Dracula: Manusia Pembantai yang Tersembunyi Dibalik Lembaran Fiksi
Selama ini sosok Dracula identik dengan cerita-cerita fiksi. Tokoh yang berperangai kejam dan memiliki kegemaran menghisap darah. Namanya telah melegenda ke seantero dunia. Nama Dracula mampu dikenal oleh anak-anak hingga orang dewasa. Kemunculan mitos Dracula barangkali tak terlepas peran para sastrawan maupun sineas barat yang telah mempopulerkan namanya lewat cerita-cerita dan film. Sehingga, tercetaklah pada ingatan setiap orang yang mengenal namanya merupakan sesosok siluman berjubah hitam, berperangai kejam, memiliki gigi taring yang sewaktu-waktu dapat memanjang untuk menghisap darah korban-korbannya. Seiring perkembangan cerita, variasi karakter Dracula tidak hanya ditampilkan dengan sosok lelaki berjubah saja, tapi ada juga perempuan-perempuan penghisap darah sebagai lawan main si Dracula pria. Kemudian semakin ngelantur lagi, sineas barat membuat kisah percintaan antara Dracula dan manusia. Dan anehnya, film ini amat digandrungi oleh para kawula muda. Lantas, sang karakter Dracula tersebut menjadi idola yang dielu-elukan.
Kebodohan akan mengakar sepanjang zaman, bila sejarah tidak membuka tabir kebenaran yang sesungguhnya.
Apabila anda tahu siapa sosok Dracula sebenarnya, pastilah akan berpikir seribu kali atau bahkan memuntahkan mentah-mentah pandangan kekaguman anda selama ini terhadap sosok yang semakin kesini (sekarang) dikultuskan sebagai pahlawan atau tokoh idola. Terlebih bila anda adalah seorang muslim. Karena cerita ini erat kaitannya dengan sejarah masa lalu umat Islam.
Dracula bukanlah mitos atau siluman yang takut pada cahaya matahari. Bukan pula sosok hantu yang dapat terkalahkan oleh salib dan bawang putih. Kemunculan Dracula versi ini memang mitos yang memang sengaja diciptaka oleh penulis-penulis dan sineas barat. Padahal, sosok Dracula benar-benar nyata dan dia adalah manusia. Manusia bengis yang tabiat aslinya tertutupi oleh lembaran cerita fiksi.
Lalu, siapakah sebenarnya Dracula? Mengapa sejarah membelokan kisahnya menjadi mitos?
Vlad Tsepes III (1431-1476) atau lebih popular dengan nama Dracula dilahirkan di Transylvania, Rumania. Tidak ada catatan tertulis tanggal berapa dia dilahirkan. Sedangkan bulan kelahirannya para sejarawan memperkirakan pada bulan Nopember atau Desember. Ia merupakan anak kedua dari Vlad II sebagai buah perkawinannya dengan Cjeajna, seorang putri dari Moldavian.
Sebagai darah biru selain mendapatkan pelajaran agama, Dracula juga mempelajari ilmu sosial dan eksakta. Namun kegemarannya bukan pada ilmu-ilmu itu melainkan pada kemampuan berperang. Sepanjang hari selain belajar ketrampilan menunggang kuda, ia juga gemar berkelahi.
Karakter Dracula yang dingin dan suka berkelahi kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Ia tumbuh di lingkungan yang hingar bingar dengan perang. Hampir setiap saat ia saksikan prajurit yang pulang perang dengan berbagai kondisi – ada yang sehat bugar, kehilangan anggota badan, banyak juga yang sudah tidak bernyawa. Melihat kondisi tersebut mau tidak mau kesadaran bocahnya mencecap yang terjadi di sekitarnya.
Masa kecil Dracula memang tidak berlangsung lama. Pada usia 11 tahun ia harus tercerabut dari mimpi bocahnya. Ini terjadi karena perang, Konsekuensi dari hutang budi terhadap Kesultanan Turki Utsmani mengharuskan Vlad II memberikan jaminan. Sebagai jaminan kesetiaan ia mengirim Dracula dan Randu – adiknya ke Turki. Selama di Turki , kedua anak tersebut dididik secara Islam sesuai dengan Tradisi Turki. Selain belajar agama di madrasah mereka juga belajar ketrampilan perang. Seiring dengan perkembangan waktu kedua anak tersebut berkembang dengan karakter masing-masing. Dracula berkembang menjadi pribadi pembangkang dan berperangai keji. Sedangkan Randu Tumbuh menjadi anak yang patuh.
Selain sikap pemberontakannya yang menjadi-jadi, sifat-sifat keji Djuga semakin terasah. Di Turki, salah satu acara kegemarannya adalah saat-saat pemancangan kepala manusia yang diadakan di alun-alun kota. Setiap minggu, para penjahat kelas berat atau pengkhianat dihukum pancung. Salah satu orang yang berada di antara kerumunan penonton adalah Dracula. Ia akan menyaksikan acara tersebut sampai selesai.
Bibit-bibit kekejian Dracula juga tercermin dari kebiasaannya menyunduk binatang. Setiap tidak ada kegiatan kebiasaan Dracula akan menangkap binatang yang ada di sekitarnya, entah itu tikus, kecoak, laba-laba, burung atau hewan lainnya. Binatang yang telah ia tangkap tersebut kemudian ia sunduk seperti penjual sate menyunduk irisan-irisan daging kambing. Dracula akan sangat puas ketika melihat binatang tersebut menggelepar-gelepar menunggu ajal. Begitulah kehidupan Dracula ketika di Turki.[1]
Dracula vs Sultan Muhammad II
Berpuluh-puluh tahun kemudian, terjadi konflik antara Vlad II (penguasa Wallachia) dengan John Hunyadi. Pertentangan ini berujung pada kematian Vlad II dan Mircea, kakak Dracula. Melihat perubahan politik di daerah tersebut, maka Sultan Turki Muhammad II mengirim pulang Dracula dengan dikawal ribuan perajurit Turki Utsmani ke Wallachia untuk merebut tahta. Dalam pertempuran melawan Dan II – penguasa baru Wallachia, Dracula mengalami kemenangan. Akhirnya, Dracula dinobatkan sebagai penguasa Wallachia.
Seperti kacang lupa kulitnya, setelah berhasil naik tahta Dracula justru membantai prajurit Turki Utsmani yang telah membantunya. Mereka dibunuh dengan cara keji, yaitu disula. Peristiwa inilah yang menjadi titik pangkal pertentangan antara Dracula dan Muhammad II. Pada perkembangannya Dracula bertolak yang dulunya bagian dari tentara Islam di Turki, kemudian berbalik menjadi tentara salib yang berdiri di garda depan melawan umat muslim serta dengan keji membantai mereka. Di akhir hidupnya, Dracula tewas terpenggal kepalanya dalam pertempuran di Danau Snagov melawan pasukan Muhammad II. Kemudian kepala Dracula yang tepenggal di bawa ke Konstantinopel sebagai bukti bahwa dia telah terbunuh. Oleh Sultan Muhammad II kemudian kepala tersebut dipancang di tengah alun-alun selama beberapa hari. Setelah peristiwa ini, para sejarawan berbeda pendapat tentang keberadaan kepala Dracula. Kuburan Dracula pun sampai kini masih tetap menjadi misteri.[2]
Dracula dan Kekejaman Menyula
Sepanjang referensi buku sejarah perang dan pembantaian yang dilakukan oleh para diktator terdahulu, penulis berani menyimpulkan bahwa Dracula menempati posisi pertama manusia terkejam dibanding penguasa tiran lainnya. Padahal, sebelumnya penulis telah membayangkan Stalin adalah sosok terkejam, tapi ia tereliminasi oleh sosok Dracula. Keanehan ini memunculkan tanya, banyak tokoh-tokoh yang diungkap kekejaman rezimnya dalam buku-buku sejarah. Sebut saja Hitler, Stalin, Idi Amin, rezim Pol Pot, atau Rezim Mao. Tapi, mengapa buku-buku yang mengungkap kekejian Dracula tak bermunculan se-masif para diktator yang lain? Mengutip Hyphatia Cneajna, penulis buku “Dracula, Pembantai Umat Islam dalam Perang Salib”, hal ini dikarenakan dua sebab, Pertama, pembantaian yang dilakukan Dracula terhadap umat Islam tidak bisa dilepaskan dari Perang Salib. Negara-negara barat pada masa Perang Salib menjadi pendukung utama pasukan salib tidak mau tercoreng wajahnya. Mereka yang getol mengorek-orek pembantaian Hitler dan Pol Pot akan enggan membuka borok mereka sendiri.
Kedua, Dracula merupakan pahlawan bagi pasukan Salib. Betapapun kejamnya Dracula maka dia akan selalu dilindungi nama baiknya. Dan Hypatia mengungkapkan jumlah umat Islam yang menjadi korban pembantaian Dracula mencapai 300.000 manusia (selain beberapa penduduk Wallachia yang tunduk di bawah rezimnya). Pembantaian tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang terbilang teramat biadab, seperti dipaku kepalanya, dibakar hidup-hidup, dikuliti hidup-hidup, direbus dalam bejana besar, dikerat payudaranya, dirusak kelaminnya, dimangsakan binatang buas, dicekik, dipotongg anggota badannya, diseret menggunakan kuda, sampai tingkat yang paling kejam dan alasan penulis memposisikan Dracula sebagai tiran terkejam sepanjang masa ialah penyiksaan dengan cara penyulaan, yaitu seseorang ditusuk hidup-hidup dari mulai pangkal anus hingga kepala dengan menggunakan kayu sebesar lengan yang telah dilancipkan. Setelah ditusuk dari anus kemudian dipancangkan begitu saja sehingga kayu sula menembus perut, kerongkongan hingga kepala. Sungguh, penulis tidak berani membayangkan betapa sakitnya korban-korban penyulaan tersebut yang tidak hanya ditujukan pada orang dewasa, melainkan anak-anak dan bayi.
Tuntas sudah obsesi masa kecil Dracula yang memiliki kegemaran menyula binatang. Setelah menginjak dewasa dan memiliki kekuasaan Dracula kian menjadi-jadi, kekejamannya melebihi binatang. Ditegaskan lagi, Dracula bukanlah fiksi, Dracula memang ada dan dia adalah manusia, bukan hantu atau siluman.
Orhan Basarab, Sultan Mehmed II Sang Pembantai Dracula, Darul Ikhsan, Yogyakarta, hlm. 86 dan 89-92
No comments:
Post a Comment