Napak Tilas Para Pejuang-Pejuang Lasem: Raden Mas Panji Margono dan Oe Ing Kyat

Siang itu 13 Oktober 2013 udara begitu panas, untungnya saja masih diselingi angin sepoi-sepoi dari arah timur tapi tak membuat sedikitpun rasa putus asa dari kami untuk membatalkan perjalanan. Mengantarkan kami pada Desa Dorokankang, Lasem(Jawa Tengah) untuk mengunjungi makam para pejuang-pejuang Lasem dalam perang melawan kolonialisme. Adalah Raden Mas Panji Margono salah satu pejuang Lasem yang memimpin pasukan bumi putra Lasem atau disebut dengan Laskar Nayasentika untuk mengusir para kompeni-kompeni belanda ditanah Lasem.

Menuju ke makam beliau, harus melewati jalan-jalan kecil Desa Dorokandang Lasem yang kondisinya cukup memprihatinkan. Banyak jalan yang berlubang, bahkan ada juga yang tidak beraspal. Dibawah pohon-pohon yang cukup besar dikelilingi rumah-rumah penduduk disitulah Raden Mas Panji Margono bersemayam. Nampak batu nisan berwarna hitam pekat danpagar yang mengelilingi menjadi satu-satunya penanda, bahwa disitulah ada sosok pahlawan lasem dikebumikan. Tak ada plang atau tulisan, hanya saja penunjuk arah dari jalan raya dan dalam desa menuju ke makam.

Udara semakin panas, terik mentari tepat diatas kepala membuat rasa lelah menyelimuti perjalanan kami bersama FOKMAS lasem dan para pelajar-pelajar SMA. Selepas itu suara pak agus dari FOKMAS lasem memberikan materi tentang kisah perjuangan R.M Panji Margono kepada kami disekelilingnya. “Tepat didepan kita adalah makam dari pejuang Lasem yang sebenarnya layak kita sebut sebagai pahlawan nasional” suara beliau menggetarkan semangat kami para pemuda. “Raden Mas Panji Margono adalah keturunan ningrat, tetapi ia melepas keningratannya, kemudian membaur kepada rakyat pribumi untuk merasakan penderitaan akibat adanya penjajah Belanda di Lasem. Kemudian beliau memimpin sutau gerakan bersama-sama dengan para laskar lain, ada dari kalangan santri sampai etnis Thionghoa” lanjut beliau. “R.M. Panji Margono adalah pemimpin Laskar Nayasentika yang berjuang mati-matian mengusir penjajah di tanah Lasem” serentak kami para penggiat sejarah merasa terpanggil untuk berjuang. Udara yang tadi begitu panas, terik mentari yang terasa diujung kepala lambat laun memuai dan tak terasa. Yang ada hanyalah rasa semangat menggelora dalam dada dan merasa malu pada diri sendiri yang masih muda tetapi belum megerti dan memahami arti perjuangan yang sesungguhnya serta melakukannya. Nampaknya cukup jelas untuk sumber inspirasi atas apa yang sudah diperbuat Raden Mas Panji Margono terhadap tanah airnya.

Perjalanan dilanjutkan, menyusuri kota Lasem dari sudut terlintas rumah-rumah Thionghoa yang tertata rapi ditambah tembok-tembok menjulang keatas yang identik dengan rumh khas etnis Thionghoa. Banyak sekali lampion dipasang dijalan-jalan, bahkan di salah satu mushola beraksitektur Thionghoa dipasang pernak pernik lampion. Ini menunjukan kota Lasem adalah kota yang penuh dengan toleransi antar umat beragama, etnik dan ras. Semua agama yang diakui negara Indoesia berada juga di Lasem, buktinya mulai dari menjulang tingginya gereja, klenteng, masjid, sampai wihara berada di Lasem. Masyarakat lasem adalah masyarakat yang terbuka, lerlihat dari hangatnya senyuman saat rombongan kami bergerak dari desa ke desa untuk menuju makam pejuang Lasem lainnya, Oe Ing Kyat.

Makam Oe Ing Kyat berbeda dengan R.M. Panji Margono yang terletak ditengah-tengah rumah penduduk dan relatif mudah dijangkau. Akan tetapi berbeda sebaliknya dengan oe ing kyat, makamnya terletak dipuncak gunung bugel, Desa Warugunung Pancur. Penuh perjuangan dari kami para rombongan pegiat sejarah Lasem dan sejumlah pelajar. Jalan terjal dan berbatu mengahadang, tetapi itu tak merontokan semangat kami. Saya , Mas Eko, Mas Rahman dari sejarah Unnes merasa terpanggil jiwa kami dan semangat sebagai bentuk perjuangan dan dedikasi Oe Ing Kyat terhadap Lasem. Begitupun juga Mas Pandu, Pak Yon dan ketua Fokmas Lasem serta para rombongan dari berbagai sekolah mereka begitu semangatnya menapakan kaki langkah demi langkah yang berat untuk menuju makam.

Dan perjuangan kami-pun sampai ke ujungnya, nampak seperti rumah dengan dinding krawang-krawang (Lubang-lubang) dari bambu dialasi mester semen, berdiri. Disana pahlawan Thionghoa Lasem yang memeluk Agama Islam dikebumikan. Tampak sederhana, tapi tak membuat sedikitpun kurangnya rasa penasaran kami terhadap Oe Ing Kyat.

“Tumenggung Widyaningrat atau Oe Ing Kyat adalah mantan adipati Lasem yang memimpin pasukan Cina mengusir penjajah Belanda bersama dengan Raden Mas Panji Margono; Kyai Badawi atau Mbah Joyo Tirto; Ki Naya Gimbal; Pengeran Surya Kusuma dan para pemimpin lain. Mereka bahu mambahu mengumpulkan para laskar-laskar di alun-alun depan masjid jami’ Lasem untuk bersiap-siap melakukan peperangan” tutur Mas Pandu yang sesuai dengan namanya ia memandu kami dari rombongan Unnes tentang sepak terjang Oe Ing Kyat. “Disini dipuncak Gunung Bugel, Oe Ing Kyat beserta laskarnya bermarkas. Mereka memilih tempat ini guna tidak ketahuan Belanda selain itu bisa mengawawasi datangnya musuh ke arah Lasem” tutur Mas Pandu, dan dilanjutkan “Para pemimpin Lasem banyak yang menyebar kewilayah-wilayah ujung Lasem, ada yang bermarkas di Dasun dekat pantai, ada di timur dan barat, mereka berjaga di empat arah mata angin. Inilah siasat yang dipakai para pejuang kita dalam perang”. Lantas rasa merinding dibenak kami membayangkan suasana yang terjadi pada masa itu.

Udara yang segar di puncak gunung membuat rasa malas kami timbul untuk segera turun kebawah. Obrolan demi obrolan kami dengan Mas Pandu membuat rasa malas kami memudar tatkala ia menceritakan kekalahan para pejuang Lasem. Sambil turun, selangkah demi selangkah kaki kami diiringi pula dengan obrolan-obrolan. “Peperangan tidak seimbang, antara pemerintah Kolonial Belanda-yang dibantu oleh adipati Citrasoma dari Tuban-dengan para pemberontak Lasem ini menjadi penyebab kekelahan para pemberontak. Satu per satu tokoh-tokoh pemberontak gugur dan tertangkap. Mantan adipati Lasem tumenggung Oe Ing Kyat, Raden Panji Margana, Kyai Ali Badawi dan tokoh-tokoh lain gugur dan tumbang” tutur Mas Pandu yang berjalan didepan, karna lebar jalan hanya cukup untuk satu orang.

Diakhir perbincangan kami dengan Mas Pandu, ia berkata “Sebenarnya sejarah kita itu luar biasa bila dikaji, para tokoh pejuang kita sangat luar biasa bila kita dapat menginspirasinya. Tapi pihak Belanda sangat cerdik dalam strategi, ia menghilangkan sumber sejarah perjuangan para Laskar Lasem. Dan semua para pejuang Lasem dalam tahun ketahun di namakan sebagai berandal oleh Belanda, itulah agar para penduduk tidak mau meniru dan menginspirasi.  padahal sebenarnya perjuangan dan dedikasi tokoh-tokoh pemimpin tersebut layak disebut pahlawan nasional” tutur mas pandu mengakhiri. Bersamaan dengan itu rasa malu dari kami sebagai generasi muda tambah membuncang. Dari tahun ketahun tak ada dedikasi kami sebagai mahasiswa sejarah untuk negeri. Kami merasa malu jika setelah perjalanan ini kami tak merubah diri untuk lebih menghargai sejarah, menanamkan jiwa patriotik dan berjuang untuk membangun negeri kedepannya.

Rasa lapar dan lelah mengantarkan kami ke Masjid Jami’ Lasem untuk beristirahat. (Exsan)

No comments: