku tidak menangis? Aku pernah berkumpul bersama suatu kaum (yakni para sahabat Nabi) di mana kedudukan kami dibanding mereka seakan sebagai pencuri," tutur Ar-Rabi.

Ketika mereka asyik berbincang-bincang, tiba-tiba datanglah seorang putra Ar-Rabi. Setelah memberi salam dia berkata: "Wahai ayah, ibu membuatkan roti yang manis dan lezat agar ayah mau memakannya, berkenankah ayah jika aku bawakan kemari?"

"Bawalah kemari," jawab beliau.

Pada saat putranya keluar, terdengar orang meminta-minta mengetuk pintu. "Suruhlah dia masuk," ujar Syaikh kepada Hilal dan Mundzir.

Pengemis itu ternyata lelaki tua yang berpakaian compang-camping. Air liurnya belepotan ke sana ke mari, terlihat dari wajahnya bahwa dia tidak begitu waras.

Hilal dan Mundzir memperhatikan lelaki itu hingga kemudian masuklah putra Syaikh Rabi membawa roti di tangannya. Ayahnya langsung mengisyaratkan agar roti tersebut diberikan kepada orang yang meminta-minta tersebut.

Roti itu diletakkan di tangan pengemis tersebut. Sesegera mungkin orang itu memakannya dengan lahap. Air liurnya mengalir di sela-sela roti yang dimakannya. Dia melahapnya hingga habis tanpa sisa.

"Semoga Allah merahmati Ayah," ujar putra Syaikh begitu melihat apa yang terjadi. "Ibu telah bersusah payah untuk membuat roti itu untuk Ayah, kami sangat berharap agar Ayah sudi menyantapnya, namun tiba-tiba Ayah berikan roti itu kepada orang linglung yang tidak tahu apa yang sedang dimakannya," lanjutnya.



لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian [yang sempurna], sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai." ( QS Ali Imran : 92)

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba datanglah seseorang yang masih terhitung sebagai kerabatnya dan berkata, "Wahai Abu Yazid, Hasan bin Fatimah terbunuh, semoga keselamatan tercurah atasnya dan juga ibunya."

"Innalillahi wa inna ilaihi raajiun," sambut Syaikh lalu membaca firman Allah Subhanahu wa Taala"

قُلِ اللَّهُمَّ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِي مَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

"Katakanlah, Wahai Allah, pencipta langit dan bumi, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Engkaulah yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka perselisihkan." ( QS. Az-Zumar : 46)

Akan tetapi, rupanya orang itu belum puas dengan reaksi Syaikh, sehingga dia bertanya, "Bagaimana pendapat Anda tentang pembunuhnya?" Beliau berkata, "Kepada Allah dia kembali dan menjadi hak perhitungannya."

Setelah Hilal melihat waktu hampir memasuki zuhur, ia berkata, "Wahai Syaikh, berilah aku nasihat."

"Wahai Hilal, janganlah engkau terpedaya dengan banyaknya sanjungan orang terhadapmu, sebab orang-orang tidak mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya, melainkan hanya melihat lahiriahmu saja. Ketahuilah, sesungguhnya engkau tergantung pada amalanmu, setiap amalan yang dikerjakan bukan karena Allah Subhanahu wa Taala akan sia-sia," nasehatnya.

Selanjutnya Mundzir juga meminta hal yang sama. "Berilah wasiat kepadaku juga, semoga Allah membalas kebaikan Anda," katanya.

"Wahai putraku, jika dia tahu, maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Taala Maha Tahu," jawab Syaikh. Kemudian beliau membaca firman Allah:

"Wahai Mundzir, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Taala terhadap ilmu yang telah kau ketahui dan yang masih tersembunyi bagimu, serahkanlah kepada yang mengetahuinya".

"Wahai Mundzir jangan sekali-kali salah satu dari kalian berdoa: 'Ya Allah, aku telah bertaubat', lalu tidak melakukannya, sebab dia dianggap dusta. Tapi katakanlah: 'Ya Allah, ampunilah aku', maka itu akan menjadi doa."

"Ketahuilah wahai Mundzir, tidak ada kebaikan dalam ucapan melainkan untuk tahlil, tahmid, takbir, dan tasbih kepada Allah, kemudian bertanya tentang kebaikan, menjaga dari kejahatan, menyeru yang maruf, mencegah dari yang mungkar, dan membaca Alquran."

Mundzir mendengarkan dengan khidmat. Namun ada sesuatu yang terasa kurang. "Telah lama kami duduk bersama Anda, namun sedikit pun kami tidak mendengar ucapan syair dari Anda, sedangkan kami melihat sebagian dari sahabat Anda mengucapkannya," tanyanya.

"Tak ada sepatah katapun yang aku ucapkan kecuali akan dicatat di dunia dan kelak akan dibacakan di akhirat. Aku tidak suka mendapatkan bukuku dibacakan di hari kiamat sedangkan di dalamnya ada kata-kata syair," jawanya kemudian beliau memperhatikan kedua tamunya itu dan berkata, "Perbanyaklah mengingat mati, karena ia adalah perkara ghaib yang amat dekat tiba saatnya. Sesuatu yang ghaib meskipun lama waktunya, pasti serasa dekat ketika datangnya."

Beliau terisak menangis sambil berkata terbata-bata, "Apa yang akan kita perbuat kelak tatkala ...." ujarnya, kemudian membaca firman Allah:

كَلَّاۤ اِذَا دُكَّتِ الۡاَرۡضُ دَكًّا دَكًّا
وَّجَآءَ رَبُّكَ وَالۡمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
وَجِاىْٓءَ يَوۡمَٮِٕذٍۢ بِجَهَنَّمَ ۙ‌ يَوۡمَٮِٕذٍ يَّتَذَكَّرُ الۡاِنۡسَانُ وَاَنّٰى لَـهُ الذِّكۡرٰىؕ


"Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya." ( QS Al-Fajar : 21-23)

Belum lagi beliau selesai bicara, terdengar suara azan zuhur. Bersamaan dengan itu putranya datang, lalu Syaikh berkata kepadanya, "Mari kita sambut panggilan Allah."

Putranya berkata kepada kami, "Tolong bantu saya untuk memapah beliau ke masjid. Semoga Allah Subhanahu wa Taala membalas kebaikan kepada kalian."

Kemudian mereka memapahnya bersama-sama sehingga beliau bisa bergantung di antara Hila dan putranya pada saat berjalan.

"Wahai Abu Yazid, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Taala memberi rukhsah (keringanan) bagi Anda untuk boleh salat di rumah," Mundzir seakan mengingatkan.

"Memang benar apa yang Anda katakan, akan tetapi aku mendengar seruan, 'Marilah menuju kemenangan!' Barangsiapa mendengar seruan itu hendaknya mendatanginya walau harus dengan merangkak," jawabnya.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati

No comments: