Bentuk dan Fungsi Masjid Nabawi pada Masa Nabi Muhammad SAW

Setelah hijrah, kota Madinah mengalami perubahan signifikan. 
 Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Ilustrasi Masjid Nabawi tempo dulu.
Foto: Ali Kazuyoshi/ca
Setelah hijrah, kota Madinah mengalami perubahan signifikan hampir di seluruh aspeknya, termasuk perubahan nama dari Yatsrib menjadi Madinah. Makna dari perubahan nama tersebut jelas menyiratkan karakter, tujuan dan aspirasi baru dari negara-kota yang sedang berkembang tersebut.

Ketika Nabi Muhammad SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah, tugas pertama dan langsung yang berkaitan dengan misi pembangunan masyarakatnya adalah membangun masjid utama kota tersebut. Setiap pekerjaan lain, termasuk pembangunan rumah bagi para migran yang mayoritas miskin dan praktis tunawisma, harus ditunda hingga Masjid Nabawi selesai dibangun. 

Ketika selesai, bentuk Masjid Nabawi sangat sederhana. Meskipun bentuknya sederhana, Masjid ini sejak awal berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat yang sesungguhnya, dan dengan cepat berkembang menjadi kompleks multifungsi. 

Dikutip daru halaman Muslim Heritage, dijelaskan bahwa Masjid Nabawi tidak hanya dimaksudkan untuk melaksanakan sholat pada waktu-waktu yang telah ditentukan, tetapi juga untuk berbagai fungsi keagamaan, sosial, politik, administratif, dan budaya lainnya. Masjid ini menjadi katalis dan penentu standar bagi upaya pembangunan peradaban di seluruh wilayah Muslim. 

Nabi Muhammad SAW saat tiba di Madinah memberikan perhatian khusus untuk mendidik individu-individu yang berbudi luhur dan jujur yang membentuk masyarakat sehat, berbudi luhur dan dinamis. 

Hubungan umat beriman dengan Tuhan, lingkungan dan sesama manusia ditetapkan untuk menjadi dan tetap kokoh dan adil. Umat Islam di Madinah pada masa Rasulullah SAW menjadikan tempat tinggal mereka lebih baik dan lebih kondusif bagi kehidupan yang saleh dan benar-benar produktif.


Komponen kota pertama yang diperkenalkan Nabi Muhammad SAW ke kota Madinah adalah lembaga masjid, yakni Masjid Nabawi. 

Sejak awal berdirinya, Masjid Nabawi berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat. Berbagai jenis kegiatan dilakukan di wilayahnya. Selain berfungsi sebagai tempat sholat berjamaah dan ibadah kolektif lainnya, Masjid Nabawi juga menyediakan berbagai fasilitas dan layanan sosial penting bagi umat Islam. 

Masjid Nabawi juga menjadi pusat pemerintahan Nabi Muhammad SAW, pusat pembelajaran, tempat perawatan medis, pusat penahanan dan rehabilitasi, pusat kesejahteraan dan amal, serta tempat untuk berbagai kegiatan rekreasi dan hiburan yang sah.

Setelah rampung, bentuk Masjid Nabawi sangat sederhana. Meskipun bentuknya sederhana, bagi umat Islam, Masjid Nabawi langsung menjadi katalisator dan penentu standar pembangunan peradaban.

Pada awalnya, Masjid Nabawi hanyalah sebuah bangunan tertutup. Dindingnya, yang terbuat dari batu bata lumpur dan ditinggikan di atas fondasi batu, melingkupi area tanpa atap dan tanpa aspal seluas kurang lebih 1.200 meter persegi. Tidak ada bagian beratap, bagian beratap baru diperkenalkan kemudian karena panas. Tiga pintu masuk menembus dinding selatan, timur, dan barat. Sisi utara merupakan dinding kiblat (arah sholat) yang menghadap Masjidil Aqsa di Yerusalem. 

 

Halaman 3 / 3
Setelah 16 atau 17 bulan setelah hijrah, kiblat dialihkan dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram, sehingga bentuk sederhana Masjid Nabawi pun berubah, Pintu masuk di dinding selatan ditutup bata karena langsung berfungsi sebagai sisi kiblat baru, sementara pintu masuk baru dilubangi di dinding utara yang sebelumnya berfungsi sebagai sisi kiblat.

Pada tahun ke-7 Hijrah (sekitar tahun 629 M), Nabi Muhammad SAW memenuhi kebutuhan yang muncul akibat peningkatan jumlah jamaah yang pesat serta perluasan Madinah yang pesat sebagai prototipe negara-kota Muslim. Maka Rasulullah SAW memperluas Masjid Nabawi secara signifikan, sehingga luasnya menjadi sekitar 2.500 meter persegi.

Nabi Muhammad mengajarkan bahwa inti dari arsitektur Muslim terletak pada fungsi dengan semua dimensinya: jasmani, rohani, dan spiritual. Peran bentuk juga penting, tetapi hanya sejauh ia melengkapi dan meningkatkan fungsi. Arsitektur Muslim harus mewujudkan ajaran, nilai, dan prinsip Islam sebagai sistem pemikiran, praktik, dan peradaban yang utuh, karena berfungsi sebagai lokus fisik aktivitas manusia, memfasilitasi dan memajukannya. 

Arsitektur harus berorientasi pada manusia, menjunjung tinggi martabatnya, dan memfasilitasi perkembangan spiritualnya di dunia ini. Arsitektur adalah sarana, bukan tujuan.

Lebih lanjut, salah satu ciri arsitektur Muslim yang paling dikenal adalah kecenderungannya terhadap keberlanjutan. Hal ini karena Islam, sebagai pandangan dunia, etika, dan yurisprudensi yang menyeluruh, bertujuan untuk melestarikan manusia dan kesejahteraannya secara menyeluruh, yaitu agama, diri, kekuatan mental, keturunan (generasi mendatang), dan kekayaan (pribadi, masyarakat, dan alam). Pandangan Islam dan Nabi Muhammad SAW tentang lingkungan alam dan hubungan manusia dengannya belum pernah ada sebelumnya.

Oleh karena itu, tak perlu dikatakan lagi bahwa tanpa Islam, tidak akan ada arsitektur Muslim yang sah. Demikian pula, tanpa umat Muslim yang taat, yang dalam pikiran, tindakan, dan perkataan mereka melambangkan keseluruhan pesan Islam, tidak akan ada arsitektur Muslim juga. Arsitektur Muslim adalah kerangka kerja untuk penerapan Islam, sebuah kerangka kerja yang ada untuk memfasilitasi, mendorong, dan memajukan penerapan tersebut. 

Oleh karena itu, memahami, menciptakan, mempelajari, dan bahkan menggunakan arsitektur Muslim secara tepat, tidak dapat dicapai secara terpisah dari kerangka kerja Islam secara menyeluruh beserta pandangan dunia, etos, doktrin, hukum, praktik, asal-usul, dan sejarahnya yang komprehensif. Setiap upaya atau metode yang menentang prinsip yang jelas ini pasti akan berakhir dengan kegagalan, yang dalam prosesnya menghasilkan serangkaian kesalahan dan kesalahpahaman. 

Sumber:

No comments: