Lahirnya Nahdhatul Ulama Muslimah tidak bisa dipisahkan dari KH. Wahab Hasbullah dan KH.M Dahlan. Ibarat bayi yang baru lahir, maka mereka berdualah yang menjadi dokter dan bidan NUM
Sukarelawati Muslimat NU
TAK sedikit kaum hawa Indonesia yang bercerai dengan masa lalunya. Melompat dari ruang hampa ke masa kini. Jadi merasa asing sendiri, minder, kikuk, linglung, dan merogoh-rogoh identitas semu. Mengekorlah mereka dengan feminisme, misalnya. Dan jadilah mereka seorang yang –dalam bahasa Hamid Fahmy Zarkasyi
– feminus alias kurang iman.
Andai mereka bersedia rujuk dengan sejarah, mereka akan menemukan identitas yang jelas dari para pendahulunya. Kaum muslimah yang berpijak, beranjak, dan berjejak membela agama dan negaranya.
Kala itu, pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang, kuku-kuku tajam penjajah rupanya masih mencengkeram. Semangat kemerdekaan yang meluap-luap dalam diri rakyat, menggolakkan pertempuran di berbagai tempat. Salah satu Ormas Islam, Nahdlatul Ulama (NU) bahkan sampai mengeluarkan resolusi jihad, “bahwa mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Islam termasuk sebagai suatu kewadjiban mutlaq bagi tiap2 orang Islam laki2 dan perempuan.” Perlawanan rakyat 10 November 1945 pun akhirnya meletus di Surabaya. Kaum Nahdiyyin dan Nahdiyyat ikut mempertahankan kemerdekaan dengan segala apa yang ada. NU bergabung dalam pasukan-pasukan pejuang Hizbullah dan Sabilillah memanggul senjata melawan musuh (Aisjah Dachlan, 1955: 45).
Semangat perjuangan
fi sabilillah (di jalan Allah) yang dihidupkan para ulama menerjunkan anak-anak muda dan kaum ibu NU ke gelanggang perjuangan. Jika kaum laki-laki berjuang di garis depan, maka kaum ibu berjuang di garis belakang. Kaum ibu bekerja di di berbagai lapisan seperti dapur umum, palang merah, mengumpulkan pakaian dan makanan, memberi penerangan ke sana sini, serta menghidupkan semangat perjuangan melawan musuh (Aisjah Dachlan, 1955:47).
Sebagaimana organisasi-organisasi perjuangan yang diikuti perempuan Indonesia, sebut saja GPII Putri, Muslimaat Masjumi, BPRI, dan Pesindo, maka NU pun mengorganisir perempuan-perempuannya. Kaum perempuan disusun NU agar menjadi barisan imaadul bilaad karena perempuan itu laksana tiang negeri. Apabila dia baik, negerinya baik. Dan apabila dia rusak, negerinya pun rusak binasa (Moeslimat Soekaradja, 1940:14). Perempuan-perempuan ahlussunnah wal jamaah digerakkan NU menurut ajaran Islam agar turut menyerahkan darma baktinya membela tanah air, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, “Perempuan memikul kewajiban-kewajibannya seperti kewajibannya laki-laki.” dan “Laki-laki mendapat bagian dari usahanya, perempuan pun mendapat bagian dari hasil kerjanya.” Oleh karena itu, meski negara dalam keadaan diserang, maka Muslimaat NU pun diwajibkan berjuang mempertahankan kemerdekaan sesuai dengan kodrat dan iradat sebagai perempuan (Aisjah Dachlan, 1955:46).
Setelah kaum ibu Muslimaat NU turut menyingsingkan lengan baju mempertahankan kemerdekaan, tiba masanya mereka menjalani peran dalam organisasi. Maka pada Kongres NU ke XVI di kota Purwokerto, tanggal 23-26 Rabiul Akhir 1365, bertepatan dengan tanggal 26-29 Maret 1946, rencana menjadikan Muslimaat bagian dari NU dimajukan dalam Kongres. Kongres itu secara aklamasi (suara bulat) memutuskan Muslimaat termasuk bagian dari NU dan diresmikan dalam rapat pleno terakhir, 26 Rabiul Akhir 1365/ 9 Maret 1946, dengan singkatan nama NUM (Nahdlatul Ulama Muslimaat) (Aisjah Dachlan, 1955:47).
Ketua NUM Nj. Chadidjah saat itu kemudian menjelaskan dasar perjuangan mereka,
“…. sebenarnya kita perempuan Islam terutama zaman pembangunan sebagaimana sekarang ini tidak boleh tinggal diam, dan tidak boleh menonton para kaum laki-laki yang sedang berjuang untuk meluhurkan agama Allah. Tetapi juga kaum perempuan harus membantu dan memperkuat barisan NU. Karena apa NU harus dibantu? Ya karena memang lapangan pekerjaan itu luas sekali dan berat…
Ketahuilah bahwa setengah dari kekawatiran yang besar ialah orang yang menjauhkan diri dari mengumpuli ‘Ulama, tentu jauh pula ia dari pada agama, sebagaimana orang-orang yang tinggal di desa-desa yang tiada orang ‘Alimnya yang mereka tidak tahu pada orang ‘Alim, pun begitu sebaliknya dan sebagai pula penggembala lembu atau para pekerja-pekerja yang hanya mengetahui pekerjaannya saja serta tidak mau pada lainnya, atau dalam golongan mereka itu terdapat orang ‘Alimnya, tetapi mereka tidak mau mencampurinya, atau mereka tidak mau tunduk padanya dan tidak mau memetik ilmunya.
Sesungguhnya mereka itu dalam umumnya tidak mengetahui Tuhan. Tidak pula Rasul dan tidak pula Agama…maka kewajiban yang dihadapi NU itu besar sekali, minta tenaga yang cukup banyaknya guna beramar ma’ruf dan nahi munkar, dan menuntun ummat Islam yang demikian sifatnya itu… Kalau menilik ummat Islam Indonesia ini begitu besar jumlahnya yang tidak mengerti urusan agamanya, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan kaum perempuan lebih banyak yang kurang perhatiannya pada agama, maka tepat benar Nahdlatul ‘Ulama membentuk bagian perempuan. Al-Mukminuuna wal mukminatu ba’dluhum auliyau ba’di ta’muruna bil ma’rufi wa tanhauna ‘anilmunkar al ayat.” (
Tim Penyusun Muslimat NU, 1979: 57-58).
Lahirnya NUM tidak bisa dipisahkan dari KH. Wahab Hasbullah dan KH.M Dahlan. Ibarat bayi yang baru lahir, maka mereka berdualah yang menjadi dokter dan bidan NUM. Mereka mengerti dan terus mengamati kapan bayi itu akan lahir. Maka saat tiba waktunya, mereka mendorong, memimpin, dan membimbing dengan tidak menghiraukan rintangan dari kanan dan kiri. Kini bayi NUM telah lahir sehat dan segar bugar. Sebagai dokter dan bidan, mereka tidak tega meninggalkan bayi NUM yang baru lahir itu sendirian. Maka diasuhlah NUM, diberi petunjuk, dipimpin, dan dibimbing, diluruskan jalannya, ditolong kalau mau jatuh, dibesarkan hatinya, dikobarkan semangatnya, sehingga NUM dapat berjalan sedikit demi sedikit (Tim Penyusun Muslimat NU, 1979:46). Dalam kiprahnya untuk negeri tak sedikit yang telah mereka curahkan. Dari politik sampai pendidikan
Muslimat NU: Bakti untuk Negeri
Pada 2 Oktober 1965 NUM menyatakan sikapnya atas peristiwa Pemberontakan 30 September. Mereka mengutuk pelaku-pelakunya sebagai pengkhianat dan meminta pemerintah menindak pelakunya
Menumpas PKI
Menjelang peristiwa pemberontakan PKI di tahun 1965, NUM terlibat
dalam kegiatan ekstra sejak tahun 1964. Pimpinan-pimpinan NUM mengikuti
kursus-kursus kader revolusi dan kursus kader lain-lainnya. Secara
khusus sekitar bulan November 1964, NUM menyelenggarakan latihan
sukarelawati bertempat di pusat pendidikan HANSIP PUSAT di Jalan Salemba
Raya dan diikuti oleh pimpinan Muslimat dan Fatayat NU se-Indonesia,
dengan pimpinan latihan Ny. Saifuddin Zuhri dan pimpinan asrama Ny.
Chadidjah Imron Rosjadi. Dalam latihan ini, selain mendapat pelajaran
kemiliteran seperti baris berbaris, pelajaran menggunakan senjata
(latihan tembak di lapangan tembak Cibubur), bongkar pasang senjata
dengan mata tertutup, dan lain sebagainya (Tim Penyusun Muslimat NU,
1979:67).
Pada 2 Oktober 1965 NUM menyatakan sikapnya atas peristiwa
Pemberontakan 30 September. Mereka mengutuk pelaku-pelakunya sebagai
pengkhianat dan meminta pemerintah menindak pelakunya. Kemudian pada5
Oktober 1965, NUM diwakili oleh Ny. Hj. Solehah A Wahid Hasjim
menandatangani pernyataan PBNU yang isinya mengutuk pengkhianatan G 30 S
PKI. Lebih dari itu, Ny. Hj. Solehah A Wahid Hasjim meminta agar
menindak dan membubarkan PKI beserta mantel organisasinya. Pada bulan
Oktober, NUM juga membuat pernyataan agar Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (P&K) membubarkan Taman Kanak-Kanak “Melati” (milik
Gerwani) dan supaya Pemerintah mengambil alih TK itu. Usul NUM itulalu
disetujui oleh Menteri P&K dan didukung Kongres Perempuan Indonesia
(KOWANI).
Pada 8 November 1965, perempuan ibukota yang tergabung dalam front
pancasila menyelenggarakan demonstrasi menuntut pembubaran PKI dan
mantel organisasinya. Seperti diketahui, seksi perempuan Front Pancasila
dipimpin Ny.H.Asmah Sjachruni dari NUM dan Ny.Arudji Kartawinata dari
perempuan PSII. Ny.H. Asmah Sjachruni juga menjadi salah satu pimpinan
di Kesatuan Aksi Perempuan Indonesia (KAWI). KAWI telah melakukan
gerakan “Perjuangan Hanura” dengan TRITURA-nya yaitu: bubarkan PKI,
bubarkan kabinet, dan turunkan harga. KAWI akhirnya bubar seiring
tuntutan prinsipil terwujud, dan semua anggota serta pimpinannya kembali
ke induk organisasinya masing-masing (Tim Penyusun Muslimat NU,
1979:68-69).
Menentang Penyimpangan RUU Perkawinan
Atas inisiatif Ny. Sumari dkk., pada tahun 1957, diajukan kepada DPR
sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan. Usui ini oleh fraksi NU
dan fraksi lainnya ditentang karena isinya secara keseluruhan dianggap
menyimpang dari hukum-hukum perkawinan yang telah diatur dalam Islam.
Ny.H.Machmudah Mawardi dari fraksi NU dan Ny. Sunaryo Mangunpuspito dari
fraksi Masyumi tampil sebagai juru bicara yang menolak usul tadi.
Sementara itu Ny. Sutiyah dari PNI dan Umi Sarjono dari PKI mendukung
RUU Perkawinan tersebut. Akhirnya RUU perkawinan usulan Ny. Sumari dkk.
itu berhasil dikandaskan.
Upaya-upaya menggulung Hukum Islam di tanah air tak pernah surut.
Termasuk kembali melalui UU Perkawinan. Sewaktu DPR hasil pemilu 1971
membicarakan RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah (Menteri Agama
Prof Dr Mukti Ali), kembali organisasi perempuan mengalami pergolakan
antara yang pro dan kontra. RUU ini oleh umat Islam dinilai memuat
pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum Islam (mengubah hukum Islam)
dan membuat ketentuan-ketentuan yang memungkinkan laki-laki dan
perempuan dapat hidup bersama di luar pernikahan.
Fraksi PPP dalam DPR tampil dengan juru bicaranya Ny. H. Asmah
Scahruni (Ketua Umum PP NUM) sebagai pihak yang menentang RUU tersebut,
sedangkan Golkar dengan juru bicara Ny. Nelly Adam Malik mendukung RUU
ini.
Keputusan akhir dari perdebatan ini adalah diterimanya RUU Perkawinan
tersebut setelah seluruh pasal yang bertentangan dengan agama Islam
disesuaikan dengan hukum yang sah (Tim Penyusun Muslimat NU,
1979:70-71). Setelah diterima, maka lahirlah UU No.1 tahun 1974 atau
dikenal dengan nama Undang-Undang Perkawinan. Keberhasilan lahirnya UU
Perkawinan yang direvisi ini tentu saja buah kerja keras, termasuk dari
Muslimaat NU (Aisyah Hamid Baidlowi,1993:88).
Memajukan Pendidikan
NUM telah mendirikan “Yayasan Pendidikan Muslimat”. Programnya
meliputi pendidikan formal dan pendidikan non formal. NUM mendirikan
Sekolah Taman Kanak-Kanak di setiap ranting. Muslimat NU memandang taman
kanak-kanak adalah lembaga pendidikan yang pertama membimbing dan
membina rohani dan jasmani untuk perkembangan anak di bawah tujuh tahun
secara sistematis.
Karena peran guru TK sangat diperlukan pada saat itu, dirasa perlu
mencetak guru TK Muslimat NU yang memenuhi syarat untuk dapat menjangkau
perkembangan TK selanjutnya. Pada tahun 1951, PP Muslimat NU mengadakan
kursus Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak bertempat di Surakarta, Jawa
Tengah dan diikuti oleh cabang-cabang yang berminat, dengan tugas
belajar selama 1 tahun.
Setelah selesai, mereka menerima ijazah sebagai guru TK yang memenuhi
syarat. Kursus tersebut telah membawa manfaat besar bagi kehidupan TK
muslimat NU. Mereka yang telah pulang membawa ijazah, langsung
mengembangkan berdirinya TK di cabangnya masing-masing dan mengadakan
kursus kader guru TK, yang diikuti oleh anak cabang dan ranting-ranting
setempat. Dengan demikian berkembanglah sekolah TK-TK Muslimat NU sampai
di ranting-ranting yang tersebar di pelosok tanah air. Untuk mengadakan
keseragaman mata pelajaran TK Muslimat NU, PP Muslimat menyusun
kurikulum dan dibentuklah ikatan guru tk muslimat yang disingkat igtk
sampai di daerah-daerah. Sedangkan gedung sekolah diwuujudkan dengan
gotong royong baik melalui pembangunan gedung TK itu sendiri, maupun
dari anggota muslimat yang merelakan sebagian ruangannya untuk belajar.
Bagi wilayah/cabang yang telah mampu, mereka mendirikan sekolah
kejuruan.
Pendidikan non formal tak luput dari kerja keras Muslimaat NU. Mulai
dari pemberantasan buta huruf Arab dan latin serta keterampilan. Pada
tahap pertama kursis pemberantasan buta huruf arab dan latin mengalami
hambatan, karena kurangnya minat ibu-ibu rumah tangga untuk belajar
membaca dan menulis.
Namun berkat kerajinan ibu-ibu guru mengaji, maka pemberantasan buta
huruf arab maupun latin sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Pada
umumnya para peminat datang ke pondok puteri di mana guru mengaji
perempuan tinggal. Sadarakan akan pentingnya pemberantasan buta huruf
ini, maka tidak sedikit para guru mengaji yang masih muda mendatangi
para kelompok keluarga secara rutin, atas kehendak keluarga yang
bersangkutan.
Kursus keterampilan juga digalakkan. Mulai dari, menjahit, menyulam
dengan tangan maupun mesin, merangkai bunga segar, bunga kering, dan
janur, memasak, merias pengantin, dan lan-lain. Bagi ibu-ibu yang
berpenghasilan rendah, kursus keterampilan tersebut sangat berharga,
karena sedikit banyak bisa menambah pemasukan untuk keperluan rumah
tangga (Tim Penyusun Muslimat NU, 1979 : 133-135).
Menyiarkan Dakwah
Setiap warga NUM dengan ilmu yang dimilikinya, merasa wajib berdakwah
amar ma’ruf dan nahi munkar. Maka dalam waktu yang singkat kader-kader
mubalighah NUM telah tersebar di pelosok-pelosok kampung di Tanah Air.
Mereka mengadakan pengajian rutin yang isinya pembacaan Al-Qur’an, ilmu
tauhid, fiqih, peribadatan, pembinaan mental, dan lain-lain yang
diperlukan daerahnya. Kemudian ada pengajian umum yang biasanya
diselenggarakan di tempat terbuka, lalu ceramah-ceramah yang bersifat
pengetahuan yang dibutuhkan kaum ibu seperti kesehatan jasmani dan
rohani, kesehatan lingkungan, ilmu gizi, kesejahteraan keluarga,
perawatan keluarga, dan lain-lain. NUM juga menerbitkan Risalah Muslimat
Gema Harlah Muslimat untuk memelihara kelangsungan komunikasi antara
pusat dan daerah (Tim Penyusun Muslimat NU, 1979:135-136).
Peduli akan Sesama
NUM membentuk Yayasan Kesejahteraan Muslimat pada 11 Juni 1963.
Yayasan ini telah mengelola rumah bersalin/BKIA/Klinik KB dan panti
asuhan yatim piatu. Selain itu NUM juga telah memberikan beasiswa kepada
sebagian anak-anak yang membutuhkan. (Tim Penyusun Muslimat NU,
1979:136, 139).
Ada juga kegiatan yang sepanjang tahun dijalankan baik oleh pusat,
maupun daerah, seperti menghibur anak-anak yatim piatu padapekan sosial
NUM, mengadakan khitanan bagi anak-anak yang tidak mampu, membagikan
zakat fitrah kepada fakir miskin setempat pada hari raya idul fitri,
beranjangsana menghibur dengan membawa bingkisan-bingkisan ke
lembaga-lembaga sosial seperti panti asuhan yatim piatu, penampungan
Lansia/jompo, lembaga pemasyrakatan, penampungan anak-anak nakal/korban
narkotika, dan membantu korban bencana alam. Pendidikan rohani pada
perempuan tuna susila juga dilakukan dengan memberikan buku-buku agama,
memberikan ceramah-ceramah keagamaan dan lain-lain (Tim Penyusun
Muslimat NU, 1979:139).
Demikian cara NUM mengarahkan perempuan Indonesia. NUM berusaha
menyatukan perempuan ahlussunnah wal jamaah, meningkatkan kecerdasan
wanita tentang ajaran-ajaran Islam dan ketinggian akhlak, menyiarkan
agama Islam di kalangan perempuan, menggiatkan amal sosial, dan
memberikan tuntunan tentang kerajinan tangan dan jalan memperoleh rezeki
yang halal.
Perempuan memang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum
laki-laki, kecuali beberapa hal yang berlainan menurut kodratnya. Dalam
mendapatkan haknya itu, NUM mempunyai tujuan yang murni dan mulia yaitu
menyadarkan para perempuan Indonesia akan hak dan kewajibannya agar
menjadi ibu sejati, ibu yang shalihah, sehingga dapat memperkuat dan
membantu NU dalam menegakkan syariat Islam (Aisjah Dachlan, 1955:77).
NUM mengejar hak-hak perempuan bukan hanya untuk kepentingan pribadi,
tapi juga kepentingan agama dan masyarakat. Inilah keutamaan NUM dan
membedakannya dari pergerakan-pergerakan perempuan yang tidak
berdasarkan agama. Kehadiran Muslimaat Nadhlatul Ulama menjadi cermin
gerakan muslimah di Indonesia yang bertolak dari semangat untuk
mendakwahkan agama, bukan dari pandangan kesetaraan gender atau
semacamnya.
Muhammad Cheng Ho
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
No comments:
Post a Comment