Simbiosis Ulama dan Penguasa dalam Sejarah Nusantara Menurut Sejarawan Barat
Ulama adalah otoritas yang diakui dalam praktik keagamaan, sementara penguasa adalah penegak norma-norma Islam. Simbiosis ini tercermin dalam banyak kota di kepulauan Nusantara, misalnya masjid utama sering kali berdekatan dengan kompleks istana atau pusat pemerintahan.
Memang banyak penguasa sering berusaha mencari legitimasi Islam untuk tindakan mereka dan menarik ulama ke istana mereka, demikian menurut sejarawan Barat, Michael Francis Laffan dalam buku Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below The Wind.
Dengan pengakuan Islam sebagai agama negara, ulama muncul sebagai elit dalam masyarakat kepulauan di Asia Tenggara. Para ulama sering diberi wewenang untuk mengeluarkan perintah agama dan bahkan kebijakan langsung, seperti yang dilakukan oleh Nuruddin al-Raniri (w. 1656) saat berada di Aceh pada 1637 di bawah perlindungan Sultan Iskandar II (1636-41)
<p dir="ltr">Kekuasaan mereka yang meluas juga ditunjukkan oleh fakta bahwa di Jawa sepuluh tahun kemudian, penerus Sultan Agung, Amangkurat I (1646–77), merasa terpaksa untuk membantai sejumlah besar ulama dan keluarga mereka guna mempertahankan kendali atas kerajaannya.</p>
Meskipun demikian, para ulama juga disarankan oleh hadits untuk menjaga jarak dari penguasa. Dalam hadits dhaif, dikatakan bahwa ulama yang buruk yang mendatangi penguasa.
"Seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang mendatangi pemerintah (penguasa), dan sebaik-baiknya pemerintah (penguasa) adalah yang mendatangi ulama.” (HR Ibnu Majah)
Namun, meskipun mereka disarankan untuk menjaga jarak dari penguasa, para ulama masih dapat menggantikan mereka dalam situasi darurat seperti yang dilakukan oleh ulama Aceh, Teungku Chik di Tiro atau yang bernama asli Muhammad Saman (1836-91), ketika ia membantu memimpin perlawanan melawan Belanda setelah runtuhnya kesultanan pada tahun 1874.
Ulama adalah golongan yang dihormati oleh raja-raja dan dijadikan tempat berlindung oleh rakyat dalam situasi darurat. Para ulama memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari pada masa damai, mereka menyampaikan pengetahuan Islam kepada umatnya.
Para ulama adalah perekat yang menyatukan dunia Muslim, dengan fokus pada peningkatan dan penyebaran pengetahuan Islam, mulai dari masjid dan sekolah Alquran di wilayah mereka sendiri, dan mungkin mencapai puncaknya di universitas-universitas Islam terkemuka seperti Masjidil Haram di Makkah dan Al-Azhar di Kairo. Di semua pusat tersebut, siswa bebas bergabung atau meninggalkan lingkaran para guru. Pendidikan tradisional, yang tidak memiliki kelas formal yang dibagi berdasarkan usia atau kemampuan membaca, menekankan hubungan pribadi antara guru dan siswa.
Para siswa sering kali melakukan perjalanan untuk belajar bersama seorang guru tertentu guna menguasai teks atau aspek pembelajaran tertentu, seperti tata bahasa, fiqih (hukum Islam) atau tasawuf. Tradisi Islam menekankan pentingnya perjalanan dalam pencarian ilmu, dan seorang ulama baru dianggap benar-benar berilmu jika ia telah meninggalkan tempat tinggalnya. Contoh-contoh perjalanan ilmiah semacam itu dalam tradisi Jawi merupakan praktik yang sudah mapan.
Pada abad ke-17, Banten memegang peran khusus dalam Islam Asia Tenggara di bawah bimbingan seorang pendatang Jawi, Yusuf al-Maqassar (1627–99) yang lahir di Sulawesi. Pada masa itu pula, Aceh yang telah lama terkenal sebagai Serambi Makkah terus menarik para ulama dari dunia Melayu yang lebih luas dan Samudra Hindia.
Pada 1630-an, negara tersebut bahkan menjadi lokasi kontroversi terkenal terkait tulisan-tulisan mistis H.amza al-Fansuri dan Shams al-Din, ketika Nuruddin al-Raniri berusaha memberantas ajaran yang ia yakini menyebarkan doktrin kontroversial tentang Kesatuan Wujud antara Tuhan dan manusia. Di bawah perlindungan sultan, Nuruddin al-Raniri memastikan bahwa karya-karya mereka dibakar dan pengikut mereka dieksekusi. Kemudian tradisi Sunni sebagaimana diinterpretasikan oleh Imam al-Ghazali (1058–111) dikukuhkan kembali.rol




No comments:
Post a Comment