Jasmerah! Pao An Tui dan Pengkhianatan Mereka Terhadap Republik Indonesia
Tulisan ini dibuat agar kita semua sadar jika yang berjuang memerdekakan negeri ini dari belenggu penjajahan kafir Belanda adalah bangsa Indonesia, kaum Bumi putera alias pribumi. Alangkah sedih dan juga marah ketika ada seorang keturunan yang cari makan di negeri ini malah tidak tahu berterimakasih dan menghina kaum pribumi dengan kata-kata yang sangat rasis. Apalagi hinaan itu ditujukan kepada seorang ulama sekaligus umaro, hafiz Qur’an, bernama Tuanku Guru Bajang, Gubernur NTB.
Ingatlah sejarah!
Dan beberapa waktu lalu, Timses Ahok juga telah meluncurkan sebuah video yang lagi-lagi menghina umat Islam dan menyunat pekik takbir Bung Tomo. Padahal, bisa jadi, banyak di kalangan mereka yang tidak sunat. Hinaan demi hinaan terus saja mereka lancarkan. Pribumi masih bersabar.
Seharusnya, mereka tahu dan berani jujur jika dalam perjuangan bersenjata memerdekakan negeri ini, mereka itu dulu berada di pihak siapa. Kita pun harus sadar akan hal ini.
Jangan lupakan sejarah! Sebab itu tulisan ini dibuat:
Menurut sensus tahun 1930, kehidupan ekonomi orang-orang Cina di Jawa rata-rata lebih dari kehidupan ekonomi penduduk pribumi. Kehidupan yang berlimpah itu menimbulkan keterikatan dan ketergantungan besar orang-orang Cina kepada Pemerintah Hindia-Belanda. Mereka butuh stabilitas sosial, politik dan ekonomi. Maka dari itu, mereka berharap Pemerintah Hindia-Belanda berlangsung lama di Indonesia.
Dalam bidang politik, mereka terpolarisasi menjadi 3 aliran besar, yaitu sebagai berikut:
(1) Sin Po : menginginkan orang-orang Cina di Indonesia tetap mempertahankan identitas kebangsaan dan kebudayaannya, serta menjadikan negeri asal sebagai pelindung mereka. Konsentrasi Sin Po di seputar Jakarta. Kelompok ini tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia. Tokohnya antara lain Khoe Woen Sioe, Kwee Kek Beng.
(2) Chung Hua Hui (CHH) : menginginkan orang-orang Cina di Indonesia mempertahankan identitas kebangsaan dan kebudayaannya, namun menjadikan Pemerintah Hindia-Belanda sebagai bemper mereka. Kelompok ini umumnya berpendidikan luar negeri dan berbasis di Semarang. Kelompok ini tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia. Tokohnya antara lain Kan Hok Hoei.
(3) PTI : menginginkan orang-orang Cina di Indonesia mempertahankan identitas kebangsaan dan kebudayaannya, tetapi secara politik mereka ingin berasimilasi ke dalam masyarakat pribumi. Golongan ini dari kelas menengah ke bawah dan berpusat di Surabaya. Golongan ini mendukung perjuangan bangsa Indonesia. Tokohnya antara lain Liem Koen Hian, Injo Beng Goat.
Sebagaimana ditulis oleh Victor Purcell dalam “The Chinese in Southeast Asia” (1965), hal. 471-472, dan ditulis pula oleh Donald E. Wilmott dalam “The National Status of the Chinese in Indonesia 1900-1958” (1961), hal. 19-20, semasa pendudukan Jepang, organisasi orang-orang Cina bentukan Jepang, Hua Chiao Tsung Hui (HCTH), diberi kewenangan untuk mengumpulkan berlian, penjualan surat undian (lotere), izin perdagangan, dll.
Kemudian, pada masa revolusi kemerdekaan pasca 1946, orang-orang Cina bernaung di bawah atapChung Hua Tsung Hui (CHTH) yang berpusat di Yogyakarta, yang di kemudian hari pecah jadi 2 kubu: CHTH Jakarta yang kontra Republik dan CHTH Yogyakarta yang pro Republik.
Setelah itu muncul Persatuan Tionghoa (PT) yang berdiri pada 23 Mei 1948 dan dipimpin Ang Jan Goan. Dalam buku berjudul “Lima Jaman: Perwujudan Wajar” (1981), hal. 95-97, buah tangan Siauw Giok Tjhan, di sana disebutkan dengan jelas, bahwa PT adalah jelmaan CHH yang tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia.
Pasca 1945, revolusi sosial menyerempet kaum borjuis pribumi dan kalangan pamong praja, serta mengakibatkan migrasi orang-orang Cina dari desa ke kota. Keadaan ini diperburuk dengan kedatangan Sekutu yang ditunggangi NICA. Menurut laporan Departemen RI yang termaktub dalam buku “Kotapradja Djakarta Raya” (1952), orang-orang Indonesia yang diculik dan dibunuh tanpa sebab yang jelas pada kurun waktu Oktober 1945-Pebruari 1946 berjumlah sedikitnya 691 orang.
Perlakuan orang-orang Cina yang menjadi antek NICA sangat melukai perasaan penduduk pribumi. Bahkan, mereka merobek bendera Merah-Putih di pendopo sebuah kelurahan di Tangerang, seperti dikutip Herwin Sumarda dalam “Tangerang 1945-1946: Pemerintahan Dan Rakyat”, hal. 120-122 (1985), yang bersumber dari Star Weekly edisi 17 Juni 1946. Akibatnya, terjadi aksi balas dendam yang menimpa 653 warga Cina.
Setelah keadaan makin tidak menentu, dengan back-up Konjen Cina di Jakarta, Tsiang Chia Tung, CHTH mengadakan konferensi pada 24-26 Agustus 1947 yang menghasilkan beberapa keputusan. Satu di antara keputusan itu membuka jalan bagi pembentukan Badan Pelindung Keselamatan atau Pao An Tui (PAT) pada 28 Agustus 1947, yang berkantor pusat di Prinselan No. 47, Batavia (sekarang Mangga Dua) dan dipimpin oleh Loa Sek Hie. Pembentukan “Herder Belanda” berseragam abu-abu bersimbol khusus (pedang-pedang Cina yang saling bersilang dan dililit rantai, serta terdapat tulisan Pao An Tui dalam huruf Cina dan huruf besar Romawi yang dikenakan di lengan kiri) ini diijinkan oleh pemerintah penjajah yang berkuasa saat itu, yakni Belanda, dengan dikeluarkannya Keputusan Peraturan Penguasa Militer No. 516 tanggal 6 September 1947 yang ditandatangani oleh Komandan Tentara Belanda, Letnan Jenderal S.H. Spoor. Ijin ini mengacu kepada Pasal 26 UU Keadaan Perang Dan Darurat Perang “versi Belanda”.
Belanda memberikan support dana dan bantuan senjata untuk Pao An Tui, bahkan menjadikannya tentara cadangan yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk menghadapi TNI. Untuk itu, Belanda menunjuk seorang perwira KNIL keturunan Tionghoa, Tan Gwan Djiang, sebagai pejabat penghubung.
Di berbagai medan tempur, Pao An Tui bahu-membahu bersama tentara Belanda melawan TNI. Makin hari sepak-terjang Pao An Tui kian brutal. Pao An Tui terang-terangan memihak Belanda dan memusuhi penduduk pribumi. Di eranya, Pao An Tui dikenal sebagai milisi yang bengis dan kejam. Akibatnya, keberpihakan Pao An Tui itu membuatnya dicap dengan sebutan “hansipnya Cina di Indonesia”.
Pertanda nyata di atas menegaskan tanpa tedeng aling-aling, bahwa orang-orang Cina di masa revolusi kemerdekaan lebih condong berpihak kepada Belanda ketimbang Republik. Jadi tak perlu heran jika ada organisasi sosial-politik yang didirikan oleh orang Cina memilih padanan Merah Putih Biru sebagai warna kebesaran. Mungkin, itu bagian dari romantisme masa lalu, ketika nenek moyangnya bermesra-mesraan dengan penjajah untuk menindas kaum pribumi.
Ironisnya, kini, masih banyak Bumiputera bermental inlander di negeri ini yang sudi menyediakan diri jadi cecunguknya orang-orang Cina yang kerap membangun gap sosial, berlaku elitis dan bertindak sok kuasa. Bicara tentang hal ini secara ringkas berarti membatasi perspektif pada soal mentalitas dan moralitas. Bicara tentang hal ini lebih jauh akan mengungkap masalah fundamental yang cukup sensitif: kadar nasionalisme orang-orang Cina. Atau buku sejarah harus ditulis ulang untuk membuka kembali catatan, berapa jumlah pengkhianatan yang telah dilakukan oleh orang-orang Cina terhadap Republik?
Apakah kita semua lupa, bahwa untuk merobek warna Biru pada bendera milik Belanda, Merah Putih Biru, darah jutaan rakyat tumpah menggenangi Bumi Pertiwi?
Apakah kita semua lupa, bahwa akibat kelakuan pengusaha-pengusaha bajingan keturunan Cina yang merampok dana BLBI, 250 juta rakyat Indonesia harus mengangsur bunga obligasi sebesar Rp 80 triliun per tahun selama 34 tahun (1998-2032)?
Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah, Bung!
(sumber fb Cut Meutia Adrina)
No comments:
Post a Comment