Hijrah Pertama ke Abisinia: Berlindung ke Kaisar Najasyi


Foto:
Hijrah pertama ke Abisina (Ethiopia)

Kaisar Najasyi terkejut ketika Utusan Makkah menyebut soal Yesus dalam Alquran

“Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat tuan-tuan bacakan kepada kami?” tanya Raja itu lagi.
Inilah kisah Hijrah pertama kala Muslim terpaksa harus pergi ke Abisina (kekaisaran Ethopia) karena tekanan kaum Quraisy yang sangat luar biasa. Sebagaian kaum Muslim pada masa awal di Makkah memilih meminta perlindungan ke Kaisar Abisina, Najasi. Dia memang penganut Kristen. Namun, dia menolak dan terus melindungi Muslim Makkah meski utusan Quraisy meminta agar dia melepaskannya.

Kisah ini ada pada bagian buku legendaris 'Sejarah Hidup Muhammad' karya penulis terkemuka Mesir, Muhammad Husain Haekal. Tulisannya begini:
-------------

Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi, sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya. Waktu itu Muhammad menyarankan supaya mereka terpencar-pencar. Ketika mereka bertanya kepadanya kemana mereka akan pergi, mereka diberi nasehat supaya pergi ke Abisinia yang rakyatnya menganut agama Kristen. “Tempat itu diperintah seorang raja dan tak ada orang yang dianiaya disitu. Itu bumi jujur; sampai nanti Allah membukakan jalan buat kita semua.”

Sebagian kaum Muslimin ketika itu lalu berangkat ke Abisinia guna menghindari fitnah dan tetap berlindung kepada Tuhan dengan mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan melakukan dua kali hijrah. Yang pertama terdiri dari sebelas orang pria dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka keluar dari Makkah mencari perlindungan. Kemudian mereka mendapat tempat yang baik di bawah Najasyi.

Bilamana kemudian tersiar berita bahwa kaum Muslimin di Makkah sudah selamat dari gangguan Quraisy, merekapun lalu kembali pulang, seperti yang akan diceritakan nanti. Tetapi setelah ternyata kemudian mereka mengalami kekerasan lagi dari Quraisy melebihi yang sudah-sudah, kembali lagi mereka ke Abisinia. Sekali ini terdiri dari delapanpuluh orang pria tanpa kaum isteri dan anak-anak. Mereka tinggal di Abisinia sampai sesudah hijrah Nabi ke Yathrib.

Hijrah ke Abisinia ini adalah hijrah pertama dalam Islam.

Sudah pada tempatnya bagi setiap penulis sejarah Muhammad akan bertanya: Adakah tujuan hijrah yang dilakukan kaum Muslimin atas saran dan anjurannya itu karena akan melarikan diri dari orang-orang kafir Mekah beserta gangguan yang mereka lakukan, ataukah karena suatu tujuan politik Islam, yang di balik itu dimaksudkan oleh Muhammad dengan tujuan yang lebih luhur?

Sudah pada tempatnya pula apabila penulis sejarah Muhammad itu akan bertanya tentang hal ini, setelah terbukti dari sejarah Nabi berbangsa Arab ini dalam seluruh fase kehidupannya, bahwa dia seorang politikus yang berpandangan jauh, seorang pembawa risalah dan moral jiwa yang begitu luhur, sublim dan agung yang tak ada taranya. Dan yang menjadi alasan dalam hal ini ialah apa yang disebutkan dalam sejarah, bahwa penduduk Makkah tidak suka hati ada kaum Muslimin yang pergi ke Abisinia.

Bahkan mereka kemudian mengutus dua orang menemui Najasyi. Mereka membawa hadiah-hadiah berharga guna meyakinkan raja supaya dapat mengembalikan kaum Muslimin itu ke tanah air mereka. Pada waktu itu penduduk Abisinia dan penguasanya adalah orang-orang Nasrani. Dari segi agama orang-orang Quraisy tidak kuatir bahwa mereka akan ikut Muhammad.

Disebabkan oleh rasa kegelisahan terhadap peristiwa itukah maka mereka lalu mengutus orang, meminta supaya kaum Muslimin itu dikembalikan? Mereka menganggap, bahwa perlindungan Najasyi terhadap mereka setelah mendengar keterangan mereka itu akan membawa pengaruh juga kepada penduduk jazirah Arab sehingga mereka akan mau menerima agama Muhammad dan mau  menjadi pengikutnya. Ataukah mereka kuatir, kalau kaum Muslimin menetap di Abisinia, mereka akan bertambah kuat, sehingga bila kelak mereka pulang kembali membantu Muhammad, mereka kembali dengan kekuatan, harta dan tenaga?

Kedua orang utusan itu ialah ‘Amr bin’l-‘Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’a. Kepada Najasyi dan kepada para pembesar istana mereka mempersembahkan hadiah- hadiah dengan maksud supaya mereka sudi mengembalikan orang-orang yang hijrah dari Mekah itu kepada mereka.

“Paduka Raja,” kata mereka, “mereka datang ke negeri paduka ini adalah budak- budak kami yang tidak punya malu. Mereka meninggalkan agama bangsanya dan tidak pula menganut agama paduka; mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri, yang tidak kami kenal dan tidak juga paduka. Kami diutus kepada paduka oleh pemimpin-pemimpin masyarakat mereka, oleh orang- orang tua, paman mereka dan keluarga mereka sendiri, supaya paduka sudi mengembalikan orang-orang itu kepada mereka.Mereka lebih mengetahui betapa orang-orang itu mencemarkan dan memaki-maki.”

Sebenarnya kedua utusan itu telah mengadakan persetujuan dengan pembesar- pembesar istana kerajaan, setelah mereka menerima hadiah-hadiah dari penduduk Mekah, bahwa mereka akan membantu usaha mengembalikan kaum Muslimin itu kepada pihak Quraisy. Pembicaraan mereka ini tidak sampai diketahui raja. Tetapi baginda menolak sebelum mendengar sendiri keterangan dari pihak Muslimin. Lalu dimintanya mereka itu datang menghadap

“Agama apa ini yang sampai membuat tuan-tuan meninggalkan masyarakat tuan-tuan sendiri, tetapi tidak juga tuan-tuan menganut agamaku, atau agama lain?” tanya Najasyi setelah mereka datang.

Yang diajak bicara ketika itu ialah Ja’far bin Abi Talib.

“Paduka Raja,” katanya, “ketika itu kami masyarakat yang bodoh, kami menyembah berhala, bangkaipun kami makan, segala kejahatan kami lakukan, memutuskan hubungan dengan kerabat, dengan ketanggapun kami tidak baik; yang kuat menindas yang lemah. Demikian keadaan kami, sampai Tuhan mengutus seorang rasul dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal- usulnya, dia jujur, dapat dipercaya dan bersih pula. Ia mengajak kami menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang selama itu kami dan nenek-moyang kami menyembahnya."

"Ia menganjurkan kami untuk tidak berdusta untuk berlaku jujur serta mengadakan hubungan keluarga dan tetangga yang baik, serta menyudahi pertumpahan darah dan perbuatan terlarang lainnya. Ia melarang kami melakukan segala kejahatan dan menggunakan kata-kata dusta, memakan harta anak piatu atau mencemarkan wanita-wanita yang bersih. Ia minta kami menyembah Allah dan tidak mempersekutukanNya. Selanjutnya disuruhnya kami melakukan salat, zakat dan puasa. [Lalu disebutnya beberapa ketentuan Islam]".

"Kami pun membenarkannya. Kami turut segala yang diperintahkan Allah. Lalu yang kami sembah hanya Allah Yang Tunggal, tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan siapa pun juga. Segala yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan kami lakukan. Karena itulah, masyarakat kami memusuhi kami,  menyiksa kami dan menghasut supaya kami meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala; supaya kami membenarkan segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu.

"Oleh karena mereka memaksa kami, menganiaya dan menekan kami, mereka menghalang-halangi kami dari agama kami, maka kamipun keluar pergi ke negeri tuan ini. Tuan jugalah yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami berada di dekat tuan, dengan harapan di sini takkan ada penganiayaan.”



Kaisar Najasyi terkejut ketika Utusan Makkah menyebut soal Yesus dalam Alquran
“Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat tuan-tuan bacakan kepada kami?” tanya Raja itu lagi.




“Ya,” jawab Ja’far; lalu ia membacakan Surah Mariam dari pertama sampai pada firman Allah:

“Lalu ia memberi isyarat menunjuk kepadanya. Kata mereka: Bagaimana kami akan bicara dengan anak yang masih muda belia? Dia (Isa) berkata: ‘Aku adalah hamba Allah, diberiNya aku Kitab dan dijadikanNya aku seorang nabi. DijadikanNya aku pembawa berkah dimana saja aku berada, dan dipesankanNya kepadaku melakukan sembahyang dan zakat selama hidupku. Dan berbaktilah aku kepada ibuku, bukan dijadikanNya aku orang congkak yang celaka. Bahagialah aku tatkala aku dilahirkan, tatkala aku mati dan tatkala aku hidup kembali!’” (Qur’an 19: 29-33)

Setelah mendengar bahwa keterangan itu membenarkan apa yang tersebut dalam Injil, pemuka-pemuka istana itu terkejut: “Kata-kata yang keluar dari sumber yang mengeluarkan kata-kata Yesus Kristus’” kata mereka.

Najasyi lalu berkata: “Kata-kata ini dan yang dibawa oleh Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama. Tuan-tuan (kepada kedua orang utusan Quraisy) pergilah. Kami takkan menyerahkan mereka kepada tuan-tuan!” Keesokan harinya ‘Amr bin’l-‘Ash kembali menghadap Raja dengan mengatakan, bahwa kaum Muslimin mengeluarkan tuduhan yang luarbiasa terhadap Isa anak Mariam. Panggillah mereka dan tanyakan apa yang mereka katakan itu.

Setelah mereka datang, Ja’far berkata: Tentang dia pendapat kami seperti yang dikafakan Nabi kami: ‘Dia adalah hamba Allah dan UtusanNya, RuhNya dan FirmanNya yang disampaikan kepada Perawan Mariam.”

Najasyi lalu mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di tanah. Dan dengan gembira sekali baginda berkata:“Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini.”

Setelah dari kedua belah pihak itu didengarnya, ternyatalah oleh Najasyi, bahwa kaum Muslimin itu mengakui Isa, mengenal adanya Kristen dan menyembah Allah.
Selama di Abisinia itu kaum Muslimin merasa aman dan tenteram. Ketika kemudian disampaikan kepada mereka, bahwa permusuhan pihak Quraisy sudah berangsur reda, mereka lalu kembali ke Makah untuk pertama kalinya - dan Muhammadpun masih di Makkah.

Akan tetapi, setelah kemudian ternyata, bahwa penduduk Mekah masih juga mengganggunya dan mengganggu sahabat-sahabatnya, merekapun kembali lagi ke Abisinia. Mereka terdiri dari delapanpuluh orang tanpa wanita dan anak-anak. Adakah kedua kali hijrah mereka itu hanya semata-mata melarikan diri dari gangguan ataukah meskipun dalam perencanaan Muhammad sendiri - mereka mempunyai tujuan politik? Sebaiknya ahli sejarah akan dapat mengungkapkan hal ini.

Sudah pada tempatnya bagi penulis sejarah hidup Muhammad akan bertanya: bagaimana Muhammad dapat tenang membiarkan sahabat-sahabatnya pergi ke Abisinia, padahal agama penduduk itu adalah agama Nasrani, agama ahli kitab, Nabi mereka Isa yang diakui kerasulannya oleh Islam?

Lalu ia tidak kuatir mereka akan tergoda seperti yang dilakukan oleh Quraisy walaupun dengan cara lain? Bagaimana pula ia akan merasa tenang terhadap godaan itu, mengingat Abisinia adalah negeri makmur; yang tidak sama dengan Mekah; dan lebih dapat mempengaruhi daripada Quraisy? Kenyataannya, dari kalangan Muslimin yang pergi ke Abisinia itu sudah ada seorang yang masuk Kristen.

Dan kenyataan ini juga menunjukkan, bahwa kekuatiran akan adanya godaan ini seharusnya selalu ada pada Muhammad mengingat keadaannya yang masih lemah dan mereka yang menjadi pengikutnya masih menyangsikan kemampuannya melindungi diri mereka sendiri atau akan dapat mengalahkan musuh mereka. Besar sekali dugaan bahwa hal demikian memang sudah terlintas dalam pikiran Muhammad, melihat tingkat kecerdasannya yang begitu tinggi dengan ketajaman pikiran dan pandangannya yang jauh, yang semuanya itu seimbang dengan jiwa besarnya, dengan kemurnian rohaninya, budi pekerti yang luhur serta perasaannya yang halus sekali itu.

Tetapi sungguhpun begitu, dari segi ini ia yakin dan tenang sekali. Pada waktu itu - dan sampai pada waktu pembawa risalah itu wafat - inti ajaran Islam masih bersih sekali, kemurniannya masih belum ternodakan. Seperti ajaran Nasrani di Najran, Hira dan Syam, begitu juga paham Nasrani di Abisinia sudah dijangkiti oleh noda, perselisihan antara mereka yang menuhankan Ibu Mariam dengan mereka yang menuhankan Isa. Disamping ada lagi yang berlainan dengan kedua golongan itu, mereka yang masih mengambil dari sumber ajaran yang murni, yang tidak perlu dikuatirkan.

Sebenarnya, kebanyakan agama-agama itu sesudah beberapa generasi saja berjalan, sudah dijangkiti oleh semacam paganisma, meskipun bukan dari jenis rendahan, yang waktu itu berkembang di negeri-negeri Arab; tetapi bagaimanapun paganisma juga.
Kedatangan Islam merupakan musuh berat buat paganisma dalam segala bentuk dan coraknya.

Ditambah lagi, bahwa agama Nasrani waktu itu sudah mengakui adanya suatu golongan klas khusus di kalangan pemuka-pemuka agama - yang oleh Islam samasekali tidak dikenal - yang pada waktu itu merupakan golongan tertinggi dan paling suci. Juga pada waktu itu - dan dasar ini tetap berlaku - Islam merupakan agama yang menjunjung jiwa manusia ke puncak tertinggi. Tak ada peluang yang akan dapat menghubungkan manusia dengan Tuhannya selain daripada baktinya dan perbuatan yang baik, dan orang harus mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya. Tidak ada berhala- berhala, tidak ada pendeta-pendeta, tidak ada dukun-dukun dan tidak ada apapun yang akan merintangi jiwa manusia itu untuk berhubungan dengan seluruh wujud ini dengan perbuatan dan kelakuan yang baik. Allah juga yang akan membalas segala perbuatan itu dengan berlipat ganda.

Dan ruh! Soal ruh adalah urusan Tuhan. Ruh yang berhubungan dengan kekekalan dan keabadian zaman. Segala perbuatan baik bagi ruh ini tak ada tabir yang akan menutupinya dari Tuhan, dan tak ada kekuasaan apapun selain Allah. Orang-orang yang kaya, yang kuat atau yang jahat dapat saja menyiksa jasad ini, dapat saja memisahkannya dari segala kesenangan dan hawa nafsu dan dapat saja menghancurkan semua itu, tetapi ruh atau jiwa itu takkan dapat mereka kuasai selama yang bersangkutan mau menempatkannya lebih tinggi di atas segala kekuasaan materi dan waktu, dan tetap berhubungan dengan seluruh alam ini.

Manusia itu akan mendapat balasan atas segala perbuatannya bilamana kelak setiap jiwa menerima balasan menurut apa yang telah dikerjakannya. Ketika itu seorang ayah takkan dapat menolong anaknya, dan seorang anak takkan pula dapat membela ayahnya.



No comments: