Peradaban Islam dan Pelayanan Kesehatan
Pada masa Sultan Mahmud Saljuqi --yang memerintah tahun 511 sampai 525 Hijriah, ruma sakit berkembang. Di Cordova saja terdapat lebih dari 50 Rumah Sakit berdiri
SUMBANGSIH peradaban Islam mengenai pelayanan kesehatan begitu besar. Sebagai salah satu bukti, rumah sakit yang pertama kali dibangun di dunia adalah oleh orang muslim. Pelayanan kesehatan melalui Rumah Sakit yang dalam bahasa Persia disebut Bymaristan ini menjadi garda depan di saat bangsa-bangsa Barat sedang dalam masa keterpurukan.
Dr. Raghib As-Sirjani dalam buku “al-Qishshah al-Thibbiyyah fî al-Hadhârah al-Islâmiyyah” (2009: 77-82) menyebutkan data sangat penting terkait masalah ini. Rumah Sakit Islam pertama kali dibangun sejak abad pertama Hijriah di masa Kekhilafaan Umawiyah. Tepatnya, pada masa kepemimpinan Walid bin Abdul Malik (86-96 H). Lembaga ini menangani pelayanan orang yang sakit kusta.
Menyusul pembangunan rumah sakit pertama, pada fase berikutnya dibangun banyak rumah rakit yang menjadi semacam markas atau pusat pelayanan kesehatan. Pada gilirannya, bukan saja menjadi tempat untuk melayani orang sakit tapi juga menjadi semacam universitas kedokteran dalam istilah sekarang dan dilengkapi dengan perpustakaan yang berisi berbagai referensi medis. Kontribusi ini terhitung fantastis karena rumah sakit yang pertama kali dibangun di Eropa (tepatnya di Paris), baru sembilan abad kemudian.
Pelayanan kesehatan rumah sakit sejak awal dan pada perkembangan berikutnya begitu fenomenal. Pada saat itu, ada dua macam Rumah Sakit: yang permanen dan yang berpindah-pindah menggunakan kendaraan. Rumah Sakit permanen dibangun di tengah-tengah kota. Hampir di seluruh kota terdapat bangunan rumah sakit. Sedangkan yang berpindah-pindah diperuntukkan ke wilayah-wilayah pelosok menembus padang pasir dan pegunungan yang dibawa dengan kendaraan seperti unta.
Pada masa Sultan Mahmud Saljuqi –yang memerintah tahun 511 sampai 525 Hijriah– rumah sakit yang memberikan pelayanan berpindah-pindah ini diangkut segala fasilitasnya (dokter, alat kesehatan dan obat-obatan) dengan 40 onta. Hal ini dimaksudkan tidak lain agar pelayanan kesehatan bisa dirasakan secara merata oleh masyarakat yang jauh dari perkotaan.
Untuk rumah sakit umum permanen yang terletak di kota-kota besar jumlahnya begitu banyak dilengkapi dengan fasilitas yang wah. Sebut saja misalnya; Rumah Sakit Adhudi di Baghdad (371 H), Rumah Sakit Nuriy di Damaskus (549 H), Rumah Sakit Manshuriy di Kairo (683 H). Bahkan, yang lebih mencengangkan,
Tak cukup sampai di situ, Rumah Sakit-Rumah Sakit besar kala itu di dalamnya sudah ada sepesialisasi, misalnya: pesialis penyakit dalam, operasi, kulit, mata, jiwa, tulang dan lain sebagainya yang menunjukkan betapa majunya pelayanan di masa itu.
Sebagai gambaran kecil pelayanan ketika itu, saat ada pasien masuk Rumah Sakit, mereka disuruh untuk melepas baju dan diganti baju baru dari Rumah Sakit agar tidak terjadi penularan penyakit. Setelah itu, mereka dimasukkan ruang (kamar) khusus sesuai dengan jenis penyakit yang diderita. Pasien di tempatkan di ranjang satu persatu sesuai tempatnya berikut sarana dan fasilitas kesehatan yang berada di samping meraka.
Hal yang patut diungkap juga dalam tulisan ini adalah pelayanan dokter-dokter rumah sakit dalam peradaban Islam saat itu begitu lembut dan manusiawi. Siapapun yang sakit –apapun agamanya—pasti cepat ditangani dengan pelayanan prima. Ini berbanding terbalik dengan pelayanan Rumah Sakit yang pertama kali dibangun di Eropa (Prancis) di mana pasien tidak ada kamar khusus, semua dijadikan satu, campur baur meski berbeda penyakit.
Contoh lain yang lebih dahsyat adalah yang diceritakan oleh Ibnu Jubair Rahimahullah. Pada sekitar tahun 580 Hijriah, saat ia berkunjung di salah satu daerah di Baghdad, di situ seluruhnya adalah rumah sakit (pelayanan kesehatan) yang dihuni oleh dokter-dokter dengan aneka ragam spesialisasi. Bayangkan, satu kampung isinya berkaitan dengan pelayanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan yang begitu mencengangkan ini ternyata didukung oleh negara dan masyarakat. Melalu dana wakaf, banyak sekali di bangun rumah sakit beserta fasilitasnya. Hal ini bisa dilihat pada buku profesor Raghib yang lain “Rawaa`iu al-Auqâf fî al-Hadhârah al-Islâmiyah” (2010: 90) Potensi dana wakaf yang sedemikian besar itu salah satunya dialokasikan untuk membiayai bidang kesehatan. Bahkan, pada masa Walid dan yang sesudahnya, pasien yang tak mampu, dilayani secara gratis.
Pada masa Daulah Abbasiyah, pembiayaan dana wakaf untuk kesehatan juga begitu besar. Saat itu rumah sakit menjadi salah satu prioritas untuk melayani kesehatan masyarakat. Ada banyak sekali rumah sakit dibangun di masa itu. Bahkan, Abu Ja’far al-Manshur untuk mengembangkan pelayanan kesehatan sampai mengundang dokter ahli beragama Nashrani untuk mengajarkan ilmu kedokteran kepada calon-calon dokter di masa itu.
Pada era-era selanjutnya pun, peradaban Islam begitu perhatian terhadap masalah pelayanan kesehatan. Sampai akhirnya peradaban Islam redup dan digantikan oleh bangsa-bangsa Barat hingga saat ini.
Kalau mau ditarik kesimpulan, pelayanan kesehatan dalam peradaban Islam begitu monumental dikarenakan ada kepedulian tinggi dan sinergi yang baik antara negara, dokter, tim pelayanan kesehatan dan masyarakat. Salah satu dana terbesar yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan ini adalah pengembangan wakaf produktif.
Kemajuan yang ditorehkan oleh peradaban Islam tentu saja bisa dijadikan pemantik kesadaran bagi umat Islam dewasa ini. Dengan contoh yang sedemikian membanggakan di masa lalu, sudah seyogianya umat Islam membangkitkan dan mengambangkan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi masyarakat. Dan itu, tidak akan bisa berjalan tanpa dukungan masyarakat, tim pelayanan kesehatan dan negara.*/Mahmud Budi Setiawan
No comments:
Post a Comment