Kisah Bani Israil Diazab Menjadi Kera

Mereka melanggar ketentuan Allah yang memuliakan hari Sabtu.

Red: Hasanul Rizqa
ILUSTRASI Kera
Foto: dok wiki
ILUSTRASI Kera
Khusus pada hari Sabtu, seluruh Bani Israil tidak boleh bekerja atau mencari nafkah, seperti halnya rutinitas hari-hari biasa. Untuk mereka, Allah telah mewajibkan bahwa Sabtu digunakan sebagai hari ibadah. Mulai dari awal hingga akhir hari Sabtu, mereka wajib menghabiskan waktu hanya untuk menyembah Allah, bersyukur, dan berzikir mengingat-Nya.

Penduduk Desa Iylat sudah mengetahui syariat tentang hari Sabtu itu. Bagaimanapun, mereka merasa ogah-ogahan untuk melaksanakannya. Bagi mereka, untuk apa seharian beribadah kalau memang ada kesempatan untuk bekerja? Sehari-hari, umumnya masyarakat setempat berprofesi sebagai nelayan. Kemampuan orang-orang itu dalam menjala dan menangkap ikan tak perlu diragukan lagi.

Allah berkehendak untuk menguji kaum Bani Israil tersebut. Atas kehendak-Nya, ikan-ikan ramai berkumpul di dekat permukaan Teluk Aqabah pada hari Sabtu. Sementara, dalam lima hari selain Sabtu, hewan tersebut seakan-akan lenyap atau bersembunyi jauh di kedalaman.

Awalnya, kebanyakan warga Iylat menganggap fenomena itu hanya kebetulan belaka. Namun, dari pekan ke pekan mereka merasakan kejanggalan. Seolah-olah, ikan-ikan di Teluk Aqabah tahu bahwa Sabtu adalah hari yang di dalamnya para nelayan absen berburu. Sepanjang Senin hingga Kamis, para nelayan Iylat cenderung kesulitan untuk mendapatkan ikan yang banyak, sesuai harapan. Bahkan, tiap menjelang matahari terbenam pada hari Jumat, ikan-ikan di perairan itu seakan-akan bermain petak umpet. Tepat ketika surya tenggelam dan Sabtu malam tiba, binatang akuatik itu tampak ramai muncul ke permukaan.

Menghadapi “godaan” tersebut, beberapa penduduk desa menahan diri dan memilih menjalankan perintah Allah. Sementara, sebagian besar lain terpikat bisikan perutnya dan berpikir, bagaimana cara mendapatkan ikan di hari terlarang. Ada pula beberapa warga lain hanya berdiam diri dalam kegalauan tak melakukan apa pun.

Alhasil, penduduk Iylat terbagi menjadi tiga golongan. Ada yang mematuhi syariat tentang hari Sabtu dengan terus konsentrasi beribadah, tidak sedikitpun terpikir untuk bekerja. Ada yang sebaliknya. Mereka ini terus berupaya mengakali syariat agar ikan-ikan yang ramai pada hari Sabtu bisa masuk ke jala masing-masing. Kelompok ketiga tidak berusaha melanggar hari Sabtu, tetapi bersikap masa bodoh terhadap nelayan-nelayan yang “nakal.”

Seorang tokoh dari kelompok kedua suatu hari berkata, “Sesungguhnya kita hanya dilarang untuk menangkap ikan pada hari Sabtu. Karena itu, marilah kita membuat kolam perangkap pada hari sebelum Sabtu agar ikan-ikan itu terperangkap di dalamnya. Nah, lewat hari Sabtu, kita bisa menjaringnya!”

Sepakat, mereka pun berbondong-bondong menuju tepi pantai pada Jumat sore. Rencana dijalankan. Pada hari Ahad, para nelayan Yahudi itu mendapati kolam perangkap yang mereka buat telah berisi penuh ikan. “Kita mematuhi perintah Allah karena tidak menangkap ikan pada hari Sabtu, tetapi Ahad!” teriak seorang warga girang.

Melihat tingkah licik para pembangkang, beberapa warga yang terdiri dari ulama Yahudi dan orang saleh pun geram. Mereka pun menasihati para pelanggar hari Sabtu untuk bertobat dan kembali mematuhi perintah Allah.

Namun, nasihatnya bukan hanya ditentang oleh para pelanggar. Beberapa warga yang sebelumya bersikap masa bodoh, justru mulai vokal menentang ulama tersebut. Akhirnya, orang alim ini bersama dengan para pengikutnya memilih untuk hijrah, meninggalkan desa. Sebabnya takut akan turunnya azab Allah bagi pelanggar syariat.


Sebelum orang-orang saleh ini berangkat, seorang dari kelompok yang bukan pelanggar hari Sabtu menghampiri. Orang ini merasa heran, masihkah perlu menasihati mereka? Bukankah kalaupun para nelayan itu bersalah, dosa yang ada toh hanya bagi mereka? Kalau pun turun azab Allah, toh hanya mereka yang akan terkena?

“Kami menasihati mereka semata-mata agar kami memiliki hujjah (argumentasi) kelak ketika dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah,” jawab sang alim.

Maka yang masih tinggal di Desa Iylat hanyalah kelompok pembangkang syariat dan mereka yang bersikap acuh tak acuh.
Hari berganti hari. Desa ini kedatangan para musafir. Betapa herannya orang-orang pengembara itu karena melihat penghuni desa tersebut bukan manusia, melainkan kera-kera.

Kisah para pelanggar hari Sabtu tersebut pun diabadikan dalam Alquran surah al-A'raf ayat 163-166. Para mufasir berbeda pendapat tentang nasib kaum fasik itu, apakah terus hidup sebagai hewan-hewan primata ataukah sempat hidup, tetapi mati beberapa hari kemudian.

Satu pelajaran yang bisa dipetik ialah, tetaplah melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Sebab, kepedulian terhadap tegaknya syariat Allah adalah bukti pula ketaatan kita kepada-Nya.rol

No comments: