Ki Precet dan Kekejaman KNIL di Solo
Jika ada semacam survei, saya tak yakin jika dari 10 orang yang
ditanyai di manakah letak Kampung Precetan bakal bisa menunjukkan.
Sekalipun yang ditanyai orang yang ber-KTP Solo. Bahkan belum tentu juga
wong kampung itu tahu persis letaknya, apalagi asal-usul mengapa
kampung yang menjadi bagian dari Kelurahan Sriwedari itu bernama
Precetan.Kampung Precetan merupakan nama lain atau tepatnya nama genuin
dari RW II Kelurahan Sriwedari, Kecamatan Laweyan. Nama kampung yang
berasal dari nama kamitua kampung itu, Ki Precet memang sudah tergilas
dengan nama jalan atau nomor RW dan RT. Ki Precet konon merupakan
seorang begal yang memiliki kesaktian tidak bisa ditangkap oleh
siapapun karena setiap kali ditangkap selalu mrucut atau mrecet
(lolos).
Aura kesaktian itu konon masih sempat dinapaki oleh maling-maling yang bergentayangan di Kota Solo beberapa tahun silam. Para pencoleng itu berusaha untuk lari menuju ke arah makam Ki Precet yang terletak di pinggir Jalan Abiyoso dekat GOR Bhinneka Sritex karena kalau bisa mendekati makam itu mereka bisa meloloskan diri. Tentu mitos ini tak bisa dibuktikan secara otentik, tetapi begitulah cerita lisan yang dulu kala pernah beredar. Tentu saja hanya kalangan para tetua kampung. Namun yang jelas, makam itu sampai kini masih dihormati karena masih ada yang bersedia menziarahi dengan menaburkan bunga di atasnya.
Di kampung yang lokasinya membentang mulai dari Pasar Kembang ke utara hingga jalan Kebangkitan Nasional kemudian ke barat hingga Jalan Abiyoso dan ke selatan hingga Jalan Dr Radjiman ini juga menyimpan kisah tragis pada masa revolusi fisik yang nyaris tak bisa ditemukan di buku-buku pelajaran sekolah, sekalipun sekolahan di Kota Solo. Bahkan mungkin sekolahan yang ada di Kelurahan Sriwedari.
Pada tanggal 11 Agustus 1949, atau hanya sehari berselang peristiwa pertempuran 4 hari di Solo yang dipimpin Letkol Slamet Riyadi, sebanyak 23 warga Kampung Precetan disembelih tentara pendudukan Belanda. Mereka menjadi korban kemarahan tentara KNIL yang kehilangan salah satu anggotanya dan ketika ditemukan sudah menjadi mayat tanpa kepala di dekat Pasar Kembang.
Tentara Belanda yang murka karena dihajar Tentara Pelajar (TP) selama empat hari serta mendapati kawannya dipenggal kepalanya, membalas dengan tindakan keji. Mereka membunuhi siapapun yang ditemui di sekitar Pasar Kembang, tak peduli masih kanak-kanak atau pun perempuan, rakyat yang tak berdosa itu disembelih sebagai pelampiasannya.
Tragedi itu diabadikan dengan dibangunnya monumen Setya Bhakti pada tahun 1986. Nama-nama korban dipahatkan. Pembangunan monumen itu tentu bertujuan untuk mengingatkan kepada siapapun bahwa kemerdekaan negeri ini memerlukan banyak tumbal pengorbanan. Tetapi monumen itu hanya akan menjadi benda mati tanpa makna jika tak pernah mau digali kisah yang melingkupinya.
Kita sudah terlampau bebal dengan sejarah bangsa ini karena mengabaikan yang ada di sekitar kita sendiri. Kita takut dibilang kuper karena mempedulikan yang ada di sekeliling kita tetapi begitu meracaunya terhadap hal yang jauh dari jangkauan. Kita takut dituduh bid’ah karena menularkan cerita-cerita lisan dari orang tua-orang tua kita sembari mem memaksakan diri untuk menerima cerita dari Timur Tengah. (***)
Imronrosyid
Aura kesaktian itu konon masih sempat dinapaki oleh maling-maling yang bergentayangan di Kota Solo beberapa tahun silam. Para pencoleng itu berusaha untuk lari menuju ke arah makam Ki Precet yang terletak di pinggir Jalan Abiyoso dekat GOR Bhinneka Sritex karena kalau bisa mendekati makam itu mereka bisa meloloskan diri. Tentu mitos ini tak bisa dibuktikan secara otentik, tetapi begitulah cerita lisan yang dulu kala pernah beredar. Tentu saja hanya kalangan para tetua kampung. Namun yang jelas, makam itu sampai kini masih dihormati karena masih ada yang bersedia menziarahi dengan menaburkan bunga di atasnya.
Di kampung yang lokasinya membentang mulai dari Pasar Kembang ke utara hingga jalan Kebangkitan Nasional kemudian ke barat hingga Jalan Abiyoso dan ke selatan hingga Jalan Dr Radjiman ini juga menyimpan kisah tragis pada masa revolusi fisik yang nyaris tak bisa ditemukan di buku-buku pelajaran sekolah, sekalipun sekolahan di Kota Solo. Bahkan mungkin sekolahan yang ada di Kelurahan Sriwedari.
Pada tanggal 11 Agustus 1949, atau hanya sehari berselang peristiwa pertempuran 4 hari di Solo yang dipimpin Letkol Slamet Riyadi, sebanyak 23 warga Kampung Precetan disembelih tentara pendudukan Belanda. Mereka menjadi korban kemarahan tentara KNIL yang kehilangan salah satu anggotanya dan ketika ditemukan sudah menjadi mayat tanpa kepala di dekat Pasar Kembang.
Tentara Belanda yang murka karena dihajar Tentara Pelajar (TP) selama empat hari serta mendapati kawannya dipenggal kepalanya, membalas dengan tindakan keji. Mereka membunuhi siapapun yang ditemui di sekitar Pasar Kembang, tak peduli masih kanak-kanak atau pun perempuan, rakyat yang tak berdosa itu disembelih sebagai pelampiasannya.
Tragedi itu diabadikan dengan dibangunnya monumen Setya Bhakti pada tahun 1986. Nama-nama korban dipahatkan. Pembangunan monumen itu tentu bertujuan untuk mengingatkan kepada siapapun bahwa kemerdekaan negeri ini memerlukan banyak tumbal pengorbanan. Tetapi monumen itu hanya akan menjadi benda mati tanpa makna jika tak pernah mau digali kisah yang melingkupinya.
Kita sudah terlampau bebal dengan sejarah bangsa ini karena mengabaikan yang ada di sekitar kita sendiri. Kita takut dibilang kuper karena mempedulikan yang ada di sekeliling kita tetapi begitu meracaunya terhadap hal yang jauh dari jangkauan. Kita takut dituduh bid’ah karena menularkan cerita-cerita lisan dari orang tua-orang tua kita sembari mem memaksakan diri untuk menerima cerita dari Timur Tengah. (***)
Imronrosyid
No comments:
Post a Comment