Sejarah Masjid Angke, Saksi Bisu Perjuangan Melawan Penjajah Masjid ini menjadi tanda, betapa majemuknya Muslimin Jakarta sejak masa sila

Bangunan atap masjid yang dulunya tempat muadzin di Masjid Jami Al-Anwar, Jalan Pangeran Tubagus Angke, Tambora, Jakarta Barat.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Bangunan atap masjid yang dulunya tempat muadzin di Masjid Jami Al-Anwar, Jalan Pangeran Tubagus Angke, Tambora, Jakarta Barat.
.  Red: Hasanul Rizqa
Berbagai bangunan khas sejarah Islam bertebaran di DKI Jakarta. Salah satunya yang cukup masyhur adalah Masjid Jami al-Anwar. Tempat ibadah kaum Muslimin itu dikenal pula dengan nama Masjid Angke.

Cagar budaya tersebut berdiri di atas lahan seluas kira-kira 930 m persegi. Adapun luas bangunan utamanya mencapai 225 m persegi. Masjid Jami al-Anwar beralamat di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Tambora, Kota Administrasi Jakarta Barat.

Menurut Dr F de Haan dalam karyanya, Oud Batavia (1935), masjid yang sarat akan nilai sejarah ini dibangun pada hari Kamis, 2 April 1761 atau 25 Syaban 1174 H. Adapun sejarawan Betawi, Alwi Shahab, menyebut tarikh yang lebih tua, yakni tahun 1714 M. Artinya, umur bangunan cagar budaya ini sudah amat tua, yakni antara 250 tahun atau lebih dari tiga abad.

Konon, pembangunan rumah ibadah ini digagas oleh seorang perempuan keturunan Tionghoa. Wanita tersebut diketahui menikah dengan seorang lelaki dari Kesultanan Banten. Pada akhirnya, keberadaan masjid tersebut menjadi bagian dari sejarah jihad umat Islam dalam melawan penjajahan.

Histori bangunan ini tentunya tidak terlepas dari riwayat Angke secara keseluruhan. Dahulu, kawasan tempat berdirinya masjid tersebut lebih dikenal dengan sebutan Kampung Bali. Setidaknya sejak abad ke-16, sejumlah orang hijrah dari Pulau Dewata ke Jayakarta—nama lama Jakarta, sebelum Batavia.

Para penganut Hindu itu diterima oleh kaum Muslimin lokal yang lebih dahulu menjadi pemukim setempat. Masing-masing umat itu hidup secara damai dan saling menghormati. Kemudian, datanglah para perantauan Tionghoa ke sana. Mereka gemar beternak bebek. Jadilah daerah itu berganti nama lagi: Kampung Bebek.

Hingga akhir abad ke-17, setiap kelompok etnis itu tinggal di permukiman dekat pesisir Teluk Jayakarta tersebut. Seiring berjalannya waktu, kolonialisme Belanda kian dalam mencengkeram. Bahkan, pemerintah kolonial mengganti nama kota ini menjadi Batavia.

photo
Gambar Masjid Jami Al-Anwar sebelum pemugaran (kiri), gambar Masjid Jami Al-Anwar saat ini (kanan) di jalan Pangeran Tubagus Angke, Tambora, Jakarta Barat. - (Republika/Thoudy Badai)

Pada 9-11 Oktober 1740, terjadilah peristiwa besar di sana. Orang-orang Tionghoa mengadakan pemberontakan terhadap otoritas kolonial. Kejadian ini di kemudian hari dalam sejarah tercatat sebagai Geger Pecinan.

Alwi Shahab dalam Betawi: Queen of the East menuturkan, Belanda menerapkan tangan besi untuk meredam perlawanan kelompok etnis Tionghoa itu. Hasilnya, sebanyak 10 ribu orang Cina di Batavia dibantai. Mayat-mayat mereka dibuang di sungai, termasuk perairan yang membelah Kampung Bali/Kampung Bebek.

Akibatnya, air sungai berubah menjadi merah. Dalam bahasa Hokian, kata ang berarti merah, sedangkan ke adalah sungai. Sejak saat itu, kampung tersebut dinamakan sebagai Angke sebagai pengingat akan “sungai merah” sesudah tragedi Geger Pecinan 1740.

Awal mula

Jumroni dalam artikelnya, “Masjid Bersejarah di Jakarta” (2006) menjelaskan, pendiri Masjid Jami al-Anwar adalah Gouw Tjay alias Jan Con. Ia merupakan sekretaris kapitan Cina saat itu, Souw Beng Kong. Dengan perkataan lain, sejak abad ke-17 sudah ada warga keturunan Tionghoa yang memeluk Islam.

Pemerintah kolonial sempat mendekati Gouw Tjay untuk meminta jasanya sebagai mediator terhadap Kesultanan Banten. Sekretaris Souw Beng Kong ini memang dikenal dekat dengan sultan Banten. Namun, permintaan Belanda itu ditolaknya dengan alasan tidak mau mencampuri urusan politik.

Ketika pecah Geger Pecinan 1740, sebagian orang etnis Tionghoa berhasil melarikan diri. Mereka kemudian bersembunyi di tempat-tempat milik dan dilindungi umat Islam di Banten. Hingga 1750-an, akulturasi pun terjadi antara kedua kelompok masyarakat ini.

Pada 1761, dengan memori-bersama perjuangan anti-Belanda itu, Gouw Tjay membangun sebuah masjid di Kampung Angke. Tempat ibadah yang kini dinamakan Masjid Jami al-Anwar itu pun terus memiliki fungsi perjuangan. Beberapa kali, bangunan tersebut menjadi markas para pejuang yang menentang kolonialisme. Tempat yang sama pun pernah menjadi lokasi perundingan antara utusan dari Banten dan Cirebon.

Souw Beng Kong merupakan seorang saudagar yang sukses di Pulau Jawa. Salah satu sumber kekayaannya adalah kebun lada yang luas. Gubernur jenderal Belanda ketika itu, JP Coen, tertarik untuk bekerja sama dengannya.

Sesudah menduduki Jayakarta, nyaris semua penduduk lokal melarikan diri bersama Pangeran Jayakarta. Maka yang tersisa umumnya di sana adalah masyarakat etnis Tionghoa. Coen lalu bersurat kepada Souw Beng Kong guna memintanya pindah ke daerah taklukan itu.

photo
Tulisan tanda dibangunnya Masjid Jami Al-Anwar di jalan Pangeran Tubagus Angke, Tambora, Jakarta Barat. - (Republika/Thoudy Badai)
Selama di Batavia, Souw Beng Kong dibantu oleh seorang Cina gundul yang kemudian menjadi sekretarisnya, Gouw Tjay. Disebut demikian karena sang sekretaris telah berislam. Saat tinggal di Kampung Bebek, Muslim Tionghoa ini membangun sebuah masjid yang terbuka bagi siapapun umat Islam. 
 
Interior atap Masjid Jami Al-Anwar di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Tambora, Jakarta Barat. - (Republika/Thoudy Badai) Arsitektur khas

Menurut Jumroni, corak bangunan Masjid Jami al-Anwar menunjukkan akulturasi budaya. Tampilan tempat ibadah ini memang sarat gaya arsitektur Cina, Banten, dan Hindu. Atapnya berbentuk cungkup, bersusun dua model khas Tiongkok. Pada ujungnya, terdapat bentuk kuncup melati.

List-plang kayunya bermotif ombak dengan bonggol kuncup melati yang tampak terbalik di tiap sudutnya. Kusen pintunya berdaun dua, seperti lumpang terbalik. Di permukaannya, terdapat motif ukiran.

Di halaman belakang masjid ini, ada beberapa makam, yakni kuburan Syekh Ja’far dan Syekh Syarif Hamid al-Qadri. Yang terakhir itu adalah seorang pangeran Kesultanan Pontianak yang saat masih hidup dibuang Belanda ke Batavia.rol

No comments: