Aktivis Islam, Belajarlah Sejarah Tokoh Negeri Ini
Ada satu kritik yang menarik dari Prof. Dennys Lombard, dalam buku “Nusa Jawa Silang Budaya” mengenai karakter anak bangsa yang bernama Indonesia ini. Betapa kita bangga mengenang tokoh besar masa lalu dengan beragam acara, tapi malas mempelajari sejarah dan pemikirannya. Orang Jawa sangat mengagumi Ronggowarsito, namun hampir tidak ada yang serius mengkaji karya Ronggowarsito. Di Sumatera Barat berdiri museum Buya Hamka, namun kata yang teman saya yang pernah berkunjung kesana, di museum tersebut hanya menyimpan benda-benda memorabilia Hamka. Namun jejak intelektual Buya Hamka yang merupakan peninggalan terbesar beliau justru tidak ada. Namun anehnya, banyak yang dengan PeDe bercerita dan berkisah bahkan memaparkan pemikiran para tokoh tersebut, meski tanpa referensi.
Untuk menutupi rasa malas itu, kemudian kita menyerahkan pencatatan sejarah itu pada para peneliti asing. Ronggowarsito, diteliti oleh peneliti Perancis. Sejarah Sumatera diserahkan pada Prof. Anthony Reid, Sukarno pada Cindy Adam, dan komentar tentang Natsir kita pasrahkan pada Herber Feith. Anehnya kita bangga dengan hal ini, dan bilang bahwa para tokoh kita adalah tokoh hebat, terbukti banyaknya cendekiawan asing yang menjadikannya sebagai obyek penelitian. Akibatnya, kita mewarisi cara pikir yang dialektis, dikhotomis dan dualistis yang menjadi khas pemikiran Barat dari para peneliti tersebut. Watak dialektis ini diperlukan Barat karena mereka tak percaya pada kebenaran metafisis. Bisa dipastikan, hasil penelitian itu tidak mencerahkan tapi menimbulkan friksi di masyarakat.
Sehingga ketika muncul buku yang saya sendiri belum baca, ensiklopedi bid’ah dan syirik Jawa, yang dari judulnya sudah bisa saya bayangkan isinya, saya tidak kaget. Sebab itulah mentalitas instan yang didalamnya menjangkiti aktifis dakwah. Saya yakin buku tersebut, hanya bersifat “ndalili” tradisi, daripada melihat bagaimana sebuah evolusi budaya terus berjalan tanpa pernah berhenti. Dan di dalamnya tarik ulur antar keyakinan berjalin kelindan, sampai bagaimana dulu para ulama berhasil menjadikan Islam sebagai elan vital dalam kebudayaan Jawa. Buku dari Raden Tanoyo, salah seorang budayawan kraton Solo tentang Tata Cara Pikurmatan Mayit mituru Tiyang Jawi Abangan, mungkin lebih cerdas dalam menggambarkan bagaimana tata cara perawatan jenazah dan pemakaman menurut syari’at Islam itu menjadi salah satu pintu masuk “Islamisasi” orang Jawa yang berprinsip mikul dhuwur mendhem jero terhadap para leluhur.
Namun, seiring carut-marut yang mendera negeri ini, mudah-mudahan kita semua mau belajar. Dan saya yakin, sebab dalam dua tahun terakhir ini saya mulai menjumpai karya dari anak bangsa yang mencoba memberikan solusi “domestik” yang sering mereka lupa. Sebab selama ini semua agenda kita adalah agenda import. Para akademisi kita yang selama ini mengkudeta musyawarah dan mufakat, dan menggantinya dengan demokrasi, itupun liberal mulai berfikir tentang konsep indigenous democracy. Walaupun kalau dicermati, sebagai Dasar Negara, Pancasila tidak pernah mengamanatkan demokrasi, pancasila mengamanatkan “musyawarah” sebagaimana tercermin dalam Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan dan perwakilan. Namun karena konsep Musyawarah yang tercermin dalam lembaga Syura itu berasal dari Islam maka beberapa pihak terkesan Jaim dan alergi sehingga lebih memilih demokrasi, dan susahnya yang dari pihak Islampun tidak pernah mengelaborasi konsep Syura ini. Jadi jas bukak iket blangkon, sama juga sami mawon.
Arif Wibowo
No comments:
Post a Comment